default

BID’AH DALAM IBADAH

Buku : Ahlussunnah wal Jamaa'ah Bid'ah dan Khurafat

Bid’ah dan Khurafat (part VI)

Sumber: Ahlussunnah wal Jamaa’ah Bid’ah dan Khurafat
Penulis : H. Djarnawi Hadikusuma

BID’AH DALAM IBADAH

Tentang bid’ah dalam ibadah ini akan kita bicarakan mengenai bid’ah idhafiah.
Seperti yang telah diterangkan, adalah bid’ah idlafiyah itu suatu ibadah yang jika dipandang dari ujudnya kelihatan sebagaimana ujudnya ibadah, tetapi dipandang dari segi lain adalah satu bid’ah sebab dikerjakan tidak menurut ketentuan sunnah tentang cara dan waktunya serta jumlahnya. Atau dengan lain perkataan: “ibadah yang dilakukan tidak menurut ketentuan Sunnah”.
Bid’ah idlafiyah inilah yang terbanyak macam dan ragamnya, dan diantaranya ada dipengaruhi oleh i’tiqad.
Diantara bid’ah-bid’ah idlafiyah yaitu:

  • Melafalkan Niat Shalat

Sebagaimana maksud kita menyusun risalah ini, demikian juga dalam kita mengemukakan tentang “niat untuk shalat” ini, adalah tidak dengan tujuan membongkar soal-soal lama khilafiyah atau soal-soal pelik dan rumit; melainkan semata-mata dengan maksud mengembangkan pengetahuan tentang pelaksanaan agama yang terjadi dalam masyarakat, jadi merupakan studi yang bersifat ilmiyah bagi mereka yang ingin belajar.
Setiap amal apalagi ibadah, wajib dikerjakan dengan niat yang ikhlas. Maka adalah layak kalau sahnya sembahyang harus dengan niat. Tetapi jika niat itu harus diucapkan dengan lisan, maka menjadi bid’ah karena tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah. Umpamanya melafalkan niat itu dengan kata-kata, “ushalli fardlal ‘ashri arba’a raka’a tin ada an lillahi ta’ala” yang artinya: “aku berniat shalat fardlu ashar empat raka’at semata-mata karena Allah ta’ala”.
Pada mulanya memang para ulama yang menganggap baik (mustahab) ushalli itu adalah untuk menuntun hati, apalagi hati yang belum tetap. Dan para ulama itu telah mengakui bahwa memang ushalli itu tidak dikerjakan dan tidak dituntunkan oleh Rasulullah. Tetapi hati perlu dituntun oleh lisan agar lebih mantap. Kita tidak dapat menolak bahwa maksud itu memang baik dan bersifat pedagogis. Tetapi apa yang hanya dianggap baik oleh ulama, oleh pengikutnya generasi ke generasi, lama-lama dianggap sebagai suatu keharusan yang layak dan akhirnya tidak boleh ditinggalkan, hingga orang-orang dewasa yang sejak kecil ber-ushalli sampai tuanya pun tetap ber-ushalli juga. Maka kelihatan bahwa ushalli ini dipercayai sebagai rangkaian shalat dan tidak sempurna shalat tanpa ushalli.
Tersebut dalam hasyiyah kitab “Kanzud-Daqaiq” karangan Siddieqie:

فالتلفُّظُ بِدْعَةٌ لكنِ استِحْسَنُهُ المُتَأَخِّرُونَ فِي حَقَّ مَنْ لَتَجْتمَع عَزِيْمَتُهُ

“Mengucapkan niat itu bid’ah, tetapi ulama mutakhirun menganggap baik dilakukan oleh orang yang hatinya belum tetap.”
Jelaslah bahwa membaca ushalli itu bid’ah, diadakan oleh sebagian ulama untuk medidik hati orang yang lemah tetapi kemudian menjadi kelaziman, bahkan banyak orang yang menganggapnya sunnah atau ibadah, maka menjadi perkara yang wajib dihentikan.

  • Doa Bersama-sama Sesudah Shalat

Melazimkan berdoa dengan suara nyaring oleh imam sesudah selesai berjama’ah fardlu, dan para makmum meng-amin-kan bersama-sama. Kelaziman seperti ini tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun yang dituntunkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sehabis salam shalat fardlu ialah membaca:

لا اله إلا الله وحده لا شريك له. له الملك وله الحمد وهو على كلّ شئٍ قدير. اللهم لامانع لما أعطيت ولا معطي لما منعتَ ولا ينفع ذالجدّ منك الجدُّ

“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa tidak bersekutu. Yang mempunyai kerajaan dan pujian, dan berkuasa atas segala sesuatu. Ya Allah taka ada seorangpun yang berkuasa mencegah pemberian yang Engkau berikan, dan tidak seorangpun berkuasa memberikan sesuatu yang telah Engkau cegah, serta tidak ada gunanya kemuliaan yang diberikan kepada orang yang telah Engkau muliakan”. (Dari hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Mughirah bin Syu’bah).

Dan dari sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diterangkan bahwa Rasulallah menentukan kepada para orang fakir muhajirin agar sehabis shalat fardlu membaca tasbih, takbir dan tahmid, masing-masing tiga puluh tiga kali.

Juga ada riwayat:

وعنْ ثوْبانَ قَال: كَانَ رسولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذا انْصرفَ مِنْ صلاتِهِ، استَغْفَر اللَّه ثَلاثًا وقَالَ: اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلامُ، ومِنْكَ السَّلامُ، تَباركْتَ يا ذَا الجلالِ والإِكْرامِ

“Dari Tsauban berkata: Adalah Rasulullah s.a.w. Itu jika selesai dari shalatnya ia mendoa istighfar (mohon ampun) tiga kali dan mengucap: Ya Allah, Engkaulah kesejahteraan dan daripada-Mu datangnya kesejahteraan nu. Maha suci Engkau wahai Tuhan yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. (Diriwayatkan oleh jama’ah selain Al Bukhori).

Sekian banyaknya riwayat, tetapi tidak ada satupun yang menerangkan bahwa sehabis shalat fardlu Rasulullah mengangkat tangan dan mendoa serta menurut sunnah hendaklah masing-masing membaca seperti yang dituntunkan Rasulullah tersebut di atas dengan suara perlahan-lahan.

  • Mengirim Pahala kepada Mayat

Telah menjadi suatu bid’ah yang meluas bahwa orang hidup dapat mengirimkan pahala kepada orang mati. Biasanya yang dikirimkan itu pahala sedekahan, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan khususnya bacaan surat Al-Ikhlash. Menurut kepercayaan mereka, pahala itu dapat sampai dan diterima oleh si mati; Allah menerimakan pahala itu kepadanya. Dengan adanya kepercayaan itu maka bid’ah ini juga tergolong dalam bid’ah i’tiqad dan mempunyai kedudukan yang amat penting untuk diselidiki dan dibicarakan. Biasanya pula mereka sengaja membaca Al-Qur’an itu di atas kuburan si mati, dan sering dengan menerima upah atau dengan kata-halus; sedekah. Yang demikian ini menjadikan orang lengah dan melengahkan agama karena toh pahala dapat dikirim oleh orang yang masih hidup. Padahal Allah berfirman:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

“Tiadalah akan diperolehnya manusia kecuali apa yang ia kerjakan” (Surat An-Najm: 39).

Lagi pula Imam Nawawi dalam kitabnya “Al-Adzkar” menerangkan bahwa Madzhab Syafi’i sendiri berpendapat bahwa pahala membaca AlQur’an itu tidak sampai kepada si mati. Bagaimana akan sampai, si mati itu tidak membaca dan mendengarpun tidak akan bacaan orang yang di atas kuburnya, karena ia sudah mati. Baik Qur’an maupun Hadits tidak menerangkan atau menyuruh kita membaca Qur’an untuk orang yang sudah mati. Sebaliknya Rasulullah telah bersabda dalam sebuah Hadits yang telah amat masyhur yang artinya: “Jika mati anak Adam maka terputuslah segala amal dari padanya kecuali (pahala) dari tiga perkara yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang dipermanfaatkan dan doa seorang anak yang shalih”.
Shadaqah jariyah, ialah amal yang pahalanya berjalan terus karena amalan itu bermanfaat terus meskipun yang beramal telah mati, seperti halnya harta yang diwakafkan untuk masjid, madrasah, rumah sakit dan sebagainya. Jadi sebenamya shadaqah jariyah inipun amal si mati sendiri yang dikerjakan di waktu hidupnya, bukan amal orang lain.
Ilmu yang dipermanfaatkan, yaitu jika orang mengajarkan sesuatu ilmu kepada orang lain yang lalu diamalkan dan bermanfaat kepada manusia. Maka pahala dari kemanfaatan ilmu itu akan sampai terus kepada yang mengajarkan meskipun dia telah mati. Pahala ini juga sebenarnya hasil jerih payah si mati itu, yang dikerjakan di waktu masih hidup.
Doa anak yang shalih selamanya dikabulkan Allah bagi ayahnya atau ibunya yang telah mati. Ini juga hakekatnya buah dari amal si mati itu yang selagi hidupnya telah bersusah payah mendidik anaknya sehingga menjadi seorang yang shaleh. Terkabulnya doa ini sudah tentu dengan syarat bahwa orang tuanya itu semasa hidupnya harus seorang mukmin, karena Allah tidak akan mengampuni dosa orang musyrik dan kafir sekalipun didoakan tujuh puluh kali, bahkan Allah melarang kita mendoakan orang musyrik dan kafir meskipun orangtua atau anak kita sendiri.
Biasanya orang yang berpendapat bahwa pahala amal orang hidup dapat sampai kepada orang yang sudah mati, dengan dalil riwayat sebagai berikut:

  1. Seorang perempuan dari Junainah bertanya kepada Nabi apakah ia boleh menghajikan ibunya yang telah mati padahal mempunyal nadzar berhaji yang belum ditunaikan. Nabi menjawab: “Hajikanlah! Kalau ibumu itu meninggalkan hutang apa tidak akan engkau bayar? Bayarlah, karena hutang kepada Allah itu yang lebih patut dibayar” (Riwayat Bukhori).
  2. Ibnu Abbas berkata: “Ya Rasulullah, ibuku mati dan mempunyai hutang puasa nadzar apakah aku puasakan dia”. Rasulullah berkata: “Jika ibumu itu meninggalkan hutang lalu engkau bayarkan, apakah telah lunas: hutang itu daripadanya?” Ia menjawab: “ya”. Maka berkata Nabi: “Kalau begitu puasakanlah ibumu itu”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
  3. Berkata ‘Aisyah bahwa Nabi bersabda: “Ayah hamba mati dan tidak berwasiyat. Bergunakah baginya jika hamba bersedekah baginya? Rasulullah menjawab: “ya” (Riwayat Muslim).
  4. Seorang lelaki bertanya kepada Nabi: “Ayah hamba mati dan tidak berwasiyat. Bergunakah baginya jika hamba bersedekah baginya? Rasulullah menjawab: “ya” (Riwayat Muslim).
  5. Beberapa riwayat lain yang malsudnya sama, yaitu ahli waris boleh melunasi hutang puasa, haji dan nadzar dari orang mati yang tidak sempat menunaikannya.

Keterangan:

  1. Ibadah shalat fardlu adalah ibadah yang tidak boleh terhalang, wajib dijalankan meskipun dalam keadaan sakit. Oleh karena itu tidak ada qadla dalam shalat seperti misalnya oleh karena sakit tidak mengerjakan shalat dan diganti sesudah sembuh. Tetapi ibadah puasa diperkenankan terhalang oleh suatu keadaan seperti sakit, sedang musafir dan haid] serta wajib diganti setelah Sembuh, dan dapat diganti dengan fidyah bagi orang tua yang sudah tidak kuat berpuasa. Adapun ibadah haji diwajibkan kepada orang yang mampu, sekali seumur hidup. Dan ibadah zakat setahun sekali. Sering terjadi orang telah berniat melakukan ibadah haji atau berzakat, sebelum ditunaikan telah meninggal dunia. Ada yang sempat mewasiyatkan ada yang tidak. Dalam hal ini pelaksanaan kewajiban yang telah diniatkan itu menjadi hutang kepada Allah. Jadi apabila mampu, ahli waris dianjurkan untuk membayarnya.
  2. Dalam surat An-Najm ayat 39, Allah telah berfirman bahwa manusia tidak akan menerima pahala selain dari amalnya sendiri termasuk amal jariyah, ilmu bermanfaat yang diajarkan dan doa anaknya yang shalih yang juga seluruhnya buah amalnya sendiri.
  3. Memahami sesuatu hadits Nabi adalah tidak diperkenankan menyalahi firman Allah. Maka riwayat-riwayat tersebut di atas itu memang tidak menyatakan bahwa pahala ahli waris yang mempuasakan atau menghajikan orang yang meninggal, akan sampai kepada yang meninggal itu, melainkan menyatakan bahwa hutang si mati menjadi lunas, tidak akan disiksa karena tidak menunaikan kewajibannya, sedang pahala tetap bagi ahli waris yang mengamalkan.
  4. Adapun tentang sedekah yang dilakukan oleh ahli waris untuk yang mati sebagaimana riwayat tersebut, memang berguna bagi si mati itu sekadar pelunas hutang sedekah (zakat) yang belum dibayarkan. Jika dengan wasiat maka barulah pahala itu sampai kepadanya. Sudah tentu harus diambilkan dari harta peninggalan si mati.
  5. Yang dimaksud dengan shodaqoh tidak melulu makan bersama seperti lazimnya diistilahkan orang dengan kata: sedekahan di mana justru fakir miskin kurang mendapat perhatian. Tetapi yang dimaksud Shodaqoh ialah memberikan harta untuk:
    • Memberi sandang-pangan kepada fakir-miskin dan anak yatim, seperti termaksud dalam firman Allah surat Al-Ma’un.
    • Delapan golongan yang berhak menerima shodaqoh (zakat harta) seperti termaksud dalam surat Taubat ayat enam.
      Jika orang tua atau kerabat kita meninggal, sangat utama antara ahli waris ada persetujuan sebagian dari harta peninggalan dikeluarkan untuk memberi sandang pangan kepada fakir miskin dan anak yatim, atau untuk sabilillah seperti membangun masjid, sekolahan, dakwah dan pembeayaan gerakan lslam; daripada untuk sedekahan dan selamatan. Terserah kepada Allah dan bukan urusan kita apakah simati menerima pahala dari itu.
  • Bid’ah dalam Shalat Tarawih

Yang dinamakan shalat Tarawih ialah shalat-lail atau shalat-malam yang dilakukan pada bulan Ramadlan. Raka’at dalam shalat-tarawih itu ada yang genap dan ada yang ganjil, umpamanya 2 kali shalat masing-masing 4 raka’at dan satu kali 3 raka’at. Shalat yang genap raka’atnya tersebut dinamakan shalat-tarawih dan yang ganjil disebut shalat-witir. Kata “witir” berarti ganjil. Waktu shalat tarawih ialah dari sesudah melakukan shalat Isya sampai terbit fajar.
Shalat Tarawih menurut Sunnah Rasulullah

  • Rasulullah pernah melakukan shalat-lail dengan berjamaah walaupun sesudah itu dia lakukan selalu dirumah. Dengan demikian dewasa ini kita boleh mengerjakan shalat tarawih dengan berjamaah di masjid atau surau atau gedung lain dan boleh pula di rumah dengan sindiri-sendiri (munfarid).
  • Jumlah rakaatnya sesbelas, dilakukan empat rakaat empat rakaat tanpa tahiyat awal lalu witir tiga rakaat juga tanpa tahiyat awal.

لحديث عائشة حين سئلت عن صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان قالت: ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثمّ يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثمّ يصلي ثلاثاز رواه البخاري ومسلم

Beralasan hadits ‘Aisyah yang menerangkan, bahwa ketika ia ditanya tentang shalat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam bulan Ramadhan, maka ia menjawab: “Pada bulan ramadhan maupun di bulan lainnya tak pernah rasulullah mengerjakan lebih dari sebelas raka’at, ia kerjakan empat raka’at. Jangan engkau tanya eloknya dan lamanya, kemudian ia kerjakan lagi empat raka’at dan jangan engkau tanya eloknya dan lamanya. Lalu ia kerjakan tiga raka’at.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

  • Atau dilakukan empat kali masing-masing dua raka’at lalu witir tiga raka’at. Tetapi apabila shalat tarawih itu di kerjakan menjelang fajar dan khawatir akan terkejar waktu subuh maka witirnya boleh satu raka’atnya saja sehingga seluruhnya hanya Sembilan raka’atnya.

لحديث ابن عمر قال قام رجل فقال يا رسول الله كيف صلاة الليل؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الليل مثنى فإنخفتَ الصبح فأوتير بواحدةٍ. رواه الجماعة

Beralasan Hadits Ibnu Umar yang mengatakan: Seorang lelaki bangkit berdiri lalu menanyakan: “Bagaimana cara shalat malam, hai Rasulullah?” Jawab Rasulullah shalallahu alaihi wasallam: “Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika engkau khawatir akan terkejar Shubuh, hendaklah engkau kerjakan witir satu raka’at saja.” (Riwayat Jamaah).

  • Atau yang sebelas rakaat sebagai tersebut di atas dikerjakan dengan satu kali delapan raka’at tanpa tahiyat awal, tahiyat akhir dilakukan pada rakaat kedelapan lalu shalat witir dua raka’at salam kemudian disambung satu rakaaat dan salam.

وفي رواية أبي داود عنها من طريق قتادة بإسناده قال: يصلي ثمان ركعات لا يجلس فيها إلا عند الثامنة فيجلس فيذكر الله عزّ وجلّ ثمّ يدعوه، ثم يسلم تسليما يسمعنا، ثم يصلي ركعتين وهو جالس بعد ما يسلم يصلي ركعة فتلك إحدى عشرة ركعة يا بني

Diterangkan dalam riwayat Abu Dawud dari Qatadah katanya: “Nabi shalat delapan raka’at dengan tidak duduk (tahiyat) kecuali pada rakaat yang kedelapan. Dalam duduk itu membaca dzikir dan doa kemudian membaca salam dengan salam yang terdengar sampai kepada kami; lalu shalat dua raka’at sambil duduk setelah ia baca salam. Kemudian ia shalat lagi satu rakaat. Itulah sebelas raka’at semuanya, hai anakku.”

  • Sebelum mengerjakan shalat-tarawih yang sebelas rakaatnya sebagai tersebut di atas, lebih dahulu diawali dengan shalat dua raka’at yang pendek. Shalat ini namanya Iftitah. Dengan demikian seluruhnya tigabelas raka’at dengan iftitahnya.

ولحديث زيد بن خالد الجهني أنه قال: لأرمقنّ صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلّم الليلة فصلى ركعتين خفيفتين ثمّ صلى ركعتين طويلتين ثم صلى ركعتين وهما دون اللتين قبلهما ثم صلى ركعتين دون اللتين قبلهما ثم صلى ركعتين دون اللتين قبلهما ثم صلى ركعتين دون اللتين قبلهما ثم أوتر فذلك ثلاث عشرة ركعة. رواه مسلم

Beralasan pula hadits Zaid bin Khalid Al Juhani yang mengatakan: Benar-benar aku hendak mengamati shalat Rasulullah malam ini. Lalu (aku lihat) dia shalat dua rakaat singkat-singkat kemudian dua rakaat panjang-panjang, kemudian ia shalat dua rakaat yang kurang panjang dari yang sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang kurang lagi panjangnya dari yang sebelumnya, kemudian ia shalat lagi dua rakaat yang kurang lagi panjangnya dari yang sebelumnya, lalu shalat lagi dua rakaat yang kurang lagi panjangnya dari yang sebelumnya, kemudian ia shalat witir. Maka jadilah seluruhnya tigabelas rakaat.” (Riwayat Muslim).

لحديث كريب عن ابن عباس قال: في قصة مبيته عند ميمونة رضي الله عنها فصلى صلى الله عليه وسلم ركعتين خفيفتين قد قرأ فيهما بأم القران في كل ركعة ثم سلام ثم صلى حتى إحدى عشرة ركعة بالوترز ثم نام فأتاه بلال فقال: الصلاة يا رسول الله فقام فركع ركعتين  ثمم صلى بالناس. رواه أبو داود

Beralasan hadits Kuraib dari Ibnu ‘Abbas yang menceritakan dalam ceritanya ketika ia bermalan di rumah Maimunah: “Nabi lalu shalat dua raka’at pendek-pendek membaca Fatihah dalam tiap ra’atnya kemudian membaca salam Ialu shalat sebelas raka’at dengan witirnya kemudian tidur. Maka shahabat Bilal menghampirinya sambil berseru: Waktu shalat, hai Rasulullah. Nabi lalu bangkit dan shalat dua raka’at, kemudian memimpin shalat orang banyak. (Riwayat Abu Dawud).

  • Atau yang tigabelas rakaat sebagai tersebut di atas dilaksanakan shalat-iftitah dua rakaat lalu tiga kali masing-masing dua rakaat kemudian witir lima rakaat sekaigus tanpa tahiyat awal.

ولحديث عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلّم يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة يوتر ذلك بخمس لا يجلس في شئ إلا في أخرها. رواه الشيخان

Beralasan pula pada Hadits ‘Aisyah yang menerangkan: “Adapun Rasulullah sering mengerjakan shalat-malam tigabelas rakaat dengan perhitungan lima daripadanya selaku witir yang ia kerjakan terusan tanpa duduk kecuali pada akhirnya”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).

  • Atau yang tigabelas rakaat tersebut di atas dilakukan dengan shalat-iftitah dua rakaat lalu tarawih empat rakaat satu kali salam atau dua kali kemudian witir tujuh rakaat tanpa tahiyat awal dan satu kali salam.

ولحديث أم سلمة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلّم يوتر بسبع وبخمس لا يفصل بينهنّ بسلام وكلام. رواه أحمد والنسائ وابن ماجة

Dan beralasan Hadits Ummi Salamah yang menerangkan: “Rasulullah pernah mengerjakan witir tujuh atau lima rakaat tanpa dipisah antara semuanya dengan bacaan salam atau lainnya”. (Riwayat Nasai, Ibnu Majah).

  • Seperti yang telah diterangkan di atas, keseluruhan shalat-lail atau shalat tarawih itu disebut juga shalat witir. Ini teryata jelas dalam riwayat di bawah ini:

لحديث عبد الله بن أبي قيس قال:قلتُ لعائشة بكم كان رسول الله صلى الله عليه وسلّم يوتر؟ قالتْ كان يوتر بأربع وثلاث وست وثلاث وثمان وثلاث وعشر وثلاث, ولم يكن يوتر بأنقص من سبع ولا بأكثر من ثلاث عشرة. رواه أبو داود

Beralasan hadits Abdullah bin Abu Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya pada ‘Aisyah “Berapa rakaat Rasulullah shalat witir? Ia menjawab “Ia kerjakan witir empat lalu tiga, atau enam lalu tiga, atau delapan lalu tiga atau sepuluh lalu tiga. Ia tidak pernah berwitir kurang dari tujuh rakaat dan tidak lebih dari tiga belas.” (Riwayat Abu Dawud).

Kesimpulan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa shalat lail atau shalat tarawih itu sebelas rakaat dengan witirnya, dan dapat diawali dengan shalat iftitah dua rakaat sehingga menjadi tiga belas rakaat. Boleh dikerjakan berjamaah atau munfarid. Gerakan tarawih berjamaah seperti yang berlaku sekarang ini amat baik dan itu bukan bid’ah melainkan tergolong mashalihul mursalah karena faedahnya diperlukan bagi tegaknya agama. Faedah gerakan tarawih berjamaah itu antara lain ialah menimbulkan dan menggembirakan gairah beribadah terutama pada anak-anak dan remaja, dapat diadakan ceramah agama sesudah shalat tarawih untuk memperdalam pengetahuan dan menjadi syiar agama Islam.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker