BeritaKhazanahWacana

“Bahagia Di Atas Ilmu Bukan Atas Dasar Perasaan”

Oleh: Beta Pujangga Mukti
(Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah)

Belakangan ini hati kita dibuat miris, dengan peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh beberapa orang yang berstatus sebagai mahasiswa. Di Jogja, mahasiswa itu mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai empat asrama kampus, begitu juga dengan yang di Semarang, bahkan ia melompat dari gedung tinggi sebuah mall yang akhirnya menewaskannya di tempat. Selang dua hari, di kota yang sama di Semarang, juga ditemukan seorang mahasiswa sudah tidak bernyawa di kamar kosnya.

Mendengar peristiwa seperti ini, tentu perasaan kita miris, apalagi orang tua dan keluarga yang bersangkutan, sudah pasti hatinya sangat teriris. Bahkan, sebelum mengakhiri hidup,  ada yang menuliskan sepucuk surat luapan kesedihan dengan diakhiri sebuah kalimat, “Maaf Mah, Aku Menyerah”.

Manusia adalah makhluk mulia di hadapan Allah, para malaikat bahkan seluruh makhluk di muka bumi ini. Islam sangat menekankan konsep Karamah Insaniyyah (kemuliaan insan), sehingga Islam melarang tindakan bunuh diri. Potongan ayat ke 29 dari surat al-Nisa menyebutkan “…dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Zat Maha Penyayang kepada kalian.” Dalam satu hadis diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, diceritakan bahwa seorang dari Bani Israil yang tidak dapat menahan rasa sakit yang diderita, memutuskan untuk bunuh diri dengan memotong urat nadi di tangannya. Hadis ini ditutup dengan Sabda Nabi SAW: “Allah berkata, “Hamba-Ku mendahului-Ku dalam urusan ajalnya (sehingga) Aku haramkan untuknya surga”. Ibn Hajar al-Asqalani menjelaskan, haramnya surga atas pelaku bunuh diri menjadi dalil bahwa bunuh diri merupakan perbuatan terlarang dan dosa yang berat.

Apapun motifnya, memang generasi muda hari ini telah mengalami hal serius yang disebut dengan krisis kesehatan mental. Fenomena krisis ini diperkuat dengan hasil penelitian seorang professor dari James Madison University di Virginia, Amerika. Beliau katakan bahwa jumlah mahasiswa yang mengalami depresi dan kekhawatiran berlebih di pertengahan tahun 80-an, berkisar di angka 10-15 persen. Angka itu melonjak drastis di tahun 2015-an di angka 35 hingga 45 persen dengan pelbagai gejala yang mengikutinya, seperti gangguan makan, menyakiti diri sendiri hingga keputusan untuk bunuh diri.

Jika membaca penelitian ini lebih lanjut, ada dua faktor utama mengapa para mahasiswa ini mengalami gejala krisis mental yang mengakibatkan depresi, galau, dan semacamnya. Pertama karena merasa tertekan, dan tekanan ini justru datang dari orang-orang terdekat yang ada di sekitarnya, terutama orang tua. Tekanan yang membuat mereka harus sukses secara akademis, membuktikan kepada orang tua bahwa mereka harus seselesai tepat waktu dengan hasil yang memuaskan, karena tidak sedikit biaya yang sudah dikeluarkan.

Memang benar bahwa mahasiswa harus komitmen kepada orang tua, bahwa mereka punya kewajiban untuk menjalankan tugas kuliahnya dengan baik dan benar. Hanya saja tekanan yang berlebihan, justru memunculkan rasa takut dan penyesalan yang mendalam jika target-target yang dibebankan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sementara untuk mencapai kesuksesan tersebut, banyak pula halangan dan rintangan yang harus dihadapi. Rupanya mereka ini ada perasaan takut menghadapi ujian dan rintangan, sebab sudah dihantui rasa takut akan kegagalan.

Faktor kedua yang menjadikan para mahasiswa ini depresi adalah tekanan dari pihak luar, yaitu media sosial yang turut menjadi penyebab para mahasiswa ini stress. Melihat postingan-postingan teman ataupun orang lain yang justru meningkatkan level kekhawatiran dan depresi karena kerap membandingkan kehidupannya. Merasa kurang beruntung, merasa tertinggal dari yang lain, merasa tidak mampu, dll. Perasaan-perasaan tersebut menjadikan kecil hati, rendah diri, bahkan bisa kufur nikmat. Dalam hal dunia (materi dan kebendaan) selalu melihatnya ke atas.

Jawaban dari persoalan di atas adalah, sebab mereka (para mahasiswa) ini belum benar-benar mengerti dan faham makna dari bahagia yang sesungguhnya. Mencari bahagia bukan atas dasar ilmu, tetapi ukuran bahagia mereka didasarkan kepada perasaan. Sehinggalah terjadi fenomena bunuh diri, merasa tidak bahagia, kemudian mereka dibunuh oleh perasaan mereka sendiri. Padahal kata Imam Malik rahimahullah, “Orang yang mencari ilmu seharusnya memiliki sifat ketenangan, ketenteraman, dan rasa takut kepada Allah SWT”. Namun yang terjadi, ilmu yang mereka palajari justru tidak menghantarkan mereka kepada kebahagiaan.

Dalam perasaan mereka, kebahagiaan itu ukurannya masih dengan sesuatu yang bersifat materi, seperti uang, jabatan, popularitas dan bentuk fisik dari materi lainnya. Padahal manusia juga memerlukan unsur ruhani untuk memuaskan dan mengisi kekosongan jiwanya. Sebab ruhaninya kosong, sehingga menyebabkan kehampaan dalam jiwanya, dan disaat itulah setan akan memainkan perannya supaya manusia mengutuk dirinya, bahkan mengumpat kepada Tuhan, kenapa tidak adil, kenapa tidak sayang, dan prasangka-prasangka buruk lainnya, sampai kemudian berfikir untuk lebih baik mengakhiri hidupnya.

Bahagia di atas ilmu tidaklah demikian, sebab Allah SWT sendiri yang menjamin dalam al-Qur’an, bahwa manusia akan tenang hatinya jika mereka mengenal dan selalu berdzikir kepada-Nya;

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Q.S. Ar-Ra’d: 28).

Mengingat Allah SWT adalah obat. Obat segala macam penyakit hati, dari mulai al-ghill (perasaan mudah marah), al-hasad (perasaan dengki), al-khauf (perasaan takut), dan al-khazan (perasaan sedih), semua penyakit ini akan menjadi ra’fah (kelembutan) dan juga rahmah (kasih sayang) hanya dengan mengingat-Nya sepanjang siang dan malam.

Ketenangan yang membawa kepada kebahagiaan ini, ketenteraman yang banyak dicari dan didambakan oleh banyak orang ini, hanya berjarak antara kening dan tepat sujud. Artinya, selain membasahi bibir dengan dzikir, mendirikan sholat adalah kunci kebahagiaan. Sebab dengan sholat, pintu-pintu pertolongan Allah SWT akan dibukakan. Selain juga dari pintu kesabaran. Sabar dalam menghadapi cobaan, onak dan cabaran. Kedua ibadah ini Allah sandingkan bersamaan, yang satu ibadah fisik (sholat) dan yang satunya ibadah hati (sabar), dan keduanya adalah ibadah paling berat di antara ibadah-ibadah yang lain. Sebab itulah Allah SWT pun menjamin, bahwa sholat dan sabar dapat menjadi wasilah bagi pintu datangnya pertolongan.

Gejala depresi, stres, galau, dan lain sebagainya itu muncul dari perasaan, dan muara dari perasaan adalah hati. Oleh sebab itu, pandai-pandailah kita menjaga hati ini tetap stabil dengan cara dzikrullah (mengingat Allah SWT). Kemudian terhadap musibah dan cobaan, berupa cabaran, tantangan, bahkan tekanan, perlu disikapi dengan ilmu yang benar, bukan sekadar mendahulukan perasaan. Sebesar apapun masalah yang dihadapi, yakinlah bahwa Allah SWT bersama kita, Dia bersama orang-orang yang sabar dan sholat. Maka perkuat kedua ibadah ini, meskipun berat namun keutamaannya amatlah besar.

Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka pun tidak bersedih hati” (Q.S. Al-Baqarah: 38).

Dengan hati yang telah tertata, dan keyakinan bahwa Allah SWT sentiasa bersama kita, tegak lurus berjalan di atas jalan-Nya, maka dengan bismillah kita katakan kepada masalah bahwa ada Allah SWT yang akan menjadi penolong. Sebesar apapun masalahnya, rahmat dan pertolongan-Nya amat sangat lebih besar.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker