BeritaKhazanah

Tajdid (Pembaharuan) Menuju Arah Objektivikasi Islam

Oleh: Beta Pujangga Mukti

Secara sederhana, konsep objektivikasi Islam menurut Kuntowijoyo bermakna menjadikan Islam sebagai rahmat bagi segenap alam (rahmatan lil ‘alamiin), artinya ada internalisasi nilai-nilai Islam kepada orang bukan Islam dengan tidak memaksakan pandangan secara subjektif tetapi atas dasar objektif, sehingga mereka bisa menerima ajaran Islam. Dalam makna lain,  objektivikasi Islam bisa diartikan dengan “Islam that can be transmitted openly and without secrecy”. Maksudnya adalah Islam yang ajarannya bisa dirasakan manfaatnya oleh semua orang, termasuk orang bukan Islam sekalipun.

Jadi tidak tepat dan tidak berdasar jika Islam sering disudutkan dengan menjadi objek tuduhan sebagai agama yang radikal yang mengajarkan nilai-nilai kekerasan. Atas nama agamanya, lantas berbuat intoleran kepada sesama warga negara yang berbeda agama, etnis, suku maupun budaya. Mereka yang menyebar teror dan ketakutan bahkan sampai berani membunuh warga negara lain pantas disebut sebagai teroris. Menurut Direktur Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid (2020) menyatakan, seorang teroris pasti fahamnya radikal, tetapi orang yang berfaham radikal belum tentu teroris. Jadi sesungguhnya teroris itu tidak punya agama, karena agama manapun di dunia ini tidak ada yang mengajarkan untuk membunuh bahkan membantai sesama manusia. Semua agama mengajarkan kedamaian dan cinta kasih.

Radikalisme yang bersifat dekonstruktif semacam ini adalah musuh bersama. Apapaun agamanya, tidak akan diajarkan nilai-nilai kekerasan yang mengarah kepada perbuatan terorisme. Semua agama mengajarkan nilai-nilai kedamaian dan cinta kasih, kalaupun ada yang keluar dari nilai tersebut maka sebenarnya yang salah bukan agamanya tetapi mereka adalah oknum yang salah memahami ajaran agamanya.

Supaya faham radikal ini tidak tumbuh berkembang di kalangan umat dan masyarakat, sudah tentu para da’i (penyampai) dan juga lembaga atau ormas agama perlu menampilkan wajah agama yang membawa ajaran-ajaran fungsional dan aplikatif, mampu menjadi jawaban atas segala permasalahan sosial yang terjadi. Mengutip perkataan Haedar Natsir, agama yang tidak serba memakai fikih an sich (klasik), melainkan fikih tajdid (pembaharuan) atau pencerahan yang berkemajuan. Selain itu juga, butuh agama yang berdimensi ihsan (baik), mampu keluar dari sikap ekslusivitas kepada inklusivitas atau dari sekadar ajaran yang bersifat subjektif ke arah yang lebih objektif. Perspektif inilah yang perlu dihidupkan oleh agama di masa modern seperti ini.

Selain ajaran yang bersifat tajdid dan berdimensi ihsan, Islam sesungguhnya telah menyediakan basis ajaran supaya ummatnya bersikap wasathiyah (moderat/pertengahan). Inilah salah satu sikap dari upaya melakukan objektivikasi Islam. Keseimbangan di sini adalah ciri yang melihat bahwa antara urusan dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani, individu dan sosial, ilmu dan amal, dan seterusnya haruslah seimbang. Artinya, tidak terjadi dualisme karena dasar yang satu dan lainnya saling berhubungan dan saling terkait. Ciri keseimbangan ini merupakan landasan dan berimplikasi kepada terwujudnya keadilan, yaitu adil terhadap diri sendiri dan adil terhadap orang lain. Sikap moderat adalah upaya untuk mencegah sikap ekstrim yang dapat menimbulkan sikap intoleran yang berujung pada perpecahan dan retaknya persatuan dalam tubuh bangsa.

Untuk menghindari disharmoni perlu ditumbuhkan cara beragama yang moderat, atau cara ber-Islam yang objektif, atau sikap beragama yang inklusif, yang disebut sikap moderasi beragama. Menurut Darlis, moderasi itu artinya moderat, lawan dari ekstrem, atau berlebihan dalam menyikapi perbedaan dan keragaman. Dalam melihat dan menyelesaikan satu persoalan, Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di tengah-tengah, dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan agama ataupun mazhab, Islam moderat mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing agama dan mazhab, sehingga semua dapat menerima keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis. Moderasi beragama merupakan sebuah jalan tengah di tengah keberagaman agama di Indonesia. Moderasi merupakan budaya Nusantara yang berjalan seiring, dan tidak saling menegasikan antara agama dan kearifan lokal (local wisdom). Tidak saling mempertentangkan namun mencari penyelesaian dengan toleran.

Selain cara-cara bersikap yang telah dijelaskan di atas, objektivikasi Islam juga bermaksud ingin membawa atau merubah kata toleransi yang sekadar bermakna kerukunan atau menghargai ke arah kooperasi yang bermakna kerjasama antarumat beragama dalam rangka mensukseskan agenda bersama, baik yang bersifat nasional maupun global. Misalnya yang menjadi agenda nasional seperti masalah pembangunan, keadilan, kemiskinan, keterbelakangan, dan lain sebagainya. Begitu juga dalam isu agenda global, seperti tantangan modernitas, alienasi, spiritualisme, dan nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya. Dengan demikian, agama-agama merupakan kekayaan bersama bangsa dan kemanusiaan.

Dalam masyarakat multikultural, interaksi sesama manusia cukup tinggi intensitasnya, sehingga kemampuan sosial warga masyarakat dalam berinteraksi antar manusia perlu dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Kemampuan tersebut menurut Curtis, mencakup tiga wilayah, yaitu: affiliation (perhubungan), cooperation and resolution conflict (kerjasama dan penyelesaian konflik), kindness, care and affection/ emphatic skill (keramahan, perhatian, dan kasih sayang).

Dalam buku berjudul “The War for Kindness; Building Empathy in a Fractured World” yang ditulis oleh Jamil Zaki, menjelaskan pentingnya membangun kebaikan dengan amal jama’i atau kolektif di tengah pudarnya nilai-nilai kebersamaan dan persatuan. Jamil memaknai ayat “Fastabiqal khairat” dalam surah al-Baqarah ayat 148 bukan hanya berlomba-lomba dalam kebaikan tetapi “perang” untuk kebaikan. Dalam arti, beramal dengan tujuan untuk kebaikan perlu dengan kekuatan jama’i atau secara bersama-sama dengan strategi yang terorganisir dengan baik. Dalam Islam, menjalin kerjasama dengan umat agama lain tidak dilarang, selama kerjasama dalam hal muammalah, yaitu dalam urusan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Kerjasama yang dilarang adalah dalam hal aqidah atau keyakinan, karena pada prinsipnya sudah jelas bahwa lakum diinukum waliyadiin (untukmu agamamu, untukku agamaku).

Gerak kerja dalam organisasi atau komunitas dengan spirit kolektif-kooperatif seperti inilah yang diperlukan bangsa Indonesia hari ini di tengah ujian polarisasi dan disharmoni khususnya hubungan antarumat beragama. Dalam merealisasikan misi kebaikan bersama, maka perlu membangun kerjasama antarumat beragama sebagai satu bangsa yang sejak masa penjajahan sampai dengan merebut kemerdekaan, telah disatukan dengan perasaan nasib dan cita-cita yang sama, yaitu ingin terwujudnya Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur.

Peran agama–agama yang telah diakui di Indonesia, perlu menghadirkan ajaran yang aplikatif, yang mendekatkan kepada realitas sosial bukan justru menjauhkan atau menolak realitas yang terjadi. Agama yang menurunkan pikiran dan sikap penganutnya ke bumi secara horizontal bukan menerbangkan sikap dan pikiran penganutnya ke langit (vertikal). Dalam tulisan Kuntowijoyo, dijelaskan misalnya di Amerika ada gerakan Injil Sosial pada abad ke-19, kemudian di Amerika Latin ada gerakan Teologi Pembebasan pada era 1970-an, di India ada gerakan Sarvodaya pada tahun 1970-an, dan di Indonesia sendiri pada tahun 1980-an muncul gerakan pemikiran ke arah  Teologi Transformatif.  Dalam hal ini, Islam pun hadir ke muka bumi sebagai gerakan pembebasan (liberating forces), karena sesungguhnya misi Islam yang paling besar adalah pembebasan. Islam melakukan revolusi dengan cara membumikan ajaran-ajaran yang bersifat melangit (vertikal) sehingga menghasilkan nidzam (sistem) yang universal dan integral.

Puncak dari tujuan ajaran Islam adalah rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam), maka untuk sampai kepada tujuan tersebut, diperlukan objektivikasi Islam supaya Islam tampil dengan wajah yang moderat, inklusif dan objektif. Wajah Islam yang seperti inilah yang diharapkan mampu mempertemukan antara spirit agama dan kebangsaan dalam rangka membangun gerak kerja bersama secara kolektif-kooperatif. Selain itu, agama juga diharapkan dapat berperan dalam menguatkan wawasan kebangsaan, sehingga setiap penganut agama di Indonesia, memiliki sikap saling toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan NKRI.

 

*** Penulis adalah anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Mahasiswa S3 di Islamic Development Management Studies, Universiti Sains Malaysia.

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker