default

Fatawa Tarjih Muhammadiyah : Talak Rujuk Dengan Pakai Surat

Saudari Yati,

Desa Tanjung RT. 1 Kab. HST (Barabai), Kalimantan Selatan

Kasus :

Ada seorang suami menjatuhkan talak sama istrinya, tetapi melalui surat dan surat tersebut tidak diketahui istri, karena surat tersebut langsung diberikan sama penghulu (ini bahasa kami), kalau dalam bahasa lain yaitu orang yang bertugas mengawinkan orang, lalu surat tersebut dibaca sama penghulu, lalu penghulu tersebut bilang sah. Kemudian setelah suami mau pergi sambil di bilang mau dirujuk setelah kembali dari mencari kerja, lalu penghulu bilang sah ruju’.

Pertanyaan :

  1. Apakah betul penghulu mengesahkan talak dan rujuk tersebut?
  2. Tolong beri dalil kalau betul dan beri dalil pula kalau tidak.

Jawaban :

Menurut ajaran Islam yang berhak menjatuhkan perceraian ialah:

  1. Suami, yang disebut dengan talak (baca QS. al-Baqarah, 2: 228, 229, 230, dan lain-lain.
  2. Hakim (baca QS. an-Nur, 24:6 dan sababun nuzulnya).
  3. Perceraian yang terjadi (jatuh) dengan sendirinya, karena salah seorang suami atau istri meninggal dunia (QS. al-Baqarah, 2:234).

Belum ditemukan dalil yang menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi selain dari 3 (tiga) proses di atas, termasuk di dalamnya perceraian yang dijatuhkan penghulu.

Mengenai talak ada dua macam, yaitu talak raj’i dan talak ba’in. Talak ba’in ada dua macam, yaitu ba’in sughra dan ba’in kubra. Talak raj’i ialah talak yang dalam masa iddah suami boleh rujuk kepada istrinya, berdasarkan ayat 228 surat al-Baqarah:

…وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا

Artinya: “…Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah …” (QS. al-Baqarah, 2:228)

Talak bisa dijatuhkan suami dengan alasan yang dibenarkan.

Ada tiga macam masa iddah bagi istri yang ditalak suaminya, sesuai dengan keadaan istrinya:

  1. Tiga kali quru’ (ada yang mengartikan quru’ dengan suci dan ada pula yang mengartikan dengan haidl (bagi istri yang masih mengalami masa haidl). Baca QS. al-Baqarah, 2:228).
  2. Empat bulan sepuluh hari bagi istri yang kematian suami (baca QS. al-Baqarah, 2:234).
  3. Tiga bulan bagi istri yang tidak mempunyai masa haidl lagi (seperti telah tua) atau istri yang ragu-ragu tentang kedatangan masa haidlnya (baca QS. ath-Thalaq, 65:4).

Dari keterangan di atas dapat difahami bahwa apabila seorang suami menjatuhkan talaknya yang pertama atau yang kedua, ia boleh rujuk kepada istrinya dalam masa iddah istrinya itu. Jika pihak suami tidak rujuk kepada istrinya, maka pada saat habis masa iddahnya itu, status talak raj’i menjadi talak ba’in sughra. Jika pihak suami ingin kawin kembali dengan bekas istrinya dalam status talak ba’in sughra itu, haruslah dengan aqad yang baru dan mahar yang baru pula. Tentu saja sebelumnya telah disetujui oleh pihak istri. Proses rujuk atau proses perkawinan kembali itu haruslah dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki. Allah swt berfirman:

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ

Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS. ath-Thalaq, 65:2).

Aqad nikah adalah semacam aqad. Karena itu pada aqad nikah berlaku pula ketentuan-ketentuan yang berlaku pada aqad pada umumnya. Aqad nikah dilakukan oleh pihak calon istri, pihak calon suami, dan dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki. Pihak calon istri mengucapkan ijab dan pihak calon suami mengucapkan qabul. Ijab ialah pernyataan pihak istri bahwa bersedia menjadi istri dari calon suami. Sedangkan qabul ialah kesediaan pihak calon suami menerima calon istrinya menjadi istrinya. Hal ini berarti bahwa setelah terjadi ijab dan qabul, pihak suami memegang buhul aqad nikah. Inilah yang dimaksud ayat 237 surat al-Baqarah (2) dengan kalimat “alladzi biyadihi ‘uqdatun nikah” (orang atau suami yang di tangannya tergenggam aqad nikah).

Hal ini juga berarti bahwa suami adalah pemilik aqad nikah, sebagaimana dinyatakan dalam hadits:

لاَ نَذْرَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ عِتْقَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ طَلاَقَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ (أخرجه أبو داود و الترمذي و صححه

Artinya: “Tidak ada nadzar bagi seseorang terhadap apa yang tidak dimilikinya, tidak ada (hak) memerdekakan budak terhadap budak yang tidak dimilikinya, dan tidak ada (hak) mentalak terhadap istri yang tidak dimiliki (suami).”(ditakhrijkan oleh Abu Dawud dan at-Turmudzi dan dinyatakan shahih)

Sebagaimana halnya dengan aqad nikah, maka talakpun adalah semacam aqad pula. Hanya saja bedanya ialah aqad nikah semacam perjanjian untuk menjadi suami istri, sedangkan talak ialah perjanjian melepas buhul aqad nikah atau mengurungkan perjanjian aqad nikah yang telah disepakati sebelumnya.

Untuk mentalak istri atau melepas kepemilikan terhadap istrinya, dapat dilakukan cara-cara berikut:

  1. Suami langsung menjatuhkan talak kepada istrinya, di hadapan dua orang saksi laki-laki dan dengan syarat-syarat dan proses tertentu yang ditentukan syara’.
  2. Dengan mewakilkan kepada orang lain, tentu saja dengan surat kuasa yang dapat dijadikan sebagai alat bukti jika terjadi perselisihan atau persoalan di kemudian hari. Kemudian dilakukan seperti prosedur no. 1 di atas.
  3. Dengan surat suami yang di antar oleh seorang yang diberi kuasa oleh pihak suami, tentu saja surat itu adalah surat yang dapat dijadikan alat bukti. Kemudian prosedurnya seperti no. 1 di atas.

Cara-cara menjatuhkan talak oleh suami terhadap istrinya seperti cara-cara di atas sesuai pula dengan pendapat asy-Syafii (wafat 204 H), dengan alasan: peristiwa talak pada hakekatnya adalah semacam peristiwa aqad pada umumnya, termasuk di dalamnya peristiwa aqad nikah. Jika pada peristiwa aqad nikah dilakukan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu dan dilakukan secara resmi (‘ilaan), tentulah peristiwa talak dilakukan demikian pula.

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan:

  1. Talak yang dijatuhkan suami dengan surat, tidak dihadiri dua orang saksi, adalah talak yang tidak sah.
  2. Penghulu tidak berwenang mengawinkan seseorang wanita dan tidak pula berwenang menjatuhkan talak. Penghulu hanya wajib mencatat bahwa telah terjadi talak yang sah.
  3. Demikian pula halnya dengan rujuk, harus pula dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu di samping dihadiri dua orang saksi, juga harus rujuk dengan perbuatan suami, dalam masa iddah.

Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 38-40, dinyatakan:

Pasal 38: Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian, c. Atau keputusan pengadilan

Pasal 39:

  • Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak.
  • Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.

Pasal 40:

  • Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan.

Mengenai tata cara perceraian diatur pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Bab V Pasal 14 s.d. 36 jo Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Bab II Paragraf 1, 2, 3, 4 jo Kep. Menteri Agama No. 154 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab XVI pasal 113-157.

Dari Undang-undang dan Peraturan Pemerintah di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa semua bentuk perceraian yang dilakukan suami istri di Indonesia harus dilakukan di hadapan sidang pengadilan dan dengan keputusan hakim. Kewajiban penghulu hanya mencatat peristiwa telah terjadi aqad nikah yang sah. Penghulu tidak berwenang menikahkan orang, ia hanya mencatat pernikahan.

Bagi Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan atau perceraian tidak sesuai dengan Undang-undang dan peraturan yang berlaku diancam hukuman yang termuat pada Bab IX PP No. 9 Tahun 1975.

Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa peristiwa talak dan rujuk yang dilaksanakan Penghulu seperti yang dikemukakan penanya menyalahi hukum Islam dan hukum yang  berlaku di Negara Republik Indonesia. Bahkan jika penghulu itu adalah penghulu yang diangkat oleh Pemerintah Republik Indonesia, maka ia dapat dikenakan sanksi hukum, sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. km*)

Sumber : Fatwa Tarjih Muhammadiyah 2004

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker