default

Pertarungan “Agama” Versus Konsep “HAM”

LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender)

Oleh : H. Mohammad Damami

Buku TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV

 

Pertarungan “Agama” Versus Konsep “HAM”

Seperti telah diketahui bersama, hidupnya agama adalah karena kewibawaan “sumber ajaran” dan “tokoh agama” yang dihormati dan diikuti. Dalam agama Islam, yang menjadi sumber pokok adalah kitab wahyu, yaitu Al-Qur’an, dan kitab ini dilengkapi dan sekaligus dijelaskan oleh Nabi Muhammad s.a.w yang disebut As-Sunnah yang maqbuulah (yang dapat diterima sebagai sumber kedua). Sedangkan tokoh yang disegani dalam arti dihormati dan diikuti adalah Nabi Muhammad s.a.w dan para ulama yang mengikutinya dan mendakwahkan ajarannya. Sementara itu, kebenaran yang diikuti dan didakwahkan berdasar prinsip dedukasi, yang artinya bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah al-Maqbulah dan kemudian menjabarkannya dalam kehidupan secara nyata.

Uraian di atas menegaskan bahwa agama, apalagi agama islam, meletakkan “agama” sebagai basis otonom ketika berhadapan dengan sistem aturan yang berangkat dari prinsip induksi, yaitu dalam arti aturan yang dirumuskan berbagai dasar pemikiran atau pengalaman sejarah. Hak-hak asasi manusia (HAM) berangkat dari prinsip induksi ini. Itulah sebabnya tidak aneh kalau agama, dalam hal ini agama islam terutama, tidak ada jeda dalam berbeda pandangan dengan HAM yang sudah diinternasionalisasikan lewat lembaga internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Intinya adalah disebabkan berbedanya metodologi dalam merumuskan konsep-konsep dari 2 (dua) lembaga tersebut : agama islam berdasarkan deduksi terutama dan HAM berdasar induksi.

Kita perlu menengok tentang HAM ini. Kelahiran HAM tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran induksi dari dunia Barat, terutama Eropa dan Amerika Serikat. Kejadian-kejadian kemanusiaan dalam proses-proses politik di Eropa yang kemudian disokong oleh hasil-hasil pemikiran para filosof Eropa dan akhirnya dipertegas para penggas dari Amerika Serikat (misalnya Presiden Amerika Serikat D. Roosevelt), menggugah kesadaran tentang pengaturan hak-hak asasi manusia. Namun, dalam proses perumusannya sangat dipengaruhi oleh kondsi Lembaga PBB antara tahun 1946-1948 (Cassese, 2005 : 39-47). Bahwa keanggotaan PBB sekitar tahun 1946-1948 banyaknya baru 58 negara yang terdiri dari : 14 negara Barat (termasuk Australia dan Selandia Baru), 20 negara Amerika Latin, 6 negara sosialis dari Eropa Tengah dan Eropa Timur (Unisoviet, Cekoslovakia, Polandia, Ukraina, Belorusia, Yugoslavia), 4 negara Afrika (Mesir, Ethiopia, Liberia, Uni Afrika Selatan), dan 14 negara Asia (diantaranya adalah Lebanon, Suriah/Syria, Turki, Irak, Iran, Pakistan, Afghanistan, India, Birma, Thailand, Filipina, Cina, Arab Saudi). Keanggotaan PBB sebanyak itu terpecah menjadi 3 (tiga) kelompok (blok), yaitu: negara Barat, negara Sosialis, dan negara “Dunia Ketiga” (negara berkembang). Tiga orientasi blok ini mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambilnya yang tidak jarang menimbulkan pertentangan-pertentangan besar antara “Blok Barat” yang demokratis-kapitalistis dan “Blok Timur” yang sosialistis.

Dalam pertarungan “Blok Barat” dan “Blok Timur” tersebut, Amerika Serikat sebagai komandan “Blok Barat” tampaknya ingin menginisiasi sebuah “deklarasi” tentang HAM yang pada hakikatnya merupakan salinan asli dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika dan Bill of Right Amerika yang oleh kalangan kaum sosialis (Blok Timur) ditafsirkan sebagai pengekspor nilai-nilai Barat (yang bersifat individualis-kapitalistis) ke kancah internasional (Cassese 2005, 41-42).

Dari sebab adanya pertentangan antara “Blok Barat” dan “Blok Timur” di atas, maka ada tuntutan pelaksanaan HAM di seluruh negara di dunia akan “direalisasikan oleh masing-masing negara dalam hubungannya dengan sistem nasionalnya” (Sassese, 2005: 46-47). Berdasar tesis ini, maka pelaksanaannya Ham di masing-masing negara tetap dikaitkan dengan keadaulatan hkum di negara bersangkutan.

Sekalipun HAM (Declaration of Huma Right) telah diputuskan dan diterima sejak 10 Desember 1948, namun tetap menyisakan 2 (dua) persepsi terhadap hakikat dan pemberlakuan HAM tersebut. Persepsi pertama adalah dari negara-negara “Barat” (pengusungnya Inggris, Perancis dan Amerika Serikat). Barat memiliki persepsi bahwa Ham adalah universal. Artinya, setiap bangsa, tanpa mempersoalkan latar belakang politik dan sosial budayanya, harus melaksanakan secara konsekuen terhadap kesepakatan penerimaan HAM (Gonggong, 1995: 24). Persepsi kedua adalah dari negara-negara yang sedang berkembang. Persepsi kalangan negara berkembang ini menyatakan bahwa konsepsi dan pelaksanaan HAM tidak sepenuhnya universal. Artinya pelaksanaan HAM tidak mentah-mentah diterapkan secara utuh tanpa mempertimbangkan pertimbangan-pertimbangan politik dan sosial-budaya di negara-negara yang bersangkutan (Gonggong, 1995: 24). Bahwa setiap anggota PBB, menurut persepsi kedua ini, tetap memiliki hak prerogatif dalam menjalankan kedaulatan hukum yang diberlakukan dalam setiap negara anggota tersebut. Tegasnya, tidak bisa diseragamkan tanpa mempertimbangkan kedaulatan hukum yang dirumuskan dalam setiap negara.

Demikian juga kedudukan “agama” dalam pemberlakuan HAM. Agama harus diberi ruang otonom untuk memahami dan menjalankan isi ajaran agama yang bersangkutan. Tidak bisa, bahkan tidak mungkin, ajaran agama yang diyakini dan dihayati pemeluknya harus dikalahkan oleh HAM yang oleh para penganut agama dinilai sebagai”produk manusia” itu.

Memang harus diakui dan disadari mesti akan terjadi tarik-menarik antara ketaatan terhadap keyakinan terhadap ajaran agama yang dipeluk dan ketaatan terhadap hukum selaku warga negara atau warga dunia. Satu-satunya cara sebagai jalan tengah adalah : menghormati HAM global dan melaksanakannya namun tetap sebatas tidak bertentangan secara diametral terhadap isi ajaran agama yang dianutnya.

Mengapa Agama Islam Menolak LGBT ?

Agama Islam menolak merebaknya perilaku dan kultur LGBT antara lain disebabkan beberapa hal. Pertama, Al-Qur’an secara jelas telah mengisahkan kaum Nabi Luth telah melakukan perbuatan “fahisyah” (perbuatan yang sangat merusak berupa perbuatan homoseksual) yang belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya, mereka menyalurkan nafsu seksualnya bukan dengan lain jenis kelamin, melainkan dengan berjenis kelamin sama (QS Al-A’raf, 7 : 80-81). Sekalipun ungkapan ayat Al-Qur’an ini berupa kisah, namun isi dari kisah itu menunjukkan larangan untuk berbuat sebagaimana dimuat dalam kisah, yaitu perbuatan homoseksual yang sekarang lebih bervariasi lagi menjadi lesbian, gay, biseksual, dan transgender.

Ungkapan kisah dalam ayat 80-81 Surat Al A’raf tersebut diakhiri dengan balasan setimpal atas perbuatan yang tak lazim tersebut yang termuat dalam ayat 84 yang di situ dikisahkan bahwa kaumnya Nabi dihujani dengan hujan bebatuan sampai binasa sebagai imbalan bagi orang-orang yang durhaka.

Ungkapan kisah siksa ini mempertegas larangan melakukan perbuatan homoseksual sebagaimana yang dilakukan kaumnya Nabi Luth. Memang harus diakui, pemberlakuan larangan ini memang dari rasa iman atau keyakinan, bukan oleh hukum positif. Sungguhpun begitu, sebenarnya larangan berlatar belakang keimanan adalah jauh lebih dihayati daripada larangan yang hanya bermotif hukum positif.

Kedua, dalam ayat 80 Surat Al A’raf di atas dinyatakan bahwa perilaku homoseksual kaumnya Nabi Luth merupakan perilaku yang sebelumnya belum pernah ada. Ini mengandung arti bahwa perilaku homoseksual tersebut motif utamanya adalah penyaluran nafsu seksual (syahwah) yang tidak lazim (tidak normal). Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa perilaku homoseksual adalah “penyakit”, baik diri pelakunya maupun masyarakat (patologi sosial). Karena “penyakit”, maka perlu diusahakan penyembuhannya, bukan malahan diberi kesempatan atau perlindungan terhadap perbuatan tersebut. Bisa saja dilakukan konsinyasi atau penempatan secara khusus untuk keperluan rehabilitasi. Barangkali ilmu kedokteran, entah kedokteran pada umumnya maupun kedokteran kejiwaan, yang bertanggung jawab sesuai dengan profesinya. Menurut Dr. Bagus Riyono, M.A. pakar psikologi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Spitzer (2003) telah melaporkan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa 200 orang menderita homo seksual dapat dikembalikan menjadi heteroseksual (melakukan hubungan seksual lain jenis) (Riyono, Edisi Khusus 2018 :21). Sama nasibnya dengan berbagai jenis penyakit yang mengganggu kesehatan manusia maka semua orang senantiasa secara terus-menerus mencari cara pengobatannya. Demikian juga LGBT yang dinilai sebagai sebuah bentuk “penyakit” maka sudah tentu orang harus terus bersemangat untuk mencari cara pengobatannya, bukan malah diberi peluang untuk bertumbuh subur.

Ketiga, seperti terurai dalam pembahasan tentang sejarah merebaknya LGBT dan keterkaitannya dengan pemberlakuan HAM secara global di atas, maka tindakan kalangan lgbt merapat dengan HAM menyebabkan kesan bahwa penyebaran paham dan perilaku LGBT bukan sebuah gerakan yang bersifat kebudayaan murni, melainkan sudah ada intervensi tangan-tangan legislasi internasional yang mencoba memaksakan LGBT dapat diterima dan dilindungi secara hukum secara global. Hal inilah yang membuat tidak nyaman kalangan Islam dalam pergaulan selaku warga dunia. Masalahnya adalah karena paham dan gerakan LGBT secara substansi bertentangan dengan ajaran Islam seperti yang diutarakan di atas. Sungguh tidak mengenakkan manakala konsep, paham, dan perilaku LGBT dibenturkan kepada agama Islam dengan dalih payung hukum berupa deklarasi HAM global. Negara-negara di dunia yang penduduknya mayoritas Islam jelas menolak cara-cara perlindungan terhadap LGBT lewat jargo HAM seperti ini. Wallahu a’lam.

Baca juga Pengertian LGBT

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker