default

Fatwa Tarjih Muhammadiyah : Panggilan Suami Istri dan Hukum Selamatan Untuk Orang Yang Meninggal Dunia

PANGGILAN “MAMA” UNTUK ISTRI DAN “PAPA” UNTUK SUAMI, HUKUM SELAMATAN UNTUK ORANG YANG MENINGGAL DUNIA,

DAN WAKTU UTAMA SHALAT TARAWIH

Penanya:

Tamrin Mobonggi, NBM. 466.786 di Limbato, Gorontalo

(disidangkan pada hari Jum’at, 24 Zulqa’dah 1427 H / 15 Desember 2006 M)

 

Pertanyaan:

  1. Apakah boleh memanggil istri dengan sebutan “mama” oleh suami atau sebaliknya istri memanggil suami dengan sebutan “papa”?
  2. Apakah ada tuntunan dari Islam mengadakan selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari atau memperingati hari ulang tahun (haul) bagi orang yang sudah meninggal dunia?
  3. Mana yang utama antara melakukan shalat tarawih di awal malam (sesudah shalat isya’) atau di tengah / di larut malam?

Jawaban:

  1. Memanggil istri dengan sebutan “mama” atau suami dengan sebutan “papa”, pada prinsipnya dibolehkan oleh syara’ (agama Islam), karena ucapan tersebut sudah menjadi ‘urf (kebiasaan) dalam masyarakat kita di Indonesia dan tidak ada konotasi/hubungan dengan hukum zhihar yang disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4 sebagai berikut:

Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar* itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).

* Zhihar ialah perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku atau perkataan lain yang sama maksudnya. adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah, bahwa bila dia berkata demikian kepada istrinya maka istrinya itu haram baginya untuk selama-lamanya. Tetapi setelah Islam datang, maka yang haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).

Kalau zhihar memang mengakibatkan suami tidak boleh bersenggama dengan istri sebelum membayar tebusan atau kafaratnya seperti yang ditetapkan oleh agama.

Bahkan sebutan “mama” atau “papa” disamping sebagai ‘urf yang baik (shahih) bukan ‘urf yang rusak (fasid), juga mengandung nilai pendidikan kepada putra-putrinya, supaya mereka menyebut ibu atau ayahnya dengan sebutan yang baik itu, dan jangan memakai istilah atau sebutan yang tidak baik.

  1. Hukum mengadakan selamatan yang disertai dengan doa yang dipaketkan itu, tidak ada tuntunan dari Islam. Selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu berakar dalam masyarakat kita. Karena hal itu ada hubungan dengan ibadah, maka kita kembali saja kepada tuntunan Islam.

Rasulullah saw pernah melarang ulama Yahudi yang masuk Islam, bernama Abdullah bin Salam, yang ingin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya. Ia ditegur oleh Nabi saw. Jadi, kita harus masuk kepada ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah), tidak boleh sebahagian-sebahagiannya.

Seharusnya, ketika ada orang yang meinggal dunia, kita harus bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian sambil membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa. Pada waktu Ja’far bin Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi saw menyuruh kepada para shahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja’far, bukan datang ke rumah keluarga Ja’far untuk makan dan minum.

  1. Shalat tarawih yang lebih utama (afdhal), dilakukan pada waktu larut malam, dikerjakan di masjid dengan berjama’ah. Rasulullah saw keluar ke masjid beberapa malam dan waktu sudah larut malam, kemudian berjama’ah dengan para shahabat dan selesainya hampir menjelang waktu sahur. Namun demikian boleh juga shalat tarawih dikerjakan pada awal malam sesudah shalat isya’ dengan berjamaah di masjid untuk mengejar pahala jama’ahnya.

Shalat tarawih menurut tuntunan Nabi saw adalah sebelas rakaat dengan witirnya. Dikerjakan dengan cara empat rakaat lalu salam tanpa tahiyyat awal, kemudian empat rakaat lalu salam, dan ditutup dengan shalat witir tiga rakaat lalu salam. Seperti yang tersebut di dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً … [رواه البخاري ومسلم

Artinya: Dari Abi Salamah Ibnu Abdir-Rahman (dilaporkan) bahwa ia bertanya kepada Aisyah tentang bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadan. Aisyah menjawab: Nabi saw tidak pernah melakukan shalat sunnat (tathawwu‘) di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi tiga rakaat … [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Wallahu a’lam bishshawab. *th)

Sumber : Fatwa Tarjih Muhammadiyah  2006

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker