BeritadefaultKhazanah

Sutan Mansur, Imam Muhammadiyah di Tanah Sumatera

TABLIGH.ID – YOGYAKARTA Sepuluh tahun sejak kelahirannya, Muhammadiyah belum juga memiliki cabang resmi pertama di luar Pulau Jawa. Siapa sangka, Cabang Muhammadiyah untuk kali pertama di luar Jawa terjadi secara tidak sengaja pada 1925 ketika seorang muslim modernis asal Padang Panjang meminta bantuan pendirian sekolah Islam di Maninjau, Sumatera Barat.

Menjawab permintaan tersebut, Hoofdbestuur (Pengurus Utama) Muhammadiyah segera mengirimkan seorang dai militan yang kelak disebut oleh kebanyakan orang Sumatera sebagai ‘Imam Muhammadiyah di Sumatera’, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.

AR Sutan Mansur Mengenal Muhammadiyah

Ahmad Rasyid Sutan Mansur adalah Ketua PP Muhammadiyah ke-6. Lahir di Maninjau pada 15 Desember 1895, nama kecilnya adalah Ahmad Rasyid Mansur. Namanya berubah menjadi Ahmad Rasyid Sutan Mansur setelah kelak dirinya menikahi putri gurunya yang sekaligus juga kakak perempuan Buya Hamka, Fatimah.

Sebagai anak ketiga dari seorang ulama terkenal setempat bernama Abdul Somad Al-Kusaij, Sutan Mansur tumbuh dalam masa transisi Politik Etis yang diberlakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Keadaan inilah yang menyebabkan dirinya mengenyam pendidikan secara layak.

Pada usia sepuluh tahun, Sutan Mansur mengenyam pendidikan dasar untuk kalangan pribumi di Inlandsche School (IS) selama tujuh tahun hingga 1909 dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya.

Selepas belajar di IS, Sutan Mansur mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Kolonial untuk melanjutkan pendidikan di Kweekschool (Sekolah Guru) Bukittinggi. Akan tetapi, kebencian terhadap penjajah membuat Sutan Mansur menolak kesempatan tersebut, selain alasan lain bahwa minatnya belajar agama lebih besar dibanding mempelajari ilmu umum.

Karena itu, Sutan Mansur lalu menuruti saran gurunya, Tuan Ismail untuk belajar berbagai ilmu ke ayah Hamka, yaitu Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul). Di sana, dirinya belajar Ilmu Aqidah, Bahasa Arab, Retorika, Logika, Sejarah, Syariat, Tasawuf, Quran, Tafsir dan Hadis selama tujuh tahun sampai 1917.

Setelah tunai belajar ilmu alat dan ushul, Haji Rasul menikahkan Sutan Mansur dengan putrinya yang bernama Fatimah. Untuk mengamalkan ilmunya, setahun kemudian Sutan Mansur berangkat menuju Kuala Simpang, Aceh sebagai utusan Sumatera Thawalib.

Ketika kembali ke Maninjau pada 1920, Sutan Mansur berencana melanjutkan pendidikannya ke Mesir, akan tetapi terjadinya pemberontakan rakyat Mesir terhadap Kolonial Inggris membuat Belanda tidak mengeluarkan izin keluar negeri bagi Sutan Mansur.

Menghadapi takdir tersebut, Sutan Mansur memutuskan untuk merantau ke Jawa bersama istrinya, Fatimah sebagai pedagang batik di Pekalongan.

Di Pekalongan, Sutan Mansur bertemu dengan Kyai Dahlan yang sering mengisi tabligh di Pekalongan. Dari tabligh itu pula, Sutan Mansur pada 1922 bergabung dengan Muhammadiyah dan setahun kemudian menjabat sebagai voorzitter (ketua) Cabang Muhammadiyah Pekalongan, menggantikan ketua sebelumnya yang mundur karena tidak tahan mendengar kritik dari para pembenci Muhammadiyah di Pekalongan.

Tapak Kaki Pertama Muhammadiyah di Sumatera

Antara 1924-1925, guru Sutan Mansur selama di Maninjau, Haji Rasul datang ke Pekalongan untuk mengunjungi putrinya, Fatimah. Dalam kunjungannya itu, Haji Rasul juga meminta bantuan untuk Sekolah Agama ‘Sandi Aman’ yang didirikannya pada Oktober 1924 di Sungai Batang, Maninjau.

Menanggapi permintaan Haji Rasul, Sutan Mansur kemudian meminta Haji Rasul agar bergabung dengan Muhammadiyah dan menjadikan Sekolah Agama ‘Sandi Aman’ sebagai Cabang Muhammadiyah pertama di luar Jawa. Demikian tercatat dalam Almanak Muhammadiyah 1927-1928.

Dalam sumber yang sama, Ketua Umum PB Muhammadiyah Kyai Ibrahim mengizinkan rencana Haji Rasul dan sebagai kelanjutannya, Sekolah Agama ‘Sandi Aman’ diubah namanya menjadi Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah. Sutan Mansur juga ditunjuk PB Muhammadiyah sebagai wakil resmi di Maninjau. Istrinya, Fatimah oleh PB ditunjuk sebagai wakil resmi ‘Aisyiyah untuk wilayah itu.

Kedatangan Muhammadiyah di Minangkabau pada 1925 semakin menguatkan posisi modernisme Islam di Tanah Minang yang sudah menempati posisi terhormat oleh karya tiga perintisnya yaitu Haji Abdullah Ahmad, Haji Abdul Karim Amrullah dan Syeh Djambek, beserta Sumatra Thawalib dan Diniyah. Demikian ungkap Alfian dalam Muhammadiyah: The Political Behaviour of A Muslim Modernist Under Dutch Colonialism (1989).

Ditemani oleh Hamka beserta Fatimah, Sutan Mansur pada 1925 meninggalkan Pekalongan guna menemani Haji Rasul melebarkan dakwah Muhammadiyah di Sumatera. Menurut Yusran Rusydi dalam Pribadi dan Martabat Buya Hamka (2017), Hamka setibanya di Sumatera segera kembali ke Padang Panjang guna mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumah Ayahnya. Setelah itu, ia menjadi pengiring setia Sutan Mansur dalam mendakwahkan Muhammadiyah di Sumatera.

Dakwah AR Sutan Mansur Mudah Diterima

Kepiawaian Sutan Mansur dalam mengambil hati pendengarnya merupakan anugerah yang memudahkan dakwahnya selama di Sumatera. Sehingga kemudian banyak warga Sumatera yang bergabung dengan Muhammadiyah.

Sutan Mansur dapat menarik perhatian hadirin yang bagai bergantung pada bibirnya. Ia bisa bicara serius, bisa juga membawakan kelakar yang menyebabkan hadirin tertawa terpingkal-pingkal. Sutan Mansur benar-benar berhasil dalam menumbuhkan ingatan pendengarnya, demikian tulis Deliar Noer dalam Aku Bagian Ummat Aku Bagian Bangsa (1996).

Slamet Abdullah dan Muslich dalam Seabad Muhammadiyah dalam Pergumulan Budaya Nusantara (2010) menyebutkan bahwa sifat Sutan Mansur yang akomodatif, bijaksana dan tidak frontal dalam berdakwah membuat dirinya mudah dalam meraih dukungan dari para Raja dan Sultan di Sumatera untuk mendukung dakwah Muhammadiyah sehingga Muhammadiyah dapat berdiri di Kotaraja, Sigli, dan Lhoukseumawe.

Tercatat, Sutan Mansur berhasil mengadakan Tabligh di Medan pada 1927. Pada 1929 Sutan Mansur dibantu Hamka dan ayahnya berhasil mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan Amuntai sehingga sampai 1930 Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar pulau Jawa.

Slamet Abdullah dan Muslich lebih lanjut menjelaskan bahwa setelah Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau pada 14-26 Maret 1930 lahir sebuah keputusan agar setiap Karesidenan memiliki wakil dari Hoofdbestuur Muhammadiyah yang disebut sebagai ‘Konsul Muhammadiyah’. Atas keputusan ini, Sutan Mansur lalu dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah Minangkabau meliputi Tapanuli dan Riau pada 1931 hingga 1944.

Terputusnya hubungan Jawa dan Sumatera yang dibedakan berdasar wilayah Komando pada masa pendudukan Jepang membuat Sutan Mansur memegang kendali penuh Muhammadiyah di seluruh Sumatera.

Dalam Pergerakan Islam dan Muhammadiyah di Sumatera dalam Almanak Muhammadiyah 1927-1928, Sutan Mansur mencatat bahwa dari hasil kerja keras dirinya dibantu Haji Rusli dan puteranya, anggota resmi Cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan Maninjau saja pada masa itu telah mencapai angka 3.644 orang.

AR Sutan Mansur Menjadi Ketua PB Muhammadiyah

Mantan Ketua PB Muhammadiyah ketujuh, Kiai Jusuf Anies menyebut AR Sutan Mansur sebagai ‘Bintang Muhammadiyah dari Barat’. Gelar ini diberikan karena kedalaman ilmu tasawuf yang dimiliki.

Sementara itu, gelar ‘Bintang Muhammadiyah dari Timur’ diberikan Junus Anies kepada Kiai Mas Mansur yang memiliki keluasan ilmu dalam bidang filsafat. Demikian tercatat dalam 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan.

Jika Kyai Mas Mansur berpendapat umat Islam mundur karena porsi pendidikan akhirat yang terlalu banyak sehingga melupakan dunia sebagai ladang akhirat, AR Sutan Mansur melengkapinya dengan pendapat bahwa bangsa Indonesia menjadi mundur karena terlampau berlebihan mengagungkan materi dan urusan dunia sehingga lupa kehidupan akhirat.

Sebagai tokoh yang telah dikenal sukses melebarkan dakwah Muhammadiyah di luar Jawa, Bintang Muhammadiyah dari Barat ini telah memperoleh tempat di hati warga Muhammadiyah.

Ketika Ki Bagus Hadikusumo pada 1953 tidak mampu lagi menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah karena kesehatannya yang kian melemah, hasil Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto menentukan AR Sutan Mansur sebagai Ketua Umum PB Muhammadiyah. Setelah terbitnya keputusan tersebut, Sutan Mansur bersama keluarganya segera berkemas menuju Jawa.

Tiba di pelabuhan Semarang pada Februari 1954, deretan mobil yang menjemput Sutan Mansur mengiringinya hingga tiba di alun-alun Yogyakarta yang telah ramai oleh ribuan warga Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Selepas menunaikan salat zuhur di Masjid Kauman, Sutan Mansur memberikan fatwa dan amanat kepada warga Muhammadiyah di serambi masjid, demikian tercatat dalam 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan (2010).

Darul Aqsha dalam Kiai Haji Mas Mansur (1896-1946): Perjuangan dan Pemikiran (2005) menyebutkan bahwa AR Sutan Mansur sebetulnya telah diajukan oleh Kiai Haji Mas Mansur untuk menjadi Ketua Umum PB Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta 1937 dengan alasan beliau memiliki ketabahan, kewibawaan dan keilmuan.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker