BeritaKhazanah

Berawal Dari Sumpah, Larangan Menjadi Dilanggar

Oleh: Beta Pujangga Mukti

Entah seberapa mati-matiannya Iblis mencari cara supaya Adam dan Hawa dikeluarkan dari Syurga. Dari segala kenikmatan Syurga yang diberikan, hanya ada satu larangan yang tidak boleh dilanggar. “Jangan pernah mendekati pohon ini (Khuldi)”, begitu peringatan Allah, dengan jelas dan tegas. Tahu akan larangan ini, justru Iblis gembira sebab ada celah dirinya bisa masuk menggoda dan ingin menggelincirkan Adam dan Hawa.

Dari segala arah, penjuru, bahkan celah sekecil apapun akan dimasuki Iblis dan bala tentaranya (setan) untuk mewujudkan misinya, supaya kedua makhluk yang menempati Syurga itu melanggar perintah Allah. Rentetan peristiwa serangan dalam bentuk rayuan dan godaan setan ini telah diabadikan dalam al-Qur’an surah Al-A’raf.

Dimulai dari ayat ke-20, “Fawaswasa lahuma asyaithan”, tatkala dengan piawainya setan membisik-bisikkan pikiran jahat kepada keduanya. Kemudian pada ayat ke-22 disusul serangan setan kedua, “Fadallahuma bi ghurur”, dan setan membujuk keduanya dengan tipu daya muslihat. Bahwa dengan memakan buah (khuldi) justru keduanya akan abadi di Syurga. Kedua serangan ini pada akhirnya bisa ditangkis dengan kehati-hatian Adam dan Hawa karena masih mengingat betul akan larangan.

Puncaknya disebutkan pada ayat ke-21, “Waqaasamahuma”, setan bersumpah kepada keduanya atas dan dengan nama Allah, bahwa dirinya tidak berbohong atas apa yang ia sampaikan (nasihatkan) yaitu untuk memakan buah (khuldi) itu supaya kekal abadi. Begitu mendengar setan bersumpah atas nama Allah, Adam dan Hawa terbujuk dan kemudian terjadilah apa yang seharusnya tidak terjadi. Keduanya memakan buah (khuldi), buah yang secara tegas telah dilarang oleh Allah untuk tidak di makan. Jangankan memakan, mendekati pohonnya saja dilarang.

Tahu akan larangan-Nya dilanggar, tentu Allah marah kepada keduanya. Meskipun Adam menyampaikan sedikit pembelaannya, bahwa ia makan buah larangan itu tersebab setan telah bersumpah dan membawa nama Allah. Sehingga keduanya mengira, dengan setan bersumpah atas nama Allah, maka perkataan setan itu benar. Setalah tahu bahwa setan bersumpah hanya untuk menipu, bermuslihat, licik, dan dengan beraninya membawa nama Allah atas perbuatan buruknya itu, maka Adam dan Hawa sejadi-jadinya menangis menyesali perbuatannya dengan berkata;

“Rabbanaa dzalamnaa anfusanaa wa illam taghfir lanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minal khaasiriin” (Al-A’raf: 23).

Allah mengampuni keduanya, namun aturan dan hukum tetap dijatuhkan. Adam dan Hawa dikeluarkan dari Syurga menuju ke tempat yang telah Allah siapkan untuk mereka tinggali, mengembangkan keturunan dan menjadi khalifah (pemimpin) yang bertanggung jawab menjaga, merawat serta memakmurkannya. Tempat itu adalah BUMI.

Saya ingin membawa kisah tentang sumpah dan larangan yang dilanggar ini kepada satu fenomena yang kita rasakan akhir-akhir ini, yaitu iklim ekstrem yang menyebabkan cuaca dan hawa panas yang tidak seperti biasanya. Hal ini disebabkan oleh meninggi dan memuncaknya suhu permukaan laut.

Berdasarkan data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), suhu rata-rata permukaan laut telah mencapai 21,1 derajat Celsius sejak awal April, mengalahkan subu tertinggi sebelumnya sebesar 21 derajat Celsius yang ditetapkan pada 2016. Dengan semakin naiknya gelombang panas ke permukaan laut, maka besar berpotensi meningkatkan resiko cuaca ekstrem.

Dan ini faktanya, lebih dari 90% penyebab lautan memanas adalah akibat PEMBAKARAN bahan bakar fosil dan PENGGUNDULAN hutan. Dampak dari kedua kerja-kerja eksploitatif ini mengakibatkan lautan menjadi lebih panas dan berpotensi besar menimbulkan badai serta bencana akibat cuaca ekstrem. Naiknya suhu laut juga membuat lapisan es mencair. Tidak hanya itu, semakin panas air laut maka akan semakin banyak pula terumbu karang yang memutih dan mati (Sumber: greenpeace.id).

Ujung pangkal masalahnya adalah MANUSIA. Manusia yang memiliki sifat tamak dan serakah. Alam dieksploitasi demi keuntungan, dan demi cuan, ia tidak mengira-ngira dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Yang difikirkan hanya kepentingan dan keuntungan dirinya sendiri tanpa memikirkan dampak bagi generasi. Memang benar apa yang telah Allah firmankan dalam al-Qur’an;

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia” (Ar-Rum: 41).

Sudah tidak heran lagi jika yang melakukan eksploitasi alam, pembakaran dan penggundulan hutan justru adalah mereka yang diberikan amanah dan tanggung jawab serta wewenang. Ingin meningkatkan perekonomian bukan berarti harus melupakan dampak sosial dan lingkungan. Ingin mempercepat pembangunan tidak lantas mengorbankan kelestarian alam. Ingin membangun infrastruktur tidak juga harus dengan merusak alam yang sedia ada.

Secara jasmani, kita ini bolehlah dikatakan lebih tinggi derajatnya daripada alam. Tetapi secara ruhani, manusia dan alam adalah sama-sama makhluk di hadapan Allah. Dan tidak semestinya manusia semena-mena terhadap alam, yang ia selalu bertasbih kepada Allah dan ingin hidup dan menjaga kehidupannya.

Sebagai manusia, di alam rahim kita telah bersumpah atas nama Allah, mengambil Persaksian di hadapan-Nya dengan janji untuk taat dan melaksanakan apa yang menjadi kehendak-Nya di muka Bumi. Sebagai seorang pemimpin, pengambil kebijakan, yang punya wewenang dan tanggung jawab, ingat bahwa dulu saat dilantik sebelum bertugas, telah pun disumpah dan mengambil sumpah dengan nama Allah, atau agama lain atas nama sesuai dengan tuhan masing-masing.

Jika dengan sumpah itu kemudian ingkar dan khianat terhadap sumpahnya. Sumpah hanya di mulut saja, tetapi hati dan perbuatannya penuh tipu, muslihat, kelicikan, demi tujuan, keuntungan diri dan kelompoknya, maka benih dan DNA IBLIS telah bersemayam di dalam dirinya. Sebab IBLIS dengan berani mengucapkan sumpah atas nama Allah, dengan tujuan MENIPU.

Manusia harus sadar dan menginsafi diri, atas kedzaliman-kedzaliman yang telah diperbuat, terutamanya terhadap alam sekitar. Bumi ini adalah amanah untuk kita jaga bersama, sebab usia Bumi barangkali sudah semakin menua. Bencana yang terjadi secara beriringan dan silih berganti, menjadi kiamat kecil yang mengerikan adalah takdir yang telah manusia sendiri ciptakan. “Rabbi dzalamni anfusani… Fahgfirlii.. “.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker