BeritaKhazanah

Etika dan Tanggung Jawab dalam Menceritakan Mimpi Bertemu Nabi saw

TABLIGH.ID, YOGYAKARTA—Sebagai arena perjalanan batin yang tak terjelaskan sepenuhnya, mimpi telah memikat pikiran manusia sepanjang zaman. Setiap individu berpotensi mengalami mimpi, terefleksikan dari aktivitas psikis saat tidur. Namun, pemahaman Majelis Tarjih tentang mimpi mengandung lapisan kompleksitas yang tak dapat diabaikan.

Sejalan dengan penjabaran yang telah diuraikan oleh Rasulullah SAW melalui hadis-hadisnya, Majelis Tarjih percaya bahwa variasi mimpi tergantung pada penyebab dan posisi seseorang dalam kehidupannya. Inilah yang menghasilkan kualitas mimpi yang beragam, menyoroti perbedaan antara mimpi Nabi dan mimpi manusia biasa. Mimpi Nabi, ditegaskan, memiliki kebenaran intrinsik dan mungkin membawa pesan ilahi; namun, mimpi orang biasa belum tentu memiliki aspek kebenaran.

Fokus pada aspek pertemuan dengan Nabi SAW dalam mimpi juga tercermin dalam pandangan Majelis Tarjih. Banyak hadis sahih mengenai pengalaman bertemu Rasulullah dalam mimpi menegaskan kebenaran penglihatan tersebut, karena setan tidak mampu meniru wujud beliau. Sebuah mimpi bertemu Nabi dianggap sebagai anugerah ilahi yang mengundang ungkapan syukur.

Namun, penting bagi Majelis Tarjih untuk menegaskan bahwa pengalaman bertemu Nabi dalam mimpi juga perlu memenuhi kriteria fisik dan non-fisik Nabi yang telah diuraikan dalam hadis-hadis sahih. Dalam pandangan ini, gambaran Nabi yang nyata—tidak terlalu tinggi atau pendek, bukan terlalu putih atau coklat, serta ciri-ciri fisik lainnya—menjadi penanda keaslian pengalaman. Ketidaksesuaian dengan ciri-ciri ini memicu pertimbangan serius bahwa apa yang dilihat bukanlah Nabi, melainkan setan yang mengaku-aku sebagai Nabi.

Bagi Majelis Tarjih, kesucian hati dan komitmen terhadap amalan-amalan saleh menjadi penentu potensi seseorang bertemu Nabi dalam mimpi. Namun, Majelis Tarjih juga menekankan bahwa klaim atau penyebaran ajaran yang bukan berasal dari Nabi namun diklaim sebagai pesan Nabi merupakan tindakan yang patut dikritisi. Kecaman serius menyertai klaim semacam ini, menekankan pentingnya integritas dalam menghormati ajaran Nabi SAW.

Dari al-Mughirah r.a. [diriwayatkan] ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka [H.R. al-Bukhari nomor 1291 dan Muslim nomor 4].

Tidak Perlu Dipublikasi

Pengalaman unik bertemu dengan Nabi saw dalam mimpi memberikan dimensi spiritual yang mendalam, namun berbicara mengenai hal ini kepada publik memunculkan pertanyaan etis yang penting. Orang yang mengalami pengalaman semacam itu mungkin harus mempertimbangkan dengan hati-hati apakah akan membagikannya secara terbuka, mengingat potensi untuk menimbulkan pemahaman yang salah dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan as-Sunnah.

Terlebih lagi, dalam kasus di mana seseorang mengaku bertemu Nabi saw dalam mimpi, perlu ditekankan bahwa tidak adanya kriteria yang sesuai dengan karakteristik fisik, wajah, dan akhlak Nabi. Sebagaimana dinyatakan dalam nas Al-Qur’an dan as-Sunnah, mimpi yang benar memiliki landasan etika tertentu yang perlu diperhatikan.

Salah satu etika penting dalam menceritakan mimpi adalah kewajiban untuk berbicara dengan kejujuran. Nabi saw sendiri telah menegaskan bahwa “Orang yang paling benar ucapannya, maka paling benar pula mimpinya” (HR. al-Thabrani). Hal ini menekankan pentingnya menghindari penyimpangan atau penambahan dalam penyampaian pengalaman mimpi, untuk memastikan integritas pesan yang ingin disampaikan.

Kesucian sebelum tidur memiliki peran krusial dalam konteks ini. Berwudhu sebelum tidur mempersiapkan batin untuk pengalaman spiritual, menciptakan kondisi yang lebih menerima terhadap pesan-pesan yang mungkin akan diterima dalam mimpi. Selain itu, orientasi tidur dengan kepala mengarah ke utara dan tubuh menghadap kanan adalah tindakan yang dipercaya dapat mempengaruhi kualitas mimpi.

Penting juga untuk mempertimbangkan kebijakan dalam berbicara tentang mimpi kepada orang lain. Dalam Q. Yusuf (12): 5, Allah mengingatkan agar mimpinya tidak diceritakan kepada saudara-saudaranya yang mungkin memiliki niat buruk. Oleh karena itu, menjaga rahasia dan membagikan pengalaman mimpi hanya kepada individu yang dapat diandalkan dan memiliki niat baik adalah tindakan bijaksana.

Terakhir, larangan berdusta mengenai mimpi adalah prinsip yang tak terhindarkan. Kejujuran adalah pondasi etika yang tak tergoyahkan dalam berbagi pengalaman spiritual semacam itu. Dalam situasi apapun, memegang integritas dalam penyampaian pengalaman mimpi adalah kewajiban moral yang harus dijunjung tinggi.

Dengan mempertimbangkan etika-etika ini, individu yang mengalami pengalaman bertemu dengan Nabi saw dalam mimpi dapat menjalani perjalanan spiritualnya dengan integritas dan tanggung jawab yang penuh. Menceritakan mimpi dengan benar dan bijaksana akan menjaga kesucian pesan spiritual dan menghindari penyebaran informasi yang salah atau membingungkan kepada masyarakat yang lebih luas.

Penulis: Ilham Ibrahim

Referensi: Rubrik TJA dalam Majalah SM No 17 Tahun 2022

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker