BeritadefaultKhazanah

BID’AH DAN KHURAFAT

AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH, BID’AH KHURAFAT

BID’AH DAN KHURAFAT

OLEH: H. DJARNAWI HADIKUSUMA

Buku : AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH, BID’AH KHURAFAT

BID’AH DAN KHURAFAT

Bid’ah dan khurafat rapat hubungannya dengan “taqlid”, bahkan dapat dikatakan bahwa taqlid itu tulang-punggung bid’ah dan khurafat. Diaktakan demikian karena dengan adanyan taqlid itu bid’ah dan khurafat dapat berkembang biak tersiar luas merata. Jiwa taqlid merupakan tanah yang amat subur untuk tumbuhnya dan tersiarnya benih bid’ah dan khurafat. Jiwa yang hidup dan sadar akan artinya agama bagi dirinya, niscaya hanya menghendaki iman kepada Allah suci bersih dan murni tidak bercampur dengan kepercayaan dan buatan manusia meski bagaimana kecilnyapun: dann hanya menghendaki hakekat dan cara beribadah yang asli yang diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Mengenai bacaanya, bacaanya, jumlah dan waktunya, asli dan murni tidak tidak dikurangi atau ditambahi kehendak manusia. Kesadaran semacam ini adalah buah daripada keimanan bahwa Allah benar-benar Allah cukup sempurna menganugerahkan tuntunan beribadah. Rasulallah telah lengkap memberikan percontohan dan pimpinanya: tidak perlu ditambah lagi, bahkan ditambah menjadi keliru dan salah. Adalah tidak layak, kalau Allah memerintahkan kita menyembah-Nya lalu kita menambah cara-cara menyembah melebihi yang diperintahkan-Nya. Kalau kita menambah juga tentu tambahan itu ditolak-Nya dan mungkin tambahan itu merusakkan ibadah yang asli.

Tambahan dalam hal ibadah itulah yang disebut bid’ah; dan tambahan dalam kepercayaan dinamakan dinamakan bid’ahaqaid atau khurafat.

Suatu ibadat yang telah ditambah dengan bid’ah lalu diamalkan oleh orang banyak terus-menerus turun-menurun, maka orang ‘awam menganggap bahwa yang asli dan tambahannya sebagai kesatuan ibadah yang tak dapat dipisahkan lagi; terutama bila orang ‘qwqm itu tidak mendapa tkesempatan mempelajari agama lebih mendalam. Apalagi pula jika justru para alim-ulama dan cerdik-pandai mengajarkan serta mencontohkan tambahan itu. Tambahan dalam cara beribadat ini teah dimulai sejak beberapa ratus tahun yang lalu. Jika tambahan itu tidak segera dikikis, apakah nanti tidak mungkin orang memberi tambahan baru atau bid’ah baru? Umpamanya membaca tasbih seratus kali sebelum takbiratul-ihram dalam shalat fardlu, bukanlah membaca tasbih itu sunnah?

Bid’ah dalam ‘aqaid seperti halnya talqin, yaitu mengajar kepada mayat sesudah ditimbun dengan tanah dalam kuburnya agar dapat menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir; adalah bid’ah yang mengandung i’tiqad bahwa si mayat dapat mendengar dan memahami talqin di luar kuburnya itu lalu dapat lulus dalam menjawab pertanyaan kubur dan masuk Surga. Kepercayaan ini sering begitu dalam mempengaruhi hati orang’awam, hingga mereka amat takut kalau-kalau sesudah matinya taka da orang yang mentalkinkan mereka; seolah-olah kenikmatan qubur itu dapat dicapai dengan meskipun mengabaikan amal-kebaikan. Karena itu merka lalu menganggap bahwa talqin itu merupakan syarat kenikmatan kubur dan kun pintu surge, karena itu hukumnya wajib, demi untuk keselamatan!

Perbaikan-perbaikan terhadap umat Islam telah dilakukan oleh beberapa pemimpin dan ulama dalam kalangan umat Islam sendiri. Perbaikan ini dinamakan “tajdid”, yaitu mengembalikan praktik beribadah dan beri’tiqad kepada sumber Islam yang asli ialah Quran dan Sunnah Rasul yang selama berabad-abad itu tersembunyi tidak dipelajari. Tajdid dalam kalangan Umat Islam ini telah dimulai dan mencapai hasil yang gemilang. Umat Islam menjadi cerdas dan maju dalam bidang kehidupan, terutama berhasil dalam mempraktikan ibadah serta ajaran Islam sehingga bermanfaat dunia dan akhirat.

Namun bid’ah dan khurafat masih belum hilang sama sekali. Sudah jauh berkurang tetapi belum hilang. Kita yakin bahwa bid’ah dan khurafat itu dengan makin pesatnya pengajaran dan pendidikan Islam lambat laun akan hilang juga, terutama sebabnya ialah generasi demi generasi demi bertambah cerdas.

I. PENGERTIAN BID’AH

  1. Arti Bid’ah menurut Bahasa

Arti Bid’ah menurut bahasa ialah: “Sesuatu yang diciptakan baru tanpa contoh yang mendahuluinya”, sebagaimana langit dan bumi ini diciptakan Allah untuk pertamakalinya. Firman Allah:

Artinya :  “Yang menciptakan semua langit dan bumi” (Al-Baqarah: 117).

“Katakan olehmu (Muhammad): aku ini rasul yang mula-mula”

Maksud ayat pertama ialah bahwa Allah menciptakan langit dan bumi ini tidak mencontoh ciptaan yang telah ada. Dan maksud ayat kedua ialah bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam itu bukan permulaan para rasul, melainkan sebelumnya telah ada rasul-rasul lain.

Imam Syatibi dalam kitabnya “Al-I’tishom” mengartikan bid’ah sebagai berikut:

Yang artinya : “Mengadakan sesuatu tanpa ada contohnya terdahulu.”

  1. Arti Bid’ah menurut Syara’

Adapun arti bid’ah menurut syara’ (agama) telah pula diterangkan oleh Imam Syatibi dalam kitabnya itu, ialah:

Yang artinya : “Suatu cara yang diadakan orang dala agama yang menyerupai perintah agama, yang dikerjakan dengan maksud berlebih-lebihan dala beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala”.

”…yang dikerjakan dengan maksud yang sama seperti maksud ibadah-ibadah lainnya dalam agama”.

Dari kedua pengertian tersebut di atas jelaslah bahwa bid’ah dalam agama ialah menambah ibadah yang diperintahkan oleh Allah dan diturunkan Rasul dengan cara baru yang tak ad adsalnya dalam syara’: dengan maksud mendapat pahala lebih banya atau agar lebih dicintai Allah atau agar dianggap lebih setia dan lebih rajin beribadah.

Oleh karena ibadah tambahan itu tidak diperintahkan oleh Allah dan oleh Rasul, hanya karangan saja, itula sebabnya dinamakan bid’ah. Demikian juga halnya bid’ah ‘aqaid, yaitu kepercayaan atau ‘amal yang didasarkan atas kepercayaan yang tidak diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Kepercayaan semacam itu adalah kepercayaan tamabahan dan amalnyapun amal tambahan pula.

  1. Dari mana diketahui adanya Bid’ah

Sumber dari ajaran agama Islam ialah Firman Allah dan Sunnah Rasul. Firman Allah termaktub dalam Al-Quranul Karim dan Sunnah Rasul dalam Hadits yang Shahih. Dari Al-Quran dan Hadits itulah kita menerima ajaran agama yang mengenai ushul atau kepercayaan dan yang mengenai furu’ atau hukum, juga yang mengenai akhlak. Dari sumber itu juga kita menerima perintah ibadah, amal-shalih disertai petunjuk dan pengawasan (kewaspadaan) terhadap kepercayaan yang mudah menimbulkan kesesatan dan syirik.

  1. Apa yang mendorong orang berbuat Bid’ah

Terlebih dahulu harus kita sadari, bagaimanapun bid’ahnya sesuatu ibadah, tetapi itu dikerjakan orang atau diajarkan orang dengan maksud beribadah atau dengan maksud dekat kepada Allah; maka dapat kita katakan dengan tegas bahawa orang yang mengerjakan bid’ah atau melakukannya tentu dengan maksud yang baik.

Hanya saja dalam mencapai maksud yang baik itu ia telah gunakan ibadah atau amal yang sesuai ibadah yang tidak dituntunkan oleh Allah dan Rasul, oleh ajaran agama yang murni. Disinlah letaknya kesalahan itu: bukan dalam maksud baiknya tetapi dalam pelaksanaannya. Karena kesalahan itu maksud baik tidak tercapai: ia tidak mendapat pahala lebih, ia tidak bertambah dekat kepada Allah, amal ibadahnya dapat tertolak seluruhnya, Jika demikian maka kerugian, atau paling ringan ia telah mengerjakan ibadah tanpa mendapat pahala dan paedah sedikitpun juga.

Dapatkah maksud baaik itu dirusakkan oleh pelaksanaan yang salah? Dapat. Dalam kehidupan manusia sehari-hari banyak contohnya, antara lain;

a. Seorang ayah yang amat sayang kepada anaknya bermaksud baik untuk menyenangkan dan membahagiakan anak itu. Maka apa saja kelakuannya tidak dilarangnya. Akhirnya karena terlalu dimanjakan anaknya itu menjadi orang yang boros dan jahat.

b. Karena ingin lekas sembuh, seorang sakit meminum obatnya lima kali sahari dua bungkus tiap kali minum, padahal menurut resep dokter seharusnya tiga kali sehari satu bungkus. Akhirnya si sakit tidak menjadi sembuh tetapi sakitnya semakin parah.

Keinginan untuk medapatkan untuk mendapat pahala lebih banyak, untuk lebih dekat kepada Allah itu, disertai dengan pendapat bahwa beribadatan sebagai yang dituntunkan Rasulullah itu jika dibandingkan dengan tharikat atau latihan ajaran mistik atau tasawuf yang berkembang luas apda waktu itu, apalagi jika dibandingkan dengan peribadatan agama Asia sebelum Islam ya’ni antara lain agama Hindu. Karena itulah agaknya mereka kurang puas dengan peribadatan yang sederhana itu, dan dengan kepercayaan yang tidak terbelit-belit itu, kurang mengandung rahasia, kurang misterius, kurang seram. Tuntunan Rasulullah tidak memberi kesempatan sama sekali kepada manusia untuk meningkatkan rohaninya sampai hamper dekat benar kepada tingkat malaikat. Tuntunan Rasulullah tidak membagi-bagi ‘ibadah, tingkat pertama ‘ibadah orang ‘awam, lalu tingkatan khusus, lalu tingkatan lau tingkatan guru, lalu tingkatan ulama, lalu ‘ibadah tingkatan para wali kekasih Allah yang sudah tentu merupakan tingkatan ‘ibadah tertinggi dengan cara khusus danterberat. Tetapi tuntunan Rasul menyamaratakan ‘ibadah itu. Puasa wajib hanya sebulan dalam setahun itu pun hanya darifajar hingga masghrib dan disuruh pula makan sahur. Tidak seperti puasanya agama Hindu ada yang empatpuluh hari ada yang lebih, disertai dengan berjemur di panas matahari dan sebagainya. Kesimpulannya ialah: Ibadah tuntunan Rasulullah masih kurang, maka diberi kesempatan untuk menambah.

Itulah maka Imam Syatibi dalam kitabnya “Al-I’tishom” mengemukakan contoh bid’ah antara lain sebagai berikut:

وَضْعُ الحدودُ كالناذرِ لِلصِّيامِ قَائِمًا لا يَقْعُودُ ضاحِيًا لا يستظلُّ

“Membuat batas-batas, seperti orang yang bernadzar puasa dengan sendiri boleh duduk, berjemur di panasan tidak berteduh”.

الْتزام الكيفيات والهيئات المعيّنة كالذكر الإجتماع على صوت واحدٍ

 “Menetapkan cara-cara dan gerak-gerak tertentu seperti dzikir dengan berkumpul bersama-sama dengan suara yang serentak pula”

 

“Menetapkan ‘ibadah-‘ibadah tertentu pada waktu-waktu tertentu pula yang mana tidak terdapat penentuan itu dalam agama, seperti menetapkan berpuasa pada hari pertengahan bulan Sya’ban dan shalat pada malamnya”

Shalat dan puasa adalah ibadah yang di perintahkan. Perintah shalat dan puasa itu disertai petunjuk waktu-waktunya. Karena ingin menambah waktunya itu maka orang mengerjakan shalat dan puasa di luar waktu-waktu yang ditentukan baik yang wajib atau sunnat, maka terjadilah bid’ah itu. Apalagi jika tamabahan ‘ibadaah itu ditentukan pada hari-hari yang dianggap lebih mulia menurut ilmu nujum, ilmu hitungan hari dan paasran seperti Jum’ah Kliwon, Selasa Pahing, tiap malam bulan purnama dan sebagainya; maka ‘ibadah itu selain bid’ah juga menjadi alat kemusyrikan.

Orang melakukan bid’ah dengan mengerjakan puasa pada hari Nisfu Sya’bam (pertengahan bulan Sya’ban) dan malamnya mengerjakan shalat berjama’ah kemudian membaca doa khusus yaitu memohon panjang umur dan murah rejeki. Ssegalanya itu dikerjakan dengan ditetapkan tanggala pertengahan bulan Sya’ban yang dianggap amat muliakarena menurut Hadits yang tidak shahih pada malam itu Allah Subhanahu wata’ala turun dari singgasana-Nya ke langit dunia. Demikian pula berdasarkan hadits-hadits Maudlu’ (palsu) yang meriwayatkannya antara lain bahwa Rasulullah melakukan shalat dengan sujud yang lama sekali pada malam Nisfu Sya’ban itu.

Sebenarnya Rasulullah telah mengajarkan ‘ibadah-‘ibadah sunnat di samping yang wajib. Siapa yang belum puasa ber’ibadah yang wajib sangat dianjurkan untuk melakukan ‘ibadah sunnat, yang sifatnya, jumlahnya serta waktunya telah ditentukan pula. Dengan melakukan ibadah sunnat ini orang dapat menambah pahala dan bertambah dekat kepada Allah, hendaklah mengerjakan amal shalih seperti bertabligh menyiarkan agama, mendirikan madrasah dan rumah sakit, panti asuhan, membangun masjid, menolong anak dan orang miskin dan sebagainya. Masih banyak lagi amal shalih yang dapat menambah pahala, dan selain mendekatkan diri kepada Allah juga bermanfaat kepada masyarakat dan Negara serta kepada umat Islam sendiri, yang karena itu, hukumnya tidak sekedar sunnat tetapi fardlu kifayah.

Tetapi apa hendak dikata, umumnya ahli bid’ah menganggap bahwa menambah;’ibadah dengan bi’ah itu jauh lebih utama dari pada beramal shalih sebagai tersebut diatas itu.

 

Baca  juga AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DAN MU’TAZILAH

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker