BeritadefaultKhazanah

Dibalik Kisah Perpecahan Dan Perang Agama di Langit Eropa

TABLIGH.ID – Jauh Sebelum Invasi Rusia Ke Ukraina, Ketika Paus dinilai melakukan berbagai penyelewengan, maka muncullah perlawanan di kalangan masyarakat Eropa. Paus yang sebelumnya dianggap sebagai “wakil Tuhan” di bumi, digugat otoritasnya. Otoritas keagamaan pun melemah dan muncullah gerakan penolakan terhadap otoritas “wakil Tuhan”. Salah satu penentangan  hebat dilakukan oleh Martin Luther.

Diantara yang mendorong Martin Luther melakukan  pemberontakan terhadap Paus adalah praktik jual beli surat pengampunan dosa.  Pada 31 Oktober 1517, Marthin Luther (1483-1546) memberontak pada kekuasaan Paus dengan cara menempelkan 95 poin pernyataan (Ninety-five Theses) di pintu gerejanya, di Jerman.

Ia terutama menentang praktik penjualan “pengampunan dosa” (indulgences) oleh pemuka gereja. Pada 95 theses-nya itu, Luther juga menggugat keseluruhan doktrin supremasi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan legitimasinya akibat penyelewengan yang dilakukannya. Tahun 1521, Luther dikucilkan dari Gereja Katolik. Namun, Luther berhasil mendapatkan perlindungan seorang penguasa di wilayah Jerman dan akhirnya mengembangkan geraja dan ajaran tersendiri terlepas dari kekuasaan Paus. (Philip J. Adler, World Civilizations, (Belmont: Wasworth, 2000).

Bahkan, kata Luther, kekuatan anti-Kristus adalah Paus dan Turki secara bersamaan. Kekuatan jahat dalam kehidupan haruslah memiliki tubuh dan nyawa. Nyawa dari kekuatan Anti-Kristus adalah Paus, daging dan tubuhnya adalah Turki…Bangsa Turki adalah bangsa yang dimurkai Tuhan. (Antichrist is the Pope and the Turk together. A beast full of life must have a body and soul. The spirit or soul of Antichrist is the Pope, his flesh and body the Turk … The Turk are the people of the Wrath of God). (Bernard Lewis, Islam and the West, (New York: Oxford University Press, 1993).

Berbagai penyelewengan penguasa agama, dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep “infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja Katolik sudah tergoyangkan. Pemberontakan demi pemberontakan terus berlangsung, sehingga dunia Kristen Eropa kemudian terbelah menjadi dua bagian besar, Katolik dan Protestan.

Beratus-ratus tahun kedua agama ini bersaing dan saling melakukan berbagai aksi pembantaian di daratan Eropa. Kisah perebutan tahta di Inggris menarik untuk disimak, bagaimana Raja Henry VIII (1491-1547) memisahkan diri dari Paus dan membentuk Gereja sendiri, hanya karena Paus menentang perkawinannya dengan Anne Boleyn dengan menceraikan istrinya terdahulu, Catharine of Aragon.

Tahta Inggris akhirnya jatuh ke tangan Protestan (Anglikan) setelah Vatikan gagal mencegah tampilnya Elizabeth I (1558-1603) sebagai ratu Inggris menggantikan Queen Mary  yang Katolik. Sebuah film berjudul “Elizabeth” yang dibintangi oleh Cate Blanchett menggambarkan perebutan tahta Inggris antara Katolik dan Protestan yang diwarnai dengan berbagai tindakan kejam yang di luar batas perikemanusiaan, baik yang dilakukan tokoh-tokoh Katolik maupun tokoh Protestan.

Di Perancis, pertarungan antara Katolik dan Protestan juga berlangsung sangat sengit. Salah satu kisah yang paling mengerikan adalah pembantaian kaum Protestan – terutama Calvinists —  di Paris, oleh kaum Katolik tahun 1572 yang dikenal sebagai “The St. Bartholomew’s Day Massacre”. Diperkirakan 10.000 orang mati. Selama berminggu-minggu jalan-jalan di Paris dipenuhi dengan mayat-mayat laki-laki, wanita, dan anak-anak, yang membusuk.

Philip J. Adler, dalam World Civilization, mengisahkan, seorang yang selamat dari pembantaian itu menggambarkan hari yang mengerikan itu: “Tidak seorang pun dapat mengukur berbagai kekejaman yang terjadi dalam pembunuhan-pembunuhan ini… Sebagian besar mereka dimusnahkan dengan belati. Tubuh mereka ditikam, anggota tubuhnya dirusak, mereka dihina dengan cemoohan yang lebih tajam dari pedang … mereka memukul sejumlah orang tua tanpa perasaan, membenturkan kepala mereka ke batu di dermaga dan kemudian melemparkan sosok setengah mati itu ke sungai. Seorang anak yang terbungkus pakaiannya diseret di jalan dengan tali yang dililitkan di lehernya oleh anak-anak berumur sekitar 9 atau 10 tahun. Seorang anak kecil lainnya, digendong oleh seorang penjagal, memain-mainkan jenggotnya dan tersenyum ke padanya, tetapi orang itu bukannya mengasihani si kecil, malahan kemudian menikamnya dengan belati dan kemudian melemparkannya ke sungai, yang menjadi merah karena darah dan tidak dapat kembali ke warna asalnya untuk waktu yang panjang”.

Masyarakat Barat juga menaruh kebencian terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat. Akhirnya, mereka pun menjadi anti-pati terhadap agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya, muncul sikap anti pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clericalism”.

Trauma terhadap Inquisisi Gereja dan berbagai penyimpangan kekuasaan agama sangatlah mendalam, sehingga muncul fenomena “anti-clericalism” tersebut di Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu:, ialah: “Berhati-hatilah, jika anda berada didepan wanita, hatilah-hatilah anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta.” (Beware of a women if you are in front of her, a mule if you are behind it, and a priest wether you are in front or behind).”  (Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975)

Penulis : H. Adian Husaini, M.Si., Ph.D. (Anggota Majelis Tabligh Periode 2005-2010)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker