BeritadefaultKhazanah

IMPLEMENTASI ISLAM SEBAGAI “THE WAY OF LIFE”

BUKU TUNTUNAN TABLIGH BAGIAN III PART IV

  1. Islam dan Kekuasaan

Dakwah merupakan rekonstruksi masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Semua bidang kehidupan dapat dijadikan arena dakwah, dan seluruh kegiatan hidup manusia bisa digunakan sebagai sarana atau alat dakwah. Kegiatan politik, sebagaimana kegiatan ekonomi, usaha-usaha sosial, gerakan-gerakan budaya, kegiatan-kegiatan ilmu dan teknologi, kreasi seni, kodifikasi hukum, dan lain sebagainya, bagi seorang muslim seharusnya memang menjadi alat dakwah.

Politik dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Tetapi bagaimana pun ia didefinisikan, satu hal sudah pasti, bahwa politik menyangkut kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaan. Di samping itu, dalam pengertian sehari-hari, politik juga berhubungan dengan cara dan proses pengelolaan pemerintahan suatu negara.

Dari pengertian tersebut diketahui bahwa politik merupakan salah satu kegiatan penting, mengingat bahwa suatu masyarakat hanya bisa hidup secara teratur kalau ia hidup dan tinggal dalam sebuah negara dengan segala perangkat kekuasaannya. Sedemikian pentingnya peranan politik dalam masyarakat modern, sehingga banyak orang berpendapat bahwa politik adalah panglima. Artinya, politik sangat menentukan corak sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.

Bagi seorang muslim, kegiatan politik harus menjadi kegiatan integral dari kehidupannya yang utuh. Mengherankan kalau ada muslim yang menjauhi, apalagi membenci kegiatan tertentu yang menentukan arah kehidupan dan nasibnya, misalnya menjauhi kehidupan ekonomi dan politik. Kehidupan dunia harus ‘direbut’ dan dikendalikan agar sesuai dengan ajaran-ajaran Tuhan. Memencilkan diri atau surut dari kehidupan dunia (withdrawl) bukanlah ajaran Islam. Nabi Muhammad sendiri berkontemplasi di gua Hira hanya menjelang kenabiannya saja. Di masa-masa selanjutnya beliau turun ke arena kegiatan dunia, sampai akhir hayatnya. Tidak pernah sekalipun beliau surut dan kembali ke gua Hira. Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin, sebagai pengikut Nabi, juga harus memperhatikan nasibnya di dunia. Bahkan hanya di dunia ini sajalah kita punya kesempatan untuk menunaikan tugas sebagai khalifah Allah. Tidak seyogiyanya kaum muslimin menyerahkan urusan dunianya atau nasibnya kepada orang lain.

Karena politik adalah alat dakwah, maka aturan permainan yang mesti ditaati juga harus paralel dengan aturan permainan dakwah. Misalnya, tidak boleh menggunakan paksaan atau kekerasan, tidak boleh menyesatkan, tidak boleh menjungkirbalikkan kebenaran, dan mengelabui masyarakat. Selain itu keterbukaan, kejujuran, rasa tanggung jawab, serta keberanian menyatakan yang benar sebagai benar dan yang batil sebagai batil, harus menjadi ciri-ciri politik yang berfungsi sebagai sarana dakwah.

Politik yang memiliki ciri-ciri tersebut niscaya fungsional terhadap tujuan dakwah. Sebaliknya, bila aturan permainan yang digunakan dalam politik tidak sejalan dengan aturan permainan dalam dakwah pada umumnya, maka mudah diperkirakan bahwa politik semacam itu akan disfungsional terhadap dakwah. Namun jangan lupa bahwa aturan-aturan permainan itu sesungguhnya hanya refleksi dari moralitas dan etika yang lebih dalam. Moralitas dan etika kegiatan dakwah dalam bidang apapun harus bersandar pada tauhid. Bila moralitas dan etika tauhid dilepaskan dari politik, maka politik itu akan berjalan tanpa arah, dan bermuara pada kesengsaraan orang banyak.

Politik yang dijalankan oleh seorang muslim, sekaligus yang berfungsi sebagai alat dakwah, sudah tentu bukanlah politik sekular, melainkan politik yang penuh komitmen kepada Allah. Tujuan yang diletakkan oleh politik semacam ini bukanlah kekuasaan demi kekuasaan, atau pencapaian suatu kepentingan demi kepentingan itu sendiri. Kekuasaan, pengaruh, kepentingan-kepentingan tertentu, posisi, politik, dan sebagainya, bukanlah tujuan. Semua itu merupakan sarana atau tujuan-antara untuk mencapai tujuan sesungguhnya, yaitu pengabdian kepada Allah. Ini sesuai dengan ikrar seorang Muslim bahwa shalatnya, ibadahnya, hidup, dan matinya, diabdikan hanya kepada Allah semata (QS. al-An’am: 162).

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (al-An’am 162)

Ayat tersebut juga tegas menolak sekularisasi, karena sekularisasi pada dasarnya melakukan kompartementalisasi kehidupan, yakni antara kompartemen duniawi dan kompartemen ukhrawi. Padahal seluruh kehidupan adalah satu. Yang ukhrawi hanyalah kelanjutan belaka dari duniawi, sebagaimana sabda Nabi: “Dunia adalah sawah-ladangnya akhirat (ad-dunya mazra’atul akhirah)”. Artinya, apa yang kita lakukan di dunia (dalam bidang apapun) akan kita petik hasilnya di akhirat.

Itulah sebabnya, seluruh yang kita lakukan di dunia (dalam bidang apapun) akan kita petik hasilnya di akhirat kelak. Itulah sebabnya, seluruh kegiatan dalam pelbagai dimensi kehidupan seorang Muslim harus diabdikan kepada Allah SWT.

Dari uraian di atas dapat dirangkum, bahwa politik sebagai alat dakwah harus menunjang rekonstruksi masyarakat berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Rekonstruksi masyarakat itu dapat dilakukan dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, ilmu teknologi, dan tentu saja dalam bidang politik. Pengelolaan tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif, yudikatif, dan dalam masyarakat luas, harus bersendikan pada tauhid dan diwarnai dengan spirit dakwah kepada Allah.

Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa suatu gerakan Islam yang bercorak sosio-keagamaan, tidak boleh alergi terhadap politik. Wawasan keagamaannya harus menyatu dengan wawasan kekuasaan. Yang perlu dijaga adalah agar tidak terjebak oleh isu-isu politik praktis yang tidak menguntungkan. Berpikir strategis dalam rangka menatap masa depan yang agak jauh dituntut dari kita sekarang ini.

  1. Islam, Ekonomi dan Pembangunan

Kehidupan ekonomi bagi masyarakat merupakan suatu hal yang penting, dan Islam mengakui hal tersebut. Namun demikian Islam mengajarkan pembangunan ekonomi bukan merupakan tujuan akhir dan bukan pula sesuatu yang terpisahkan dari hal yang lain. Islam memandang pembangunan ekonomi (baik pada tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat/bangsa) sebagai bagian dari pembangunan manusia dalam berbagai peringkat kehidupannya. Dengan demikian pembangunan ekonomi adalah dalam rangka dan merupakan bagian integral dari pembangunan indvidu, masyarakat, dan umat manusia yang Islami.

Tatanan pembangunan ekonomi yang Islami merupakan kegiatan yang berorientasi kepada tujuan dan dilandasi oleh kesadaran akan adanya nilai, yang diarahkan pada peningkatan martabat kemanusiaan secara sempurna dalam segala aspeknya di hadapan Allah. Untuk dapat menjamin terwujudnya yang demikian, maka pembangunan ekonomi harus dikembangkan di atas landasan filosofis yang Islami, yaitu:

  1. Tauhid. Sebagaimana diketahui tauhid adalah landasan bagi semua aturan dan jabaran ajaran Islam, termasuk di dalamnya aspek pembangunan ekonomi. Sebagai contoh misalnya, ekonomi yang tauhidi akan mengajarkan bahwa pemilikan harta benda oleh manusia bersifat nisbi dan merupakan amanah dari Allah, karena pemilik mutlaknya adalah Allah semata. Pandangan tauhidi mengajarkan prinsip ekualitas dan keadilan (lihat Islam dan Keadilan Sosial), oleh karena tiap manusia di hadapan Allah kedudukan manusia pada hakekatnya adalah sama, kecuali karena takwanya.
  2. Rububiyah. Landasan ini mengandung pengertian bahwa tentang rezeki, tentang rahmat dan petunjuk-Nya adalah untuk penyempurnaan segala pemberian-Nya itu. Pemanfaatan sumber-sumber alam sebagai sumber ekonomi adalah dalam rangka sunnatullah tersebut, yaitu untuk kelestarian dan kesejahteraan hidup bersama.
  3. Khalifah. Landasan ini menetapkan kedudukan dan peran manusia, yaitu memberi tanggung jawab khusus sebagai pengemban jabatan ‘wakil’ Allah dalam mengelola dunia. Dari sinilah muncul konsepsi yang unik (tiada bandingan yang lain) tentang tanggung jawab manusia di bidang moral, politik, dan ekonomi, serta prinsip-prinsip islami tentang pembentukan organisasi masyarakat.
  4. Tadzkiyah (penyucian dan pengembangan). Dengan landasan ini maka pengembangan ekonomi bukan semata-mata ‘pengembangan’ atau ‘pertumbuhan’, tetapi ada nilai lain. Konsep zakat, infaq, shadaqah adalah contoh implementasi landasan ini.

Penjabaran ciri pembangunan yang dilandasi oleh keempat nilai di atas, antara lain adalah:

Pertama, konsepsi pembangunan yang Islami mempunyai ciri yang mencakup aspek-aspek moral, spiritual, dan material. Ketiga aspek terpadu dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Bukan hanya kemakmuran dan kebahagiaan hidup di dunia yang diupayakan, tetapi juga kebahagiaan di akhirat kelak.

Kedua, bahwa yang menjadi fokus atau inti pembangunan adalah manusia. Karenanya pembangunan bermakna juga membangun manusia berikut lingkungan alam dan sosial-budayanya.

Ketiga, pembangunan menghajatkan adanya berbagai perubahan, baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Pada umumnya ‘mazhab’ pembangunan yang ada menekankan perubahan-perubahan kuantitatif sebagai hal yang lebih penting seraya mengabaikan aspek kualitatifnya. Pembangunan yang Islami berupaya menyeimbangkan kedua aspek tersebut.

Keempat, di antara prinsip-prinsip kehidupan sosial yang dinamik, Islam secara khusus menekankan dua prinsip, yaitu (1) pendayagunaan secara maksimal dan proporsional sumber-sumber yang dianugerahkan Allah, dan (2) pemanfaatan, pemerataan, dan peningkatan hubungan kemanusiaan secara menyeluruh atas dasar kebenaran dan keadilan.

Kelima, konsepsi Islam tentang keadilan dan pemerataan distribusi penghasilan dan kekayaan tidak berarti harus sama (identicalness). Islam mengakui adanya perbedaan dalam penghasilan, karena semua orang tidak sama dalam sifat, kemampuan, dan pelayanannya kepada masyarakat (QS. al-An’am: 165; an-Nahl: 71; az-Zukhruf: 32), namun sebaliknya Islam juga tidak membenarkan adanya ketimpangan ekonomi dalam masyarakat.

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-An’am 165)

Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah? (an-Nahl 71)

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (az-Zukhruf 32)

Upah yang adil, jaminan, dan bantuan sosial bagi fakir dan miskin melalui lembaga zakat, infaq, shadaqah, dan sebagainya, adalah realisasi ciri keadilan di atas.

Nilai keadilan sering dianggap sebagai ilmu yang universal, karena baik faham sosialis maupun kapitalis pun mengakui perlunya nilai ini. Namun demikian universalitas tersebut sebenarnya perlu dipertanyakan, mengingat ada perbedaan dalam persepsi maupun pelaksanannya. Dalam kapitalisme, keadilan dijalankan semata-mata oleh karena ‘tekanan’ kelompok, sementara dalam sosialisme keadilan dijalankan dengan menghilangkan kebebasan perseorangan. Islam melaksanakan keadilan dengan menjamin kebebasan perorangan yang disertai aturan-aturan moral dan hukum serta kewajiban-kewajiban dalam rangka:

  1. Terjaminnya kepentingan umum.
  2. Mencegah penghasilan yang tidak sah (halal).
  3. Menjamin terlaksananya pemerataan penghasilan dan kekayaan.
  4. Islam dan Dinamika Sejarah

Sejarah adalah sebuah dialog intelektual antara manusia dengan pengalaman kolektifnya pada masa lampau. Dari pengalaman itu kita diharapkan mampu menangkap ‘ibar (pelajaran moral) untuk dijadikan acuan dan pedoman masa kini dalam rangka mempersiapkan masa depan yang lebih baik dan lebih cerah. Sekali pun manusia tidak punya kemampuan untuk meramalkan masa depan secara pasti, al-Qur’an mengajarkan agar kita mempersiapkan masa depan itu secerdas dan secermat mungkin (QS. al-Hasyr: 18).

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Hasyr 18)

Dari pengalaman kolektif masa lampau kita diharapkan akan dapat melihat benang merah pemihakan Allah kepada perilaku sejarah tertentu, sebab dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah tidak bersikap netral dalam sejarah. Dia sepenuhnya berpihak, berpihak kepada mereka yang telah berhasil mengembangkan nilai-nilai takwa dan nilai-nilai kebajikan. Allah (QS. an-Nahl: 128) menegaskan pemihakan itu dengan kalimat yang serba pasti.

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (an-Nahl 128)

Dalam ayat ini jelas kiranya bahwa ‘pemihakan’ Allah dalam sejarah pelu ‘dipancing’ dengan nilai-nilai takwa dan nilai-nilai kebaikan. Dalam perspektif ini, maka dakwah yang benar adalah dakwah yang mampu menggerakkan masyarakat untuk secara sadar mengembangkan nilai-nilai luhur yang menjadi pancaran iman itu. Takwa dan ihsan (nilai-nilai baik) hanyalah dapat dipahami dalam konteks iman. Iman itulah yang memberikan fondasi spiritual yang solid (kukuh) kepada perilaku takwa dan perbuatan baik itu. Dalam ungkapan lain, perilaku dan kerja-kerja yang tidak punya dasar spiritual-imani tidak bernilai sama sekali (QS. al-Kahfi: 103-105), sekali pun tampaknya hebat dan canggih.

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (al-Kahfi 103-105)

Oleh sebab itu, dalam menilai suatu peristiwa sejarah secara moral tidak dapat kita menggunakan ukuran-ukuran subjektif penalaran kita semata-mata. Wahyu perlu dijadikan pedoman dalam memberikan pertimbangan moral terhadap episode sejarah.

Pengalaman kolektif manusia masa lampau tidak mungkin diulang lagi karena peristiwanya telah usai, teater sejarah masa silam terbuka untuk diselidiki dan dinilai. Kita menyadari bahwa persepsi dan penilaian manusia terhadapnya tidak pernah mencapai posisi final. Yang dituntut dari kita adalah kejujuran dan kecermatan dalam membaca peta pengalaman manusia masa lampau itu. Sejarah senantiasa menuntut fakta bukan fiksi. Cerita sejarah yang bukan faktual gugurlah nilai sejarahnya, sekalipun nilai moralnya belum tentu demikian. Seperti novel-novel yang bermutu tapi fiktif biasanya sarat dengan nilai-nilai moral itu. Dalam panggung moral, sejarah dan novel punya fungsi sama. Bedanya, yang satu faktual, sedang yang lain mungkin fiktif.

Bila masa lampau terbuka untuk dinilai secara moral, maka masa depan terbuka dengan segala kemungkinan. Faham predeterminisme yang mengajarkan bahwa masa depan umat manusia sudah tertutup, karena segalanya sudah ditetapkan Tuhan, bukanlah berasal dari ajaran Islam sejati. Faham ini pada periode klasik kita kenal dengan faham jabariyah. Menurut faham ini, manusia tidak lebih dari lakon wayang yang dimainkan oleh dalangnya. Faham ini bila dituruti akan mematikan dinamika sejarah umat manusia. Orang akan pasrah begitu saja kepada sang nasib. Dalam pandangan ini, terkandung makna bahwa eksistensi menjadi tidak berarti sama sekali. Bila demikian soalnya, pertanyaan yang mendesak adalah: apakah adil bila manusia diwajibkan mempertanggungjawabkan perilaku dan perbuatannya, sementara kepadanya tidak diberi hak untuk menentukan pilihan?

Dari kenyataan empirik-historis kita dapat dikatakan bahwa pengalaman kolektif manusia pada masa lampau yang menjadi isi sejarah sebenarnya tidak lain dari pilihan-pilihan yang telah ditentukannya secara sadar. Tegasnya manusia adalah agen bebas dalam sejarah. Posisinya sebagai agen bebas inilah yang kemudian menempatkan manusia pada kedudukan yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk lain, termasuk malaikat.

Karena masa depan umat manusia itu senantiasa terbuka, maka dakwah Islam haruslah penuh dengan sikap optimistik. Seorang da’i yang berhasil adalah seorang yang mampu membawa umat untuk menatap masa depan dengan penuh harapan. Dan adalah tugas suci umat Islam untuk mengarahkan kekuatan-kekuatan sejarah menuju sebuah masa depan yang lebih cerah, lebih adil, dan lebih anggun. Dengan kata lain, dakwah Islam bertujuan untuk merubah wajah kenyataan yang belum sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan menjadi kenyataan yang dicita-citakan. Tegasnya tugas dakwah adalah tugas sepanjang sejarah, tidak mengenal istirahat, karena ia menyatu dengan kepribadian seorang Muslim yang sadar.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker