BeritadefaultKhazanah

WUKUF DI ARAFAH: JAWABAN EMPIRIK ATAS “KESANGSIAN” MALAIKAT TERHADAP MANUSIA

TABLIGH.ID, YOGYAKARTA — Mengingat wukuf di ‘Arafah pada hari ini, Jum’at, 9 Dzul Hijjah 1443 H/8 Juli 2022, tak semata menggugah emosi spiritual mendalam akan keintiman dengan Sang Khaliq, munajat yang membanjirkan air mata kesejukan di gurun pasir yang tandus. Tapi juga membawa jiwa kita terbang jauh ke zaman azali; masa di mana seluruh anak keturunan adam eksis dalam “wujud ruh”, dan belum menjelma sebagai realitas jasmani.

Imam Ahmad rahimahullāh yang mengabadikan informasi teologis ini, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Albānī. Beliau meriwayatkan dari Husain bin Muhammad, dari Jarir (Ibnu Hazim), dari Kultsum bin Jabr, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ bersabda : “Sungguh, Allah mengambil perjanjian dari punggung Adam di Nu’man (‘Arafah) pada hari Arafah, lalu dari tulang punggungnya Allah mengeluarkan seluruh keturunan yang Allah ciptakan, lalu Allah tebarkan di hadapannya, lalu Allah berbicara kepada mereka secara langsung;

أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ Mereka menjawab. ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kelak kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya, ketika itu kami lengah terhadap ini’,

أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ

“Atau agar kamu (tidak) mengatakan, ‘Sesungguhnya, nenek moyang kami telah mempersekutukan Rabb sejak dahulu, sedang kami adalah keturunan yang datang setelah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?’ ” (Al-A’raf: 172-173).

Sebabnya, do’a dan ikrar terbaik untuk dipanjatkan dan digemakan di hari Arafah sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ, melalui periwatan sahabat Abdullah bin Amr r.a.:

خَيْرُ الدُّعاءِ دُعاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَناَ وَالنَّبِيُّوْنَ مِنْ قَبْلِيْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Sebaik-baik doa adalah doa hari Arafah. Sebaik-baik apa yang Aku ucapkan dan para Nabi sebelumku: Lâ ilâha illâllâhu wahdahuu lâ syarîkalah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alâ kulli syai’in qodîr.” (HR. Tirmizi)

Pada bagian lain sahabat Abu Hurairah r.a. yang meriwayatkan sabda baginda Rasulullah ﷺ berikut ini.

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال﴿ إِنَّ اللهَ يُبَاهِي بِأَهْلِ عَرَفَاتٍ أَهْلَ السَّمَاءِ فَيَقُولُ لَهُمْ: انْظُرُوا إِلَى عِبَادِي جَاءُونِي شُعْثًا غُبْرًا ﴾ رواه أحمد وابن حبان

“Sesungguhnya Allah Ta’ala membanggakan orang-orang yang berada ‎di Arafah dihadapan para Malaikat di langit; Allah bertitah kepada mereka: ‘Lihatlah hamba-hambaku, mereka datang kepadaku dalam keadaan kusut dan berdebu'”. (HR. Ahmada, Ibnu Hibban, & Al-Hakim).

Sebagian ulama menerangkan bahwa bangga-riaNya Allah dengan para tetamuNya yang datang dari berbagai penjuru bumi tersebut, merupakan “jawaban empirik” atas kesangsian para Malaikat di masa awal penciptaan Adam ‘alaihissalām: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”. Pun pula sebagai bukti nyata dari hikmah Ilāhiyah yang dirahasiakanNya: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah:30)

Sejatinya, seluruh manusia secara universal, sangatlah dekat dengan Sang Khaliq. Bahkan di “alam arwah” terdahulu Dia bertutur secara langsung dengan dzurriyah Adam ‘alaihissalām, sesaat setelah mereka dikeluarkan dari sulbi Adam, kemudian mereka dihamparkanNya di hadapannya. Lalu terjadilah perjanjian teologis atas wahdaniyyah dan rububiyahNya (tauhīdullāh). Inilah yang kita yakini sebagai “aqidah tauhid” atau “fitrah kemanusiaan autentik”; semua umat manusia secara universal tanpa terkecuali, secara natural dilahirkan “bertuhan”. Inilah yang dikenal sebagai kaidah “sensus numinis” atau “religio naturalis”. Dan ini berlaku universal.

Bersebab itu, berbagai upaya dan prilaku manusia untuk menjauhkan diri dari Rabb-nya adalah perbuatan di luar batas kewajaran manusiawi, termasuk pula sikap pengingkaran terhadap ajaran-ajaranNya (syari’ah).

Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I

(Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah)

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker