BeritadefaultKhazanah

IMPLEMENTASI ISLAM SEBAGAI “THE WAY OF LIFE”

BUKU TUNTUNAN TABLIGH BAGIAN III PART V

  1. Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling baik strukturnya, paling mulia, melebihi dan mengatasi makhluk yang lain (QS. at-Tin: 4; al-Isra’: 70).

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin 4)

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (al-Isra’ 70)

Namun kenyataannya, sebagian mereka muncul sebagai makhluk yang bersegi negatif, bodoh, dzalim, dan kikir (QS. al-Ahzab: 72; al-Isra’: 100), atau bahkan paling hina (QS. at-Tin: 5).

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (al-Ahzab 72)

Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya”. Dan Adalah manusia itu sangat kikir. (al-Isra’ 100)

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (at-Tin 5)

Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang potensial paling unggul, termulia, namun dalam penampilannya belum tentu demikian. Oleh karenanya, ada semacam kewajiban yang inheren dalam diri manusia, yaitu mengaktualkan keunggulan kualitas tersebut, baik segi fisik, mental, intelektual, maupun spiritualnya. Aktualisasi diri inilah yang merupakan fungsi kodrati yang pertama bagi seorang muslim.

Pemenuhan fungsi kodrati pertama tersebut akan membuka manusia muslim untuk memenuhi fungsi kodrati yang lain, yaitu fungsi-fungsi: ibadah atau pengabdian, kekhalifahan, dan kerisalahan (lihat uraian di depan).

Ilmu dan teknologi berkembang didorong oleh kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk dapat mempertahankan eksistensinya yaitu berinteraksi secara harmoni dengan lingkungan alamnya. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu memperoleh kemudahan-kemudahan dalam melakukan kehidupan sehari-hari, dalam memenuhi fungsi hidupnya. Dengan ungkapan lain, makna dikembangkannya ilmu dan teknologi oleh manusia (aspek aksiologis ilmu dan teknologi) ialah sebagai alat agar manusia dapat memenuhi misi atau makna kehidupannya di dunia.

Perkembangan ilmu serta teknologi yang menyertainya, dicapai manusia melalui mata rantai yang panjang dari upaya manusia untuk dengan kemampuan interpretasi ayat kauniyah-nya yang berupa kemampuan observasi, abstraksi, pengkajian, dan eksperimentasi mereka. Perkembangan ilmu dan teknologi yang dicapai oleh umat manusia hingga saat ini telah mendorong ‘loncatan peradaban’ yang mencengangkan. Perkembangan ini sedemikian menyilaukan umat manusia sehingga menggeser persepsi mereka tentang ilmu dan teknologi, yang semula sebagai alat untuk berinteraksi dengan lingkungan alaminya, menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Ilmu dan teknologi sering dipandang sebagai yang mampu memecahkan segalanya, dan lahirlah rasionalisme. Ilmu dan teknologi seolah adalah tuhan.

Di sisi lain, disadari pula bahwa perkembangan ilmu dan teknologi tidak hanya berkembang oleh kemampuan rasional manusia saja, akan tetapi dipengaruhi pula oleh corak pemikiran filsafati (pandangan budaya, keyakinan, dan agama) para pengembangnya. Dengan demikian, perkembangan ilmu dan teknologi tidaklah netral tetapi diwarnai pula oleh presuposisi-presuposisi tertentu. Hal ini akan semakin nyata dirasakan pada spektrum ilmu-ilmu sosial. Pertanyaan yang muncul ialah: apakah presuposisi-presuposisi tersebut sejalan ataukah bertentangan dengan nilai-nilai Islam? Pertanyaan ini cukup bermakna mengingat ilmu dan teknologi yang dimiliki manusia saat ini dikembangkan dengan kurang memperhatikan nilai-nilai moralitas kemanusiaan, nilai-nilai keagamaan. Apalagi para pengembang ilmu dan teknologi kebanyakan adalah mereka yang non-muslim.

Ilmu dan teknologi, menurut pandangan Islam, mestinya dikembangkan dan diperuntukkan bagi pemenuhan fungsi-fungsi kodrati manusia di atas. Bagaimana dengan ilmu dan teknologinya, manusia mampu mengktualisasikan dirinya menjadi makhluk yang termulia, menjadi wakil Allah dalam mengelola dunia, yaitu membudayakan manusia sesuai dengan ketinggian martabatnya di hadapan Allah. Ilmu dan teknologi mestinya dimanfaatkan manusia untuk menunaikan tugas kerisalahannya dan meningkatkan pengabdiannya terhadap sesama manusia sebagai refleksi pengabdiannya kepada al-Khalik.

Bagaimana manusia dapat menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya sebagai alat untuk memenuhi fungsi-fungsi kodrati tersebut memang membutuhkan pamandu (budan), yang tidak lain adalah dienul-Islam itu sendiri. Keterpaduan antara keberilmuan dan keimanan tersebut akan meningkatkan martabat manusia, baik secara ndividual (QS. al-Mujadilah: 11) maupun secara kolektif.

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”. Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu diantara kamu beberapa derajat…..”. (al-Mujadilah 11)

Islam maju ketika akal manusia (ilmu dan teknologi) dibimbing agama, dan sebaliknya Islam mundur manakala umatnya memisahkan antara akal dari agamanya. Fenomena terakhir inilah yang merupakan permasalahan (penyakit?) klasik umat, namun yang selalu aktual untuk dicari upaya pemecahannya.

Dikotomi antara ilmu dan agama, yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yng lain, seperti dikotomi ‘ulama-intelektual’, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam, dan bahkan dikotomi (split) dalam diri manusia muslim sendiri. Muncul dugaan bahwa salah satu sebab kecenderungan dikotomi tersebut adalah kegagalan manusia (muslim) memahami secara proporsional hubungan antara ilmu dengan agama. Berikut ini diilusterasikan secara garis besar salah satu model pendekatan hubungan antara ilmu dengan agama, yang kiranya dapat membantu mendekati pemahaman yang proporsional tersebut.

Hubungan antara ilmu dan agama rupanya lebih proporsional bila ditatap bukan sebagai suatu keadaan atau status, melainkan sebagai suatu proses. Disebut suatu proses karena dalam perjalanan sejarah, istilah tersebut mengalami suatu evolusi, baik makroevolusi (perkembangan pemahaman yang terjadi karena perkembangan peradaban dan budaya antar generasi manusia) maupun mikroevolusi (perkembangan pemahaman pada tingkat individu). Evolusi tersebut ialah suatu perjalanan panjang yang tak berujung dari manusia dalam upaya menangkap dan memahami al-haq.

Oleh karena kebenaran yang hakiki milik Allah semata, maka proses evolusi tersebut adalah suatu “perjalanan nan tak kunjung akhir”. Hal ini terjadi karena yang dapat ditangkap oleh manusia hanyalah tanda-tanda (ayat) al-haq tersebut, yang berupa ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Interpretasi manusia terhadap ayat kauniyah menghasilkanilmu pengetahuan, sementara interpretasi manusia terhadap ayat qauliyah (wahyu: Qur’an dan Sunnah) menghasilkan pemahaman keagamaannya (agama yang ‘aktual’).

Dengan ungkapan lain, hubungan antara ilmu dan agama adalah hubungan yang bersifat dinamik evolutif, yakni suatu “interpretasi manusia terhadap kebenaran hakiki Allah, lewat fenomena kauliyah dan fenomena qauliyah, yang berkembang terus”. Perhatikan skema berikut.

Inti pemahaman hubungan tersebut beranjak dari perilaku tauhidi, yaitu keimanan dan ketundukan mutlak manusia pada Allah, yang antara lain tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku:

  1. Bahwa kebenaran mutlak (al-haq) hanya ada pada Allah semata, dan yang dapat dicapai manusia (dengan interpretasi kauniyah maupun qauliyah) hanyalah kebenaran yang relatif, dalam skala waktu dan tempat.
  2. Kesadaran akan keterbatasan interpretasi tersebut akan menimbulkan sikap dan perilaku manusia (ilmuwan) untuk: (1) tunduk dan patuh pada Allah semata; (2) menyadari bahwa ilmu dan kemampuan teknologi (profesi) yang dikuasainya adalah berasal dan amanah dari Allah; dan (3) motivasi penerapannya diupayakan dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
  3. Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dan agama, karena keduanya berasal dari sumber yang sama. “Pertentangan” yang dijumpai dalam praktek adalah semu, sebagai akibat kesalahan interpretasi ayat kauniyah, ayat qauliyah, atau keduanya.
  4. Kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya sumber kebenaran, dan bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi problema kehidupan manusia.

*1): interpretasinya melahirkan: fisika, kimia, astronomi, botani, zoologi, geologi, dsb.

*2): interpretasinya melahirkan: biologi manusia, ilmu kedokteran, antropologi, dsb. individual); ilmu-ilmu: hukum, ekonomi, sosiologi, politik, dsb. (komunal); dan sejarah temporal).

*3): (QS. Fushilat: 53)

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Fushilat 53)

*4): (QS. Ali Imran: 164)

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran 164)

Dengan model pendekatan di atas menjadikan seseorang muslim (ulama/cendekiawan) di samping dapat terhindar dari pemahaman yang dikotomik, juga diperolehnya keuntungan (yang berupa proporsionalitas persepsi, sikap perilaku) yang lain. Keuntungan yang dimaksud adalah:

Pertama, terhindarnya mereka dari cara berpikir rasionalistik (ekstrim kiri), spiritualistik (ekstrim kanan), maupun sekularistik (pengkotakan atau spasialisasi kehidupan).

Kedua, kemampuan mereka untuk meningkatkan pemahaman (interpretasi) ayat qauliyah mereka dengan temuan-temuan yang diperoleh dari interpretasi kauniahnya (ilmu pengetahuan), dan sebaliknya dapat digunakannya nilai-nilai yang dipahami dari wahyu untuk dijadikan dasar etik/filosofik bagi interpretasi terhadap ayat kauniyah (pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan).

Ketiga, dorongan untuk lebih mampu mengimplementasikan ilmu dan ajaran agamanya dalam kehidupan di masyarakat, dalam bentuk perpaduan yang operasional sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi umat manusia. Kontekstualitas interpretasi di sini jangan dipahami sebagai suatu interpretasi-adaptatif Islam dengan konteks ruang dan waktu (sebagaimana sering dipopularkan sementara pihak), melainkan operasionalisasi konsep Islam (qauliyah dan kauniyah) dalam konteks ruang dan waktu.

Berangkat dari pemahaman kedudukan ilmu dalam Islam sebagai tersebut di atas, di samping diperoleh keuntungan (konsekuensi subjektif) tersebut, juga menimbulkan konsekuensi objektif yang mengarah pada pengembangan paradigma keilmuan yang islami. Konsekuensi yang dimaksud adalah.

Pertama, dalam pemahaman yang konvensional, maka ilmu berawal dari suatu skeptisitas atau suatu nihilitas. Sesuatu adalah salah kecuali telah dibuktikan kebenarannya, dan sesuatu tidak ada kecuali telah dibuktikan keberadaannya. Paradigma keilmuan yang islami tidaklah demikian. Menurut Islam ilmu (dan metodologi keilmuan) bukan berangkat dari skeptisitas atau ketiadaan, tetapi berangkat dari tauhid, dari suatu keyakinan bahwa segala fenomena keilmuan yang ada merupakan manifestasi kebenaran haq Allah (QS. Fushilat: 53).

Kedua, ilmu pengetahuan (dan teknologi yang dilahirkannya) bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Pemahaman bebas nilai ini menyangkut baik aspek ontologis maupun aksiologis. Dari pemikiran inilah terlihat perlu suatu etika (akhlaq) pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi yang islami.

  1. Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling baik strukturnya, paling mulia, melebihi dan mengatasi makhluk yang lain (QS. at-Tin: 4; al-Isra’: 70).

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin 4)

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (al-Isra’ 70)

Namun kenyataannya, sebagian mereka muncul sebagai makhluk yang bersegi negatif, bodoh, dzalim, dan kikir (QS. al-Ahzab: 72; al-Isra’: 100), atau bahkan paling hina (QS. at-Tin: 5).

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (al-Ahzab 72)

Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya”. Dan Adalah manusia itu sangat kikir. (al-Isra’ 100)

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (at-Tin 5)

Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang potensial paling unggul, termulia, namun dalam penampilannya belum tentu demikian. Oleh karenanya, ada semacam kewajiban yang inheren dalam diri manusia, yaitu mengaktualkan keunggulan kualitas tersebut, baik segi fisik, mental, intelektual, maupun spiritualnya. Aktualisasi diri inilah yang merupakan fungsi kodrati yang pertama bagi seorang muslim.

Pemenuhan fungsi kodrati pertama tersebut akan membuka manusia muslim untuk memenuhi fungsi kodrati yang lain, yaitu fungsi-fungsi: ibadah atau pengabdian, kekhalifahan, dan kerisalahan (lihat uraian di depan).

Ilmu dan teknologi berkembang didorong oleh kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk dapat mempertahankan eksistensinya yaitu berinteraksi secara harmoni dengan lingkungan alamnya. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu memperoleh kemudahan-kemudahan dalam melakukan kehidupan sehari-hari, dalam memenuhi fungsi hidupnya. Dengan ungkapan lain, makna dikembangkannya ilmu dan teknologi oleh manusia (aspek aksiologis ilmu dan teknologi) ialah sebagai alat agar manusia dapat memenuhi misi atau makna kehidupannya di dunia.

Perkembangan ilmu serta teknologi yang menyertainya, dicapai manusia melalui mata rantai yang panjang dari upaya manusia untuk dengan kemampuan interpretasi ayat kauniyah-nya yang berupa kemampuan observasi, abstraksi, pengkajian, dan eksperimentasi mereka. Perkembangan ilmu dan teknologi yang dicapai oleh umat manusia hingga saat ini telah mendorong ‘loncatan peradaban’ yang mencengangkan. Perkembangan ini sedemikian menyilaukan umat manusia sehingga menggeser persepsi mereka tentang ilmu dan teknologi, yang semula sebagai alat untuk berinteraksi dengan lingkungan alaminya, menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Ilmu dan teknologi sering dipandang sebagai yang mampu memecahkan segalanya, dan lahirlah rasionalisme. Ilmu dan teknologi seolah adalah tuhan.

Di sisi lain, disadari pula bahwa perkembangan ilmu dan teknologi tidak hanya berkembang oleh kemampuan rasional manusia saja, akan tetapi dipengaruhi pula oleh corak pemikiran filsafati (pandangan budaya, keyakinan, dan agama) para pengembangnya. Dengan demikian, perkembangan ilmu dan teknologi tidaklah netral tetapi diwarnai pula oleh presuposisi-presuposisi tertentu. Hal ini akan semakin nyata dirasakan pada spektrum ilmu-ilmu sosial. Pertanyaan yang muncul ialah: apakah presuposisi-presuposisi tersebut sejalan ataukah bertentangan dengan nilai-nilai Islam? Pertanyaan ini cukup bermakna mengingat ilmu dan teknologi yang dimiliki manusia saat ini dikembangkan dengan kurang memperhatikan nilai-nilai moralitas kemanusiaan, nilai-nilai keagamaan. Apalagi para pengembang ilmu dan teknologi kebanyakan adalah mereka yang non-muslim.

Ilmu dan teknologi, menurut pandangan Islam, mestinya dikembangkan dan diperuntukkan bagi pemenuhan fungsi-fungsi kodrati manusia di atas. Bagaimana dengan ilmu dan teknologinya, manusia mampu mengktualisasikan dirinya menjadi makhluk yang termulia, menjadi wakil Allah dalam mengelola dunia, yaitu membudayakan manusia sesuai dengan ketinggian martabatnya di hadapan Allah. Ilmu dan teknologi mestinya dimanfaatkan manusia untuk menunaikan tugas kerisalahannya dan meningkatkan pengabdiannya terhadap sesama manusia sebagai refleksi pengabdiannya kepada al-Khalik.

Bagaimana manusia dapat menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya sebagai alat untuk memenuhi fungsi-fungsi kodrati tersebut memang membutuhkan pamandu (budan), yang tidak lain adalah dienul-Islam itu sendiri. Keterpaduan antara keberilmuan dan keimanan tersebut akan meningkatkan martabat manusia, baik secara ndividual (QS. al-Mujadilah: 11) maupun secara kolektif.

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”. Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu diantara kamu beberapa derajat…..”. (al-Mujadilah 11)

Islam maju ketika akal manusia (ilmu dan teknologi) dibimbing agama, dan sebaliknya Islam mundur manakala umatnya memisahkan antara akal dari agamanya. Fenomena terakhir inilah yang merupakan permasalahan (penyakit?) klasik umat, namun yang selalu aktual untuk dicari upaya pemecahannya.

Dikotomi antara ilmu dan agama, yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yng lain, seperti dikotomi ‘ulama-intelektual’, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam, dan bahkan dikotomi (split) dalam diri manusia muslim sendiri. Muncul dugaan bahwa salah satu sebab kecenderungan dikotomi tersebut adalah kegagalan manusia (muslim) memahami secara proporsional hubungan antara ilmu dengan agama. Berikut ini diilusterasikan secara garis besar salah satu model pendekatan hubungan antara ilmu dengan agama, yang kiranya dapat membantu mendekati pemahaman yang proporsional tersebut.

Hubungan antara ilmu dan agama rupanya lebih proporsional bila ditatap bukan sebagai suatu keadaan atau status, melainkan sebagai suatu proses. Disebut suatu proses karena dalam perjalanan sejarah, istilah tersebut mengalami suatu evolusi, baik makroevolusi (perkembangan pemahaman yang terjadi karena perkembangan peradaban dan budaya antar generasi manusia) maupun mikroevolusi (perkembangan pemahaman pada tingkat individu). Evolusi tersebut ialah suatu perjalanan panjang yang tak berujung dari manusia dalam upaya menangkap dan memahami al-haq.

Oleh karena kebenaran yang hakiki milik Allah semata, maka proses evolusi tersebut adalah suatu “perjalanan nan tak kunjung akhir”. Hal ini terjadi karena yang dapat ditangkap oleh manusia hanyalah tanda-tanda (ayat) al-haq tersebut, yang berupa ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Interpretasi manusia terhadap ayat kauniyah menghasilkanilmu pengetahuan, sementara interpretasi manusia terhadap ayat qauliyah (wahyu: Qur’an dan Sunnah) menghasilkan pemahaman keagamaannya (agama yang ‘aktual’).

Dengan ungkapan lain, hubungan antara ilmu dan agama adalah hubungan yang bersifat dinamik evolutif, yakni suatu “interpretasi manusia terhadap kebenaran hakiki Allah, lewat fenomena kauliyah dan fenomena qauliyah, yang berkembang terus”. Perhatikan skema berikut.

Inti pemahaman hubungan tersebut beranjak dari perilaku tauhidi, yaitu keimanan dan ketundukan mutlak manusia pada Allah, yang antara lain tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku:

  1. Bahwa kebenaran mutlak (al-haq) hanya ada pada Allah semata, dan yang dapat dicapai manusia (dengan interpretasi kauniyah maupun qauliyah) hanyalah kebenaran yang relatif, dalam skala waktu dan tempat.
  2. Kesadaran akan keterbatasan interpretasi tersebut akan menimbulkan sikap dan perilaku manusia (ilmuwan) untuk: (1) tunduk dan patuh pada Allah semata; (2) menyadari bahwa ilmu dan kemampuan teknologi (profesi) yang dikuasainya adalah berasal dan amanah dari Allah; dan (3) motivasi penerapannya diupayakan dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
  3. Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dan agama, karena keduanya berasal dari sumber yang sama. “Pertentangan” yang dijumpai dalam praktek adalah semu, sebagai akibat kesalahan interpretasi ayat kauniyah, ayat qauliyah, atau keduanya.
  4. Kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya sumber kebenaran, dan bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi problema kehidupan manusia.

*1): interpretasinya melahirkan: fisika, kimia, astronomi, botani, zoologi, geologi, dsb.

*2): interpretasinya melahirkan: biologi manusia, ilmu kedokteran, antropologi, dsb. individual); ilmu-ilmu: hukum, ekonomi, sosiologi, politik, dsb. (komunal); dan sejarah temporal).

*3): (QS. Fushilat: 53)

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Fushilat 53)

*4): (QS. Ali Imran: 164)

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran 164)

Dengan model pendekatan di atas menjadikan seseorang muslim (ulama/cendekiawan) di samping dapat terhindar dari pemahaman yang dikotomik, juga diperolehnya keuntungan (yang berupa proporsionalitas persepsi, sikap perilaku) yang lain. Keuntungan yang dimaksud adalah:

Pertama, terhindarnya mereka dari cara berpikir rasionalistik (ekstrim kiri), spiritualistik (ekstrim kanan), maupun sekularistik (pengkotakan atau spasialisasi kehidupan).

Kedua, kemampuan mereka untuk meningkatkan pemahaman (interpretasi) ayat qauliyah mereka dengan temuan-temuan yang diperoleh dari interpretasi kauniahnya (ilmu pengetahuan), dan sebaliknya dapat digunakannya nilai-nilai yang dipahami dari wahyu untuk dijadikan dasar etik/filosofik bagi interpretasi terhadap ayat kauniyah (pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan).

Ketiga, dorongan untuk lebih mampu mengimplementasikan ilmu dan ajaran agamanya dalam kehidupan di masyarakat, dalam bentuk perpaduan yang operasional sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi umat manusia. Kontekstualitas interpretasi di sini jangan dipahami sebagai suatu interpretasi-adaptatif Islam dengan konteks ruang dan waktu (sebagaimana sering dipopularkan sementara pihak), melainkan operasionalisasi konsep Islam (qauliyah dan kauniyah) dalam konteks ruang dan waktu.

Berangkat dari pemahaman kedudukan ilmu dalam Islam sebagai tersebut di atas, di samping diperoleh keuntungan (konsekuensi subjektif) tersebut, juga menimbulkan konsekuensi objektif yang mengarah pada pengembangan paradigma keilmuan yang islami. Konsekuensi yang dimaksud adalah.

Pertama, dalam pemahaman yang konvensional, maka ilmu berawal dari suatu skeptisitas atau suatu nihilitas. Sesuatu adalah salah kecuali telah dibuktikan kebenarannya, dan sesuatu tidak ada kecuali telah dibuktikan keberadaannya. Paradigma keilmuan yang islami tidaklah demikian. Menurut Islam ilmu (dan metodologi keilmuan) bukan berangkat dari skeptisitas atau ketiadaan, tetapi berangkat dari tauhid, dari suatu keyakinan bahwa segala fenomena keilmuan yang ada merupakan manifestasi kebenaran haq Allah (QS. Fushilat: 53).

Kedua, ilmu pengetahuan (dan teknologi yang dilahirkannya) bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Pemahaman bebas nilai ini menyangkut baik aspek ontologis maupun aksiologis. Dari pemikiran inilah terlihat perlu suatu etika (akhlaq) pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi yang islami.

  1. Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling baik strukturnya, paling mulia, melebihi dan mengatasi makhluk yang lain (QS. at-Tin: 4; al-Isra’: 70).

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin 4)

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (al-Isra’ 70)

Namun kenyataannya, sebagian mereka muncul sebagai makhluk yang bersegi negatif, bodoh, dzalim, dan kikir (QS. al-Ahzab: 72; al-Isra’: 100), atau bahkan paling hina (QS. at-Tin: 5).

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (al-Ahzab 72)

Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya”. Dan Adalah manusia itu sangat kikir. (al-Isra’ 100)

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (at-Tin 5)

Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang potensial paling unggul, termulia, namun dalam penampilannya belum tentu demikian. Oleh karenanya, ada semacam kewajiban yang inheren dalam diri manusia, yaitu mengaktualkan keunggulan kualitas tersebut, baik segi fisik, mental, intelektual, maupun spiritualnya. Aktualisasi diri inilah yang merupakan fungsi kodrati yang pertama bagi seorang muslim.

Pemenuhan fungsi kodrati pertama tersebut akan membuka manusia muslim untuk memenuhi fungsi kodrati yang lain, yaitu fungsi-fungsi: ibadah atau pengabdian, kekhalifahan, dan kerisalahan (lihat uraian di depan).

Ilmu dan teknologi berkembang didorong oleh kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk dapat mempertahankan eksistensinya yaitu berinteraksi secara harmoni dengan lingkungan alamnya. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu memperoleh kemudahan-kemudahan dalam melakukan kehidupan sehari-hari, dalam memenuhi fungsi hidupnya. Dengan ungkapan lain, makna dikembangkannya ilmu dan teknologi oleh manusia (aspek aksiologis ilmu dan teknologi) ialah sebagai alat agar manusia dapat memenuhi misi atau makna kehidupannya di dunia.

Perkembangan ilmu serta teknologi yang menyertainya, dicapai manusia melalui mata rantai yang panjang dari upaya manusia untuk dengan kemampuan interpretasi ayat kauniyah-nya yang berupa kemampuan observasi, abstraksi, pengkajian, dan eksperimentasi mereka. Perkembangan ilmu dan teknologi yang dicapai oleh umat manusia hingga saat ini telah mendorong ‘loncatan peradaban’ yang mencengangkan. Perkembangan ini sedemikian menyilaukan umat manusia sehingga menggeser persepsi mereka tentang ilmu dan teknologi, yang semula sebagai alat untuk berinteraksi dengan lingkungan alaminya, menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Ilmu dan teknologi sering dipandang sebagai yang mampu memecahkan segalanya, dan lahirlah rasionalisme. Ilmu dan teknologi seolah adalah tuhan.

Di sisi lain, disadari pula bahwa perkembangan ilmu dan teknologi tidak hanya berkembang oleh kemampuan rasional manusia saja, akan tetapi dipengaruhi pula oleh corak pemikiran filsafati (pandangan budaya, keyakinan, dan agama) para pengembangnya. Dengan demikian, perkembangan ilmu dan teknologi tidaklah netral tetapi diwarnai pula oleh presuposisi-presuposisi tertentu. Hal ini akan semakin nyata dirasakan pada spektrum ilmu-ilmu sosial. Pertanyaan yang muncul ialah: apakah presuposisi-presuposisi tersebut sejalan ataukah bertentangan dengan nilai-nilai Islam? Pertanyaan ini cukup bermakna mengingat ilmu dan teknologi yang dimiliki manusia saat ini dikembangkan dengan kurang memperhatikan nilai-nilai moralitas kemanusiaan, nilai-nilai keagamaan. Apalagi para pengembang ilmu dan teknologi kebanyakan adalah mereka yang non-muslim.

Ilmu dan teknologi, menurut pandangan Islam, mestinya dikembangkan dan diperuntukkan bagi pemenuhan fungsi-fungsi kodrati manusia di atas. Bagaimana dengan ilmu dan teknologinya, manusia mampu mengktualisasikan dirinya menjadi makhluk yang termulia, menjadi wakil Allah dalam mengelola dunia, yaitu membudayakan manusia sesuai dengan ketinggian martabatnya di hadapan Allah. Ilmu dan teknologi mestinya dimanfaatkan manusia untuk menunaikan tugas kerisalahannya dan meningkatkan pengabdiannya terhadap sesama manusia sebagai refleksi pengabdiannya kepada al-Khalik.

Bagaimana manusia dapat menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya sebagai alat untuk memenuhi fungsi-fungsi kodrati tersebut memang membutuhkan pamandu (budan), yang tidak lain adalah dienul-Islam itu sendiri. Keterpaduan antara keberilmuan dan keimanan tersebut akan meningkatkan martabat manusia, baik secara ndividual (QS. al-Mujadilah: 11) maupun secara kolektif.

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”. Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu diantara kamu beberapa derajat…..”. (al-Mujadilah 11)

Islam maju ketika akal manusia (ilmu dan teknologi) dibimbing agama, dan sebaliknya Islam mundur manakala umatnya memisahkan antara akal dari agamanya. Fenomena terakhir inilah yang merupakan permasalahan (penyakit?) klasik umat, namun yang selalu aktual untuk dicari upaya pemecahannya.

Dikotomi antara ilmu dan agama, yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yng lain, seperti dikotomi ‘ulama-intelektual’, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam, dan bahkan dikotomi (split) dalam diri manusia muslim sendiri. Muncul dugaan bahwa salah satu sebab kecenderungan dikotomi tersebut adalah kegagalan manusia (muslim) memahami secara proporsional hubungan antara ilmu dengan agama. Berikut ini diilusterasikan secara garis besar salah satu model pendekatan hubungan antara ilmu dengan agama, yang kiranya dapat membantu mendekati pemahaman yang proporsional tersebut.

Hubungan antara ilmu dan agama rupanya lebih proporsional bila ditatap bukan sebagai suatu keadaan atau status, melainkan sebagai suatu proses. Disebut suatu proses karena dalam perjalanan sejarah, istilah tersebut mengalami suatu evolusi, baik makroevolusi (perkembangan pemahaman yang terjadi karena perkembangan peradaban dan budaya antar generasi manusia) maupun mikroevolusi (perkembangan pemahaman pada tingkat individu). Evolusi tersebut ialah suatu perjalanan panjang yang tak berujung dari manusia dalam upaya menangkap dan memahami al-haq.

Oleh karena kebenaran yang hakiki milik Allah semata, maka proses evolusi tersebut adalah suatu “perjalanan nan tak kunjung akhir”. Hal ini terjadi karena yang dapat ditangkap oleh manusia hanyalah tanda-tanda (ayat) al-haq tersebut, yang berupa ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Interpretasi manusia terhadap ayat kauniyah menghasilkanilmu pengetahuan, sementara interpretasi manusia terhadap ayat qauliyah (wahyu: Qur’an dan Sunnah) menghasilkan pemahaman keagamaannya (agama yang ‘aktual’).

Dengan ungkapan lain, hubungan antara ilmu dan agama adalah hubungan yang bersifat dinamik evolutif, yakni suatu “interpretasi manusia terhadap kebenaran hakiki Allah, lewat fenomena kauliyah dan fenomena qauliyah, yang berkembang terus”. Perhatikan skema berikut.

Inti pemahaman hubungan tersebut beranjak dari perilaku tauhidi, yaitu keimanan dan ketundukan mutlak manusia pada Allah, yang antara lain tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku:

  1. Bahwa kebenaran mutlak (al-haq) hanya ada pada Allah semata, dan yang dapat dicapai manusia (dengan interpretasi kauniyah maupun qauliyah) hanyalah kebenaran yang relatif, dalam skala waktu dan tempat.
  2. Kesadaran akan keterbatasan interpretasi tersebut akan menimbulkan sikap dan perilaku manusia (ilmuwan) untuk: (1) tunduk dan patuh pada Allah semata; (2) menyadari bahwa ilmu dan kemampuan teknologi (profesi) yang dikuasainya adalah berasal dan amanah dari Allah; dan (3) motivasi penerapannya diupayakan dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
  3. Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dan agama, karena keduanya berasal dari sumber yang sama. “Pertentangan” yang dijumpai dalam praktek adalah semu, sebagai akibat kesalahan interpretasi ayat kauniyah, ayat qauliyah, atau keduanya.
  4. Kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya sumber kebenaran, dan bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi problema kehidupan manusia.

*1): interpretasinya melahirkan: fisika, kimia, astronomi, botani, zoologi, geologi, dsb.

*2): interpretasinya melahirkan: biologi manusia, ilmu kedokteran, antropologi, dsb. individual); ilmu-ilmu: hukum, ekonomi, sosiologi, politik, dsb. (komunal); dan sejarah temporal).

*3): (QS. Fushilat: 53)

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Fushilat 53)

*4): (QS. Ali Imran: 164)

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran 164)

Dengan model pendekatan di atas menjadikan seseorang muslim (ulama/cendekiawan) di samping dapat terhindar dari pemahaman yang dikotomik, juga diperolehnya keuntungan (yang berupa proporsionalitas persepsi, sikap perilaku) yang lain. Keuntungan yang dimaksud adalah:

Pertama, terhindarnya mereka dari cara berpikir rasionalistik (ekstrim kiri), spiritualistik (ekstrim kanan), maupun sekularistik (pengkotakan atau spasialisasi kehidupan).

Kedua, kemampuan mereka untuk meningkatkan pemahaman (interpretasi) ayat qauliyah mereka dengan temuan-temuan yang diperoleh dari interpretasi kauniahnya (ilmu pengetahuan), dan sebaliknya dapat digunakannya nilai-nilai yang dipahami dari wahyu untuk dijadikan dasar etik/filosofik bagi interpretasi terhadap ayat kauniyah (pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan).

Ketiga, dorongan untuk lebih mampu mengimplementasikan ilmu dan ajaran agamanya dalam kehidupan di masyarakat, dalam bentuk perpaduan yang operasional sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi umat manusia. Kontekstualitas interpretasi di sini jangan dipahami sebagai suatu interpretasi-adaptatif Islam dengan konteks ruang dan waktu (sebagaimana sering dipopularkan sementara pihak), melainkan operasionalisasi konsep Islam (qauliyah dan kauniyah) dalam konteks ruang dan waktu.

Berangkat dari pemahaman kedudukan ilmu dalam Islam sebagai tersebut di atas, di samping diperoleh keuntungan (konsekuensi subjektif) tersebut, juga menimbulkan konsekuensi objektif yang mengarah pada pengembangan paradigma keilmuan yang islami. Konsekuensi yang dimaksud adalah.

Pertama, dalam pemahaman yang konvensional, maka ilmu berawal dari suatu skeptisitas atau suatu nihilitas. Sesuatu adalah salah kecuali telah dibuktikan kebenarannya, dan sesuatu tidak ada kecuali telah dibuktikan keberadaannya. Paradigma keilmuan yang islami tidaklah demikian. Menurut Islam ilmu (dan metodologi keilmuan) bukan berangkat dari skeptisitas atau ketiadaan, tetapi berangkat dari tauhid, dari suatu keyakinan bahwa segala fenomena keilmuan yang ada merupakan manifestasi kebenaran haq Allah (QS. Fushilat: 53).

Kedua, ilmu pengetahuan (dan teknologi yang dilahirkannya) bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Pemahaman bebas nilai ini menyangkut baik aspek ontologis maupun aksiologis. Dari pemikiran inilah terlihat perlu suatu etika (akhlaq) pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi yang islami.

  1. Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling baik strukturnya, paling mulia, melebihi dan mengatasi makhluk yang lain (QS. at-Tin: 4; al-Isra’: 70).

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin 4)

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (al-Isra’ 70)

Namun kenyataannya, sebagian mereka muncul sebagai makhluk yang bersegi negatif, bodoh, dzalim, dan kikir (QS. al-Ahzab: 72; al-Isra’: 100), atau bahkan paling hina (QS. at-Tin: 5).

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (al-Ahzab 72)

Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya”. Dan Adalah manusia itu sangat kikir. (al-Isra’ 100)

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (at-Tin 5)

Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang potensial paling unggul, termulia, namun dalam penampilannya belum tentu demikian. Oleh karenanya, ada semacam kewajiban yang inheren dalam diri manusia, yaitu mengaktualkan keunggulan kualitas tersebut, baik segi fisik, mental, intelektual, maupun spiritualnya. Aktualisasi diri inilah yang merupakan fungsi kodrati yang pertama bagi seorang muslim.

Pemenuhan fungsi kodrati pertama tersebut akan membuka manusia muslim untuk memenuhi fungsi kodrati yang lain, yaitu fungsi-fungsi: ibadah atau pengabdian, kekhalifahan, dan kerisalahan (lihat uraian di depan).

Ilmu dan teknologi berkembang didorong oleh kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk dapat mempertahankan eksistensinya yaitu berinteraksi secara harmoni dengan lingkungan alamnya. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu memperoleh kemudahan-kemudahan dalam melakukan kehidupan sehari-hari, dalam memenuhi fungsi hidupnya. Dengan ungkapan lain, makna dikembangkannya ilmu dan teknologi oleh manusia (aspek aksiologis ilmu dan teknologi) ialah sebagai alat agar manusia dapat memenuhi misi atau makna kehidupannya di dunia.

Perkembangan ilmu serta teknologi yang menyertainya, dicapai manusia melalui mata rantai yang panjang dari upaya manusia untuk dengan kemampuan interpretasi ayat kauniyah-nya yang berupa kemampuan observasi, abstraksi, pengkajian, dan eksperimentasi mereka. Perkembangan ilmu dan teknologi yang dicapai oleh umat manusia hingga saat ini telah mendorong ‘loncatan peradaban’ yang mencengangkan. Perkembangan ini sedemikian menyilaukan umat manusia sehingga menggeser persepsi mereka tentang ilmu dan teknologi, yang semula sebagai alat untuk berinteraksi dengan lingkungan alaminya, menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Ilmu dan teknologi sering dipandang sebagai yang mampu memecahkan segalanya, dan lahirlah rasionalisme. Ilmu dan teknologi seolah adalah tuhan.

Di sisi lain, disadari pula bahwa perkembangan ilmu dan teknologi tidak hanya berkembang oleh kemampuan rasional manusia saja, akan tetapi dipengaruhi pula oleh corak pemikiran filsafati (pandangan budaya, keyakinan, dan agama) para pengembangnya. Dengan demikian, perkembangan ilmu dan teknologi tidaklah netral tetapi diwarnai pula oleh presuposisi-presuposisi tertentu. Hal ini akan semakin nyata dirasakan pada spektrum ilmu-ilmu sosial. Pertanyaan yang muncul ialah: apakah presuposisi-presuposisi tersebut sejalan ataukah bertentangan dengan nilai-nilai Islam? Pertanyaan ini cukup bermakna mengingat ilmu dan teknologi yang dimiliki manusia saat ini dikembangkan dengan kurang memperhatikan nilai-nilai moralitas kemanusiaan, nilai-nilai keagamaan. Apalagi para pengembang ilmu dan teknologi kebanyakan adalah mereka yang non-muslim.

Ilmu dan teknologi, menurut pandangan Islam, mestinya dikembangkan dan diperuntukkan bagi pemenuhan fungsi-fungsi kodrati manusia di atas. Bagaimana dengan ilmu dan teknologinya, manusia mampu mengktualisasikan dirinya menjadi makhluk yang termulia, menjadi wakil Allah dalam mengelola dunia, yaitu membudayakan manusia sesuai dengan ketinggian martabatnya di hadapan Allah. Ilmu dan teknologi mestinya dimanfaatkan manusia untuk menunaikan tugas kerisalahannya dan meningkatkan pengabdiannya terhadap sesama manusia sebagai refleksi pengabdiannya kepada al-Khalik.

Bagaimana manusia dapat menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya sebagai alat untuk memenuhi fungsi-fungsi kodrati tersebut memang membutuhkan pamandu (budan), yang tidak lain adalah dienul-Islam itu sendiri. Keterpaduan antara keberilmuan dan keimanan tersebut akan meningkatkan martabat manusia, baik secara ndividual (QS. al-Mujadilah: 11) maupun secara kolektif.

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”. Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu diantara kamu beberapa derajat…..”. (al-Mujadilah 11)

Islam maju ketika akal manusia (ilmu dan teknologi) dibimbing agama, dan sebaliknya Islam mundur manakala umatnya memisahkan antara akal dari agamanya. Fenomena terakhir inilah yang merupakan permasalahan (penyakit?) klasik umat, namun yang selalu aktual untuk dicari upaya pemecahannya.

Dikotomi antara ilmu dan agama, yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yng lain, seperti dikotomi ‘ulama-intelektual’, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam, dan bahkan dikotomi (split) dalam diri manusia muslim sendiri. Muncul dugaan bahwa salah satu sebab kecenderungan dikotomi tersebut adalah kegagalan manusia (muslim) memahami secara proporsional hubungan antara ilmu dengan agama. Berikut ini diilusterasikan secara garis besar salah satu model pendekatan hubungan antara ilmu dengan agama, yang kiranya dapat membantu mendekati pemahaman yang proporsional tersebut.

Hubungan antara ilmu dan agama rupanya lebih proporsional bila ditatap bukan sebagai suatu keadaan atau status, melainkan sebagai suatu proses. Disebut suatu proses karena dalam perjalanan sejarah, istilah tersebut mengalami suatu evolusi, baik makroevolusi (perkembangan pemahaman yang terjadi karena perkembangan peradaban dan budaya antar generasi manusia) maupun mikroevolusi (perkembangan pemahaman pada tingkat individu). Evolusi tersebut ialah suatu perjalanan panjang yang tak berujung dari manusia dalam upaya menangkap dan memahami al-haq.

Oleh karena kebenaran yang hakiki milik Allah semata, maka proses evolusi tersebut adalah suatu “perjalanan nan tak kunjung akhir”. Hal ini terjadi karena yang dapat ditangkap oleh manusia hanyalah tanda-tanda (ayat) al-haq tersebut, yang berupa ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Interpretasi manusia terhadap ayat kauniyah menghasilkanilmu pengetahuan, sementara interpretasi manusia terhadap ayat qauliyah (wahyu: Qur’an dan Sunnah) menghasilkan pemahaman keagamaannya (agama yang ‘aktual’).

Dengan ungkapan lain, hubungan antara ilmu dan agama adalah hubungan yang bersifat dinamik evolutif, yakni suatu “interpretasi manusia terhadap kebenaran hakiki Allah, lewat fenomena kauliyah dan fenomena qauliyah, yang berkembang terus”. Perhatikan skema berikut.

Inti pemahaman hubungan tersebut beranjak dari perilaku tauhidi, yaitu keimanan dan ketundukan mutlak manusia pada Allah, yang antara lain tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku:

  1. Bahwa kebenaran mutlak (al-haq) hanya ada pada Allah semata, dan yang dapat dicapai manusia (dengan interpretasi kauniyah maupun qauliyah) hanyalah kebenaran yang relatif, dalam skala waktu dan tempat.
  2. Kesadaran akan keterbatasan interpretasi tersebut akan menimbulkan sikap dan perilaku manusia (ilmuwan) untuk: (1) tunduk dan patuh pada Allah semata; (2) menyadari bahwa ilmu dan kemampuan teknologi (profesi) yang dikuasainya adalah berasal dan amanah dari Allah; dan (3) motivasi penerapannya diupayakan dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
  3. Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dan agama, karena keduanya berasal dari sumber yang sama. “Pertentangan” yang dijumpai dalam praktek adalah semu, sebagai akibat kesalahan interpretasi ayat kauniyah, ayat qauliyah, atau keduanya.
  4. Kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya sumber kebenaran, dan bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi problema kehidupan manusia.

*1): interpretasinya melahirkan: fisika, kimia, astronomi, botani, zoologi, geologi, dsb.

*2): interpretasinya melahirkan: biologi manusia, ilmu kedokteran, antropologi, dsb. individual); ilmu-ilmu: hukum, ekonomi, sosiologi, politik, dsb. (komunal); dan sejarah temporal).

*3): (QS. Fushilat: 53)

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Fushilat 53)

*4): (QS. Ali Imran: 164)

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran 164)

Dengan model pendekatan di atas menjadikan seseorang muslim (ulama/cendekiawan) di samping dapat terhindar dari pemahaman yang dikotomik, juga diperolehnya keuntungan (yang berupa proporsionalitas persepsi, sikap perilaku) yang lain. Keuntungan yang dimaksud adalah:

Pertama, terhindarnya mereka dari cara berpikir rasionalistik (ekstrim kiri), spiritualistik (ekstrim kanan), maupun sekularistik (pengkotakan atau spasialisasi kehidupan).

Kedua, kemampuan mereka untuk meningkatkan pemahaman (interpretasi) ayat qauliyah mereka dengan temuan-temuan yang diperoleh dari interpretasi kauniahnya (ilmu pengetahuan), dan sebaliknya dapat digunakannya nilai-nilai yang dipahami dari wahyu untuk dijadikan dasar etik/filosofik bagi interpretasi terhadap ayat kauniyah (pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan).

Ketiga, dorongan untuk lebih mampu mengimplementasikan ilmu dan ajaran agamanya dalam kehidupan di masyarakat, dalam bentuk perpaduan yang operasional sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi umat manusia. Kontekstualitas interpretasi di sini jangan dipahami sebagai suatu interpretasi-adaptatif Islam dengan konteks ruang dan waktu (sebagaimana sering dipopularkan sementara pihak), melainkan operasionalisasi konsep Islam (qauliyah dan kauniyah) dalam konteks ruang dan waktu.

Berangkat dari pemahaman kedudukan ilmu dalam Islam sebagai tersebut di atas, di samping diperoleh keuntungan (konsekuensi subjektif) tersebut, juga menimbulkan konsekuensi objektif yang mengarah pada pengembangan paradigma keilmuan yang islami. Konsekuensi yang dimaksud adalah.

Pertama, dalam pemahaman yang konvensional, maka ilmu berawal dari suatu skeptisitas atau suatu nihilitas. Sesuatu adalah salah kecuali telah dibuktikan kebenarannya, dan sesuatu tidak ada kecuali telah dibuktikan keberadaannya. Paradigma keilmuan yang islami tidaklah demikian. Menurut Islam ilmu (dan metodologi keilmuan) bukan berangkat dari skeptisitas atau ketiadaan, tetapi berangkat dari tauhid, dari suatu keyakinan bahwa segala fenomena keilmuan yang ada merupakan manifestasi kebenaran haq Allah (QS. Fushilat: 53).

Kedua, ilmu pengetahuan (dan teknologi yang dilahirkannya) bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Pemahaman bebas nilai ini menyangkut baik aspek ontologis maupun aksiologis. Dari pemikiran inilah terlihat perlu suatu etika (akhlaq) pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi yang islami.

  1. Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling baik strukturnya, paling mulia, melebihi dan mengatasi makhluk yang lain (QS. at-Tin: 4; al-Isra’: 70).

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin 4)

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (al-Isra’ 70)

Namun kenyataannya, sebagian mereka muncul sebagai makhluk yang bersegi negatif, bodoh, dzalim, dan kikir (QS. al-Ahzab: 72; al-Isra’: 100), atau bahkan paling hina (QS. at-Tin: 5).

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (al-Ahzab 72)

Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya”. Dan Adalah manusia itu sangat kikir. (al-Isra’ 100)

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (at-Tin 5)

Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang potensial paling unggul, termulia, namun dalam penampilannya belum tentu demikian. Oleh karenanya, ada semacam kewajiban yang inheren dalam diri manusia, yaitu mengaktualkan keunggulan kualitas tersebut, baik segi fisik, mental, intelektual, maupun spiritualnya. Aktualisasi diri inilah yang merupakan fungsi kodrati yang pertama bagi seorang muslim.

Pemenuhan fungsi kodrati pertama tersebut akan membuka manusia muslim untuk memenuhi fungsi kodrati yang lain, yaitu fungsi-fungsi: ibadah atau pengabdian, kekhalifahan, dan kerisalahan (lihat uraian di depan).

Ilmu dan teknologi berkembang didorong oleh kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk dapat mempertahankan eksistensinya yaitu berinteraksi secara harmoni dengan lingkungan alamnya. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu memperoleh kemudahan-kemudahan dalam melakukan kehidupan sehari-hari, dalam memenuhi fungsi hidupnya. Dengan ungkapan lain, makna dikembangkannya ilmu dan teknologi oleh manusia (aspek aksiologis ilmu dan teknologi) ialah sebagai alat agar manusia dapat memenuhi misi atau makna kehidupannya di dunia.

Perkembangan ilmu serta teknologi yang menyertainya, dicapai manusia melalui mata rantai yang panjang dari upaya manusia untuk dengan kemampuan interpretasi ayat kauniyah-nya yang berupa kemampuan observasi, abstraksi, pengkajian, dan eksperimentasi mereka. Perkembangan ilmu dan teknologi yang dicapai oleh umat manusia hingga saat ini telah mendorong ‘loncatan peradaban’ yang mencengangkan. Perkembangan ini sedemikian menyilaukan umat manusia sehingga menggeser persepsi mereka tentang ilmu dan teknologi, yang semula sebagai alat untuk berinteraksi dengan lingkungan alaminya, menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Ilmu dan teknologi sering dipandang sebagai yang mampu memecahkan segalanya, dan lahirlah rasionalisme. Ilmu dan teknologi seolah adalah tuhan.

Di sisi lain, disadari pula bahwa perkembangan ilmu dan teknologi tidak hanya berkembang oleh kemampuan rasional manusia saja, akan tetapi dipengaruhi pula oleh corak pemikiran filsafati (pandangan budaya, keyakinan, dan agama) para pengembangnya. Dengan demikian, perkembangan ilmu dan teknologi tidaklah netral tetapi diwarnai pula oleh presuposisi-presuposisi tertentu. Hal ini akan semakin nyata dirasakan pada spektrum ilmu-ilmu sosial. Pertanyaan yang muncul ialah: apakah presuposisi-presuposisi tersebut sejalan ataukah bertentangan dengan nilai-nilai Islam? Pertanyaan ini cukup bermakna mengingat ilmu dan teknologi yang dimiliki manusia saat ini dikembangkan dengan kurang memperhatikan nilai-nilai moralitas kemanusiaan, nilai-nilai keagamaan. Apalagi para pengembang ilmu dan teknologi kebanyakan adalah mereka yang non-muslim.

Ilmu dan teknologi, menurut pandangan Islam, mestinya dikembangkan dan diperuntukkan bagi pemenuhan fungsi-fungsi kodrati manusia di atas. Bagaimana dengan ilmu dan teknologinya, manusia mampu mengktualisasikan dirinya menjadi makhluk yang termulia, menjadi wakil Allah dalam mengelola dunia, yaitu membudayakan manusia sesuai dengan ketinggian martabatnya di hadapan Allah. Ilmu dan teknologi mestinya dimanfaatkan manusia untuk menunaikan tugas kerisalahannya dan meningkatkan pengabdiannya terhadap sesama manusia sebagai refleksi pengabdiannya kepada al-Khalik.

Bagaimana manusia dapat menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya sebagai alat untuk memenuhi fungsi-fungsi kodrati tersebut memang membutuhkan pamandu (budan), yang tidak lain adalah dienul-Islam itu sendiri. Keterpaduan antara keberilmuan dan keimanan tersebut akan meningkatkan martabat manusia, baik secara ndividual (QS. al-Mujadilah: 11) maupun secara kolektif.

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”. Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu diantara kamu beberapa derajat…..”. (al-Mujadilah 11)

Islam maju ketika akal manusia (ilmu dan teknologi) dibimbing agama, dan sebaliknya Islam mundur manakala umatnya memisahkan antara akal dari agamanya. Fenomena terakhir inilah yang merupakan permasalahan (penyakit?) klasik umat, namun yang selalu aktual untuk dicari upaya pemecahannya.

Dikotomi antara ilmu dan agama, yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yng lain, seperti dikotomi ‘ulama-intelektual’, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam, dan bahkan dikotomi (split) dalam diri manusia muslim sendiri. Muncul dugaan bahwa salah satu sebab kecenderungan dikotomi tersebut adalah kegagalan manusia (muslim) memahami secara proporsional hubungan antara ilmu dengan agama. Berikut ini diilusterasikan secara garis besar salah satu model pendekatan hubungan antara ilmu dengan agama, yang kiranya dapat membantu mendekati pemahaman yang proporsional tersebut.

Hubungan antara ilmu dan agama rupanya lebih proporsional bila ditatap bukan sebagai suatu keadaan atau status, melainkan sebagai suatu proses. Disebut suatu proses karena dalam perjalanan sejarah, istilah tersebut mengalami suatu evolusi, baik makroevolusi (perkembangan pemahaman yang terjadi karena perkembangan peradaban dan budaya antar generasi manusia) maupun mikroevolusi (perkembangan pemahaman pada tingkat individu). Evolusi tersebut ialah suatu perjalanan panjang yang tak berujung dari manusia dalam upaya menangkap dan memahami al-haq.

Oleh karena kebenaran yang hakiki milik Allah semata, maka proses evolusi tersebut adalah suatu “perjalanan nan tak kunjung akhir”. Hal ini terjadi karena yang dapat ditangkap oleh manusia hanyalah tanda-tanda (ayat) al-haq tersebut, yang berupa ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Interpretasi manusia terhadap ayat kauniyah menghasilkanilmu pengetahuan, sementara interpretasi manusia terhadap ayat qauliyah (wahyu: Qur’an dan Sunnah) menghasilkan pemahaman keagamaannya (agama yang ‘aktual’).

Dengan ungkapan lain, hubungan antara ilmu dan agama adalah hubungan yang bersifat dinamik evolutif, yakni suatu “interpretasi manusia terhadap kebenaran hakiki Allah, lewat fenomena kauliyah dan fenomena qauliyah, yang berkembang terus”. Perhatikan skema berikut.

Inti pemahaman hubungan tersebut beranjak dari perilaku tauhidi, yaitu keimanan dan ketundukan mutlak manusia pada Allah, yang antara lain tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku:

  1. Bahwa kebenaran mutlak (al-haq) hanya ada pada Allah semata, dan yang dapat dicapai manusia (dengan interpretasi kauniyah maupun qauliyah) hanyalah kebenaran yang relatif, dalam skala waktu dan tempat.
  2. Kesadaran akan keterbatasan interpretasi tersebut akan menimbulkan sikap dan perilaku manusia (ilmuwan) untuk: (1) tunduk dan patuh pada Allah semata; (2) menyadari bahwa ilmu dan kemampuan teknologi (profesi) yang dikuasainya adalah berasal dan amanah dari Allah; dan (3) motivasi penerapannya diupayakan dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
  3. Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dan agama, karena keduanya berasal dari sumber yang sama. “Pertentangan” yang dijumpai dalam praktek adalah semu, sebagai akibat kesalahan interpretasi ayat kauniyah, ayat qauliyah, atau keduanya.
  4. Kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya sumber kebenaran, dan bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi problema kehidupan manusia.

*1): interpretasinya melahirkan: fisika, kimia, astronomi, botani, zoologi, geologi, dsb.

*2): interpretasinya melahirkan: biologi manusia, ilmu kedokteran, antropologi, dsb. individual); ilmu-ilmu: hukum, ekonomi, sosiologi, politik, dsb. (komunal); dan sejarah temporal).

*3): (QS. Fushilat: 53)

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Fushilat 53)

*4): (QS. Ali Imran: 164)

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran 164)

Dengan model pendekatan di atas menjadikan seseorang muslim (ulama/cendekiawan) di samping dapat terhindar dari pemahaman yang dikotomik, juga diperolehnya keuntungan (yang berupa proporsionalitas persepsi, sikap perilaku) yang lain. Keuntungan yang dimaksud adalah:

Pertama, terhindarnya mereka dari cara berpikir rasionalistik (ekstrim kiri), spiritualistik (ekstrim kanan), maupun sekularistik (pengkotakan atau spasialisasi kehidupan).

Kedua, kemampuan mereka untuk meningkatkan pemahaman (interpretasi) ayat qauliyah mereka dengan temuan-temuan yang diperoleh dari interpretasi kauniahnya (ilmu pengetahuan), dan sebaliknya dapat digunakannya nilai-nilai yang dipahami dari wahyu untuk dijadikan dasar etik/filosofik bagi interpretasi terhadap ayat kauniyah (pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan).

Ketiga, dorongan untuk lebih mampu mengimplementasikan ilmu dan ajaran agamanya dalam kehidupan di masyarakat, dalam bentuk perpaduan yang operasional sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi umat manusia. Kontekstualitas interpretasi di sini jangan dipahami sebagai suatu interpretasi-adaptatif Islam dengan konteks ruang dan waktu (sebagaimana sering dipopularkan sementara pihak), melainkan operasionalisasi konsep Islam (qauliyah dan kauniyah) dalam konteks ruang dan waktu.

Berangkat dari pemahaman kedudukan ilmu dalam Islam sebagai tersebut di atas, di samping diperoleh keuntungan (konsekuensi subjektif) tersebut, juga menimbulkan konsekuensi objektif yang mengarah pada pengembangan paradigma keilmuan yang islami. Konsekuensi yang dimaksud adalah.

Pertama, dalam pemahaman yang konvensional, maka ilmu berawal dari suatu skeptisitas atau suatu nihilitas. Sesuatu adalah salah kecuali telah dibuktikan kebenarannya, dan sesuatu tidak ada kecuali telah dibuktikan keberadaannya. Paradigma keilmuan yang islami tidaklah demikian. Menurut Islam ilmu (dan metodologi keilmuan) bukan berangkat dari skeptisitas atau ketiadaan, tetapi berangkat dari tauhid, dari suatu keyakinan bahwa segala fenomena keilmuan yang ada merupakan manifestasi kebenaran haq Allah (QS. Fushilat: 53).

Kedua, ilmu pengetahuan (dan teknologi yang dilahirkannya) bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Pemahaman bebas nilai ini menyangkut baik aspek ontologis maupun aksiologis. Dari pemikiran inilah terlihat perlu suatu etika (akhlaq) pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi yang islami.

  1. Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling baik strukturnya, paling mulia, melebihi dan mengatasi makhluk yang lain (QS. at-Tin: 4; al-Isra’: 70).

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin 4)

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (al-Isra’ 70)

Namun kenyataannya, sebagian mereka muncul sebagai makhluk yang bersegi negatif, bodoh, dzalim, dan kikir (QS. al-Ahzab: 72; al-Isra’: 100), atau bahkan paling hina (QS. at-Tin: 5).

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (al-Ahzab 72)

Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya”. Dan Adalah manusia itu sangat kikir. (al-Isra’ 100)

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (at-Tin 5)

Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang potensial paling unggul, termulia, namun dalam penampilannya belum tentu demikian. Oleh karenanya, ada semacam kewajiban yang inheren dalam diri manusia, yaitu mengaktualkan keunggulan kualitas tersebut, baik segi fisik, mental, intelektual, maupun spiritualnya. Aktualisasi diri inilah yang merupakan fungsi kodrati yang pertama bagi seorang muslim.

Pemenuhan fungsi kodrati pertama tersebut akan membuka manusia muslim untuk memenuhi fungsi kodrati yang lain, yaitu fungsi-fungsi: ibadah atau pengabdian, kekhalifahan, dan kerisalahan (lihat uraian di depan).

Ilmu dan teknologi berkembang didorong oleh kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk dapat mempertahankan eksistensinya yaitu berinteraksi secara harmoni dengan lingkungan alamnya. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu memperoleh kemudahan-kemudahan dalam melakukan kehidupan sehari-hari, dalam memenuhi fungsi hidupnya. Dengan ungkapan lain, makna dikembangkannya ilmu dan teknologi oleh manusia (aspek aksiologis ilmu dan teknologi) ialah sebagai alat agar manusia dapat memenuhi misi atau makna kehidupannya di dunia.

Perkembangan ilmu serta teknologi yang menyertainya, dicapai manusia melalui mata rantai yang panjang dari upaya manusia untuk dengan kemampuan interpretasi ayat kauniyah-nya yang berupa kemampuan observasi, abstraksi, pengkajian, dan eksperimentasi mereka. Perkembangan ilmu dan teknologi yang dicapai oleh umat manusia hingga saat ini telah mendorong ‘loncatan peradaban’ yang mencengangkan. Perkembangan ini sedemikian menyilaukan umat manusia sehingga menggeser persepsi mereka tentang ilmu dan teknologi, yang semula sebagai alat untuk berinteraksi dengan lingkungan alaminya, menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Ilmu dan teknologi sering dipandang sebagai yang mampu memecahkan segalanya, dan lahirlah rasionalisme. Ilmu dan teknologi seolah adalah tuhan.

Di sisi lain, disadari pula bahwa perkembangan ilmu dan teknologi tidak hanya berkembang oleh kemampuan rasional manusia saja, akan tetapi dipengaruhi pula oleh corak pemikiran filsafati (pandangan budaya, keyakinan, dan agama) para pengembangnya. Dengan demikian, perkembangan ilmu dan teknologi tidaklah netral tetapi diwarnai pula oleh presuposisi-presuposisi tertentu. Hal ini akan semakin nyata dirasakan pada spektrum ilmu-ilmu sosial. Pertanyaan yang muncul ialah: apakah presuposisi-presuposisi tersebut sejalan ataukah bertentangan dengan nilai-nilai Islam? Pertanyaan ini cukup bermakna mengingat ilmu dan teknologi yang dimiliki manusia saat ini dikembangkan dengan kurang memperhatikan nilai-nilai moralitas kemanusiaan, nilai-nilai keagamaan. Apalagi para pengembang ilmu dan teknologi kebanyakan adalah mereka yang non-muslim.

Ilmu dan teknologi, menurut pandangan Islam, mestinya dikembangkan dan diperuntukkan bagi pemenuhan fungsi-fungsi kodrati manusia di atas. Bagaimana dengan ilmu dan teknologinya, manusia mampu mengktualisasikan dirinya menjadi makhluk yang termulia, menjadi wakil Allah dalam mengelola dunia, yaitu membudayakan manusia sesuai dengan ketinggian martabatnya di hadapan Allah. Ilmu dan teknologi mestinya dimanfaatkan manusia untuk menunaikan tugas kerisalahannya dan meningkatkan pengabdiannya terhadap sesama manusia sebagai refleksi pengabdiannya kepada al-Khalik.

Bagaimana manusia dapat menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya sebagai alat untuk memenuhi fungsi-fungsi kodrati tersebut memang membutuhkan pamandu (budan), yang tidak lain adalah dienul-Islam itu sendiri. Keterpaduan antara keberilmuan dan keimanan tersebut akan meningkatkan martabat manusia, baik secara ndividual (QS. al-Mujadilah: 11) maupun secara kolektif.

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”. Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu diantara kamu beberapa derajat…..”. (al-Mujadilah 11)

Islam maju ketika akal manusia (ilmu dan teknologi) dibimbing agama, dan sebaliknya Islam mundur manakala umatnya memisahkan antara akal dari agamanya. Fenomena terakhir inilah yang merupakan permasalahan (penyakit?) klasik umat, namun yang selalu aktual untuk dicari upaya pemecahannya.

Dikotomi antara ilmu dan agama, yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yng lain, seperti dikotomi ‘ulama-intelektual’, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam, dan bahkan dikotomi (split) dalam diri manusia muslim sendiri. Muncul dugaan bahwa salah satu sebab kecenderungan dikotomi tersebut adalah kegagalan manusia (muslim) memahami secara proporsional hubungan antara ilmu dengan agama. Berikut ini diilusterasikan secara garis besar salah satu model pendekatan hubungan antara ilmu dengan agama, yang kiranya dapat membantu mendekati pemahaman yang proporsional tersebut.

Hubungan antara ilmu dan agama rupanya lebih proporsional bila ditatap bukan sebagai suatu keadaan atau status, melainkan sebagai suatu proses. Disebut suatu proses karena dalam perjalanan sejarah, istilah tersebut mengalami suatu evolusi, baik makroevolusi (perkembangan pemahaman yang terjadi karena perkembangan peradaban dan budaya antar generasi manusia) maupun mikroevolusi (perkembangan pemahaman pada tingkat individu). Evolusi tersebut ialah suatu perjalanan panjang yang tak berujung dari manusia dalam upaya menangkap dan memahami al-haq.

Oleh karena kebenaran yang hakiki milik Allah semata, maka proses evolusi tersebut adalah suatu “perjalanan nan tak kunjung akhir”. Hal ini terjadi karena yang dapat ditangkap oleh manusia hanyalah tanda-tanda (ayat) al-haq tersebut, yang berupa ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Interpretasi manusia terhadap ayat kauniyah menghasilkanilmu pengetahuan, sementara interpretasi manusia terhadap ayat qauliyah (wahyu: Qur’an dan Sunnah) menghasilkan pemahaman keagamaannya (agama yang ‘aktual’).

Dengan ungkapan lain, hubungan antara ilmu dan agama adalah hubungan yang bersifat dinamik evolutif, yakni suatu “interpretasi manusia terhadap kebenaran hakiki Allah, lewat fenomena kauliyah dan fenomena qauliyah, yang berkembang terus”. Perhatikan skema berikut.

Inti pemahaman hubungan tersebut beranjak dari perilaku tauhidi, yaitu keimanan dan ketundukan mutlak manusia pada Allah, yang antara lain tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku:

  1. Bahwa kebenaran mutlak (al-haq) hanya ada pada Allah semata, dan yang dapat dicapai manusia (dengan interpretasi kauniyah maupun qauliyah) hanyalah kebenaran yang relatif, dalam skala waktu dan tempat.
  2. Kesadaran akan keterbatasan interpretasi tersebut akan menimbulkan sikap dan perilaku manusia (ilmuwan) untuk: (1) tunduk dan patuh pada Allah semata; (2) menyadari bahwa ilmu dan kemampuan teknologi (profesi) yang dikuasainya adalah berasal dan amanah dari Allah; dan (3) motivasi penerapannya diupayakan dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
  3. Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dan agama, karena keduanya berasal dari sumber yang sama. “Pertentangan” yang dijumpai dalam praktek adalah semu, sebagai akibat kesalahan interpretasi ayat kauniyah, ayat qauliyah, atau keduanya.
  4. Kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya sumber kebenaran, dan bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi problema kehidupan manusia.

*1): interpretasinya melahirkan: fisika, kimia, astronomi, botani, zoologi, geologi, dsb.

*2): interpretasinya melahirkan: biologi manusia, ilmu kedokteran, antropologi, dsb. individual); ilmu-ilmu: hukum, ekonomi, sosiologi, politik, dsb. (komunal); dan sejarah temporal).

*3): (QS. Fushilat: 53)

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Fushilat 53)

*4): (QS. Ali Imran: 164)

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran 164)

Dengan model pendekatan di atas menjadikan seseorang muslim (ulama/cendekiawan) di samping dapat terhindar dari pemahaman yang dikotomik, juga diperolehnya keuntungan (yang berupa proporsionalitas persepsi, sikap perilaku) yang lain. Keuntungan yang dimaksud adalah:

Pertama, terhindarnya mereka dari cara berpikir rasionalistik (ekstrim kiri), spiritualistik (ekstrim kanan), maupun sekularistik (pengkotakan atau spasialisasi kehidupan).

Kedua, kemampuan mereka untuk meningkatkan pemahaman (interpretasi) ayat qauliyah mereka dengan temuan-temuan yang diperoleh dari interpretasi kauniahnya (ilmu pengetahuan), dan sebaliknya dapat digunakannya nilai-nilai yang dipahami dari wahyu untuk dijadikan dasar etik/filosofik bagi interpretasi terhadap ayat kauniyah (pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan).

Ketiga, dorongan untuk lebih mampu mengimplementasikan ilmu dan ajaran agamanya dalam kehidupan di masyarakat, dalam bentuk perpaduan yang operasional sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi umat manusia. Kontekstualitas interpretasi di sini jangan dipahami sebagai suatu interpretasi-adaptatif Islam dengan konteks ruang dan waktu (sebagaimana sering dipopularkan sementara pihak), melainkan operasionalisasi konsep Islam (qauliyah dan kauniyah) dalam konteks ruang dan waktu.

Berangkat dari pemahaman kedudukan ilmu dalam Islam sebagai tersebut di atas, di samping diperoleh keuntungan (konsekuensi subjektif) tersebut, juga menimbulkan konsekuensi objektif yang mengarah pada pengembangan paradigma keilmuan yang islami. Konsekuensi yang dimaksud adalah.

Pertama, dalam pemahaman yang konvensional, maka ilmu berawal dari suatu skeptisitas atau suatu nihilitas. Sesuatu adalah salah kecuali telah dibuktikan kebenarannya, dan sesuatu tidak ada kecuali telah dibuktikan keberadaannya. Paradigma keilmuan yang islami tidaklah demikian. Menurut Islam ilmu (dan metodologi keilmuan) bukan berangkat dari skeptisitas atau ketiadaan, tetapi berangkat dari tauhid, dari suatu keyakinan bahwa segala fenomena keilmuan yang ada merupakan manifestasi kebenaran haq Allah (QS. Fushilat: 53).

Kedua, ilmu pengetahuan (dan teknologi yang dilahirkannya) bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Pemahaman bebas nilai ini menyangkut baik aspek ontologis maupun aksiologis. Dari pemikiran inilah terlihat perlu suatu etika (akhlaq) pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi yang islami.

  1. Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling baik strukturnya, paling mulia, melebihi dan mengatasi makhluk yang lain (QS. at-Tin: 4; al-Isra’: 70).

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin 4)

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (al-Isra’ 70)

Namun kenyataannya, sebagian mereka muncul sebagai makhluk yang bersegi negatif, bodoh, dzalim, dan kikir (QS. al-Ahzab: 72; al-Isra’: 100), atau bahkan paling hina (QS. at-Tin: 5).

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (al-Ahzab 72)

Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya”. Dan Adalah manusia itu sangat kikir. (al-Isra’ 100)

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (at-Tin 5)

Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang potensial paling unggul, termulia, namun dalam penampilannya belum tentu demikian. Oleh karenanya, ada semacam kewajiban yang inheren dalam diri manusia, yaitu mengaktualkan keunggulan kualitas tersebut, baik segi fisik, mental, intelektual, maupun spiritualnya. Aktualisasi diri inilah yang merupakan fungsi kodrati yang pertama bagi seorang muslim.

Pemenuhan fungsi kodrati pertama tersebut akan membuka manusia muslim untuk memenuhi fungsi kodrati yang lain, yaitu fungsi-fungsi: ibadah atau pengabdian, kekhalifahan, dan kerisalahan (lihat uraian di depan).

Ilmu dan teknologi berkembang didorong oleh kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk dapat mempertahankan eksistensinya yaitu berinteraksi secara harmoni dengan lingkungan alamnya. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu memperoleh kemudahan-kemudahan dalam melakukan kehidupan sehari-hari, dalam memenuhi fungsi hidupnya. Dengan ungkapan lain, makna dikembangkannya ilmu dan teknologi oleh manusia (aspek aksiologis ilmu dan teknologi) ialah sebagai alat agar manusia dapat memenuhi misi atau makna kehidupannya di dunia.

Perkembangan ilmu serta teknologi yang menyertainya, dicapai manusia melalui mata rantai yang panjang dari upaya manusia untuk dengan kemampuan interpretasi ayat kauniyah-nya yang berupa kemampuan observasi, abstraksi, pengkajian, dan eksperimentasi mereka. Perkembangan ilmu dan teknologi yang dicapai oleh umat manusia hingga saat ini telah mendorong ‘loncatan peradaban’ yang mencengangkan. Perkembangan ini sedemikian menyilaukan umat manusia sehingga menggeser persepsi mereka tentang ilmu dan teknologi, yang semula sebagai alat untuk berinteraksi dengan lingkungan alaminya, menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Ilmu dan teknologi sering dipandang sebagai yang mampu memecahkan segalanya, dan lahirlah rasionalisme. Ilmu dan teknologi seolah adalah tuhan.

Di sisi lain, disadari pula bahwa perkembangan ilmu dan teknologi tidak hanya berkembang oleh kemampuan rasional manusia saja, akan tetapi dipengaruhi pula oleh corak pemikiran filsafati (pandangan budaya, keyakinan, dan agama) para pengembangnya. Dengan demikian, perkembangan ilmu dan teknologi tidaklah netral tetapi diwarnai pula oleh presuposisi-presuposisi tertentu. Hal ini akan semakin nyata dirasakan pada spektrum ilmu-ilmu sosial. Pertanyaan yang muncul ialah: apakah presuposisi-presuposisi tersebut sejalan ataukah bertentangan dengan nilai-nilai Islam? Pertanyaan ini cukup bermakna mengingat ilmu dan teknologi yang dimiliki manusia saat ini dikembangkan dengan kurang memperhatikan nilai-nilai moralitas kemanusiaan, nilai-nilai keagamaan. Apalagi para pengembang ilmu dan teknologi kebanyakan adalah mereka yang non-muslim.

Ilmu dan teknologi, menurut pandangan Islam, mestinya dikembangkan dan diperuntukkan bagi pemenuhan fungsi-fungsi kodrati manusia di atas. Bagaimana dengan ilmu dan teknologinya, manusia mampu mengktualisasikan dirinya menjadi makhluk yang termulia, menjadi wakil Allah dalam mengelola dunia, yaitu membudayakan manusia sesuai dengan ketinggian martabatnya di hadapan Allah. Ilmu dan teknologi mestinya dimanfaatkan manusia untuk menunaikan tugas kerisalahannya dan meningkatkan pengabdiannya terhadap sesama manusia sebagai refleksi pengabdiannya kepada al-Khalik.

Bagaimana manusia dapat menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya sebagai alat untuk memenuhi fungsi-fungsi kodrati tersebut memang membutuhkan pamandu (budan), yang tidak lain adalah dienul-Islam itu sendiri. Keterpaduan antara keberilmuan dan keimanan tersebut akan meningkatkan martabat manusia, baik secara ndividual (QS. al-Mujadilah: 11) maupun secara kolektif.

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”. Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu diantara kamu beberapa derajat…..”. (al-Mujadilah 11)

Islam maju ketika akal manusia (ilmu dan teknologi) dibimbing agama, dan sebaliknya Islam mundur manakala umatnya memisahkan antara akal dari agamanya. Fenomena terakhir inilah yang merupakan permasalahan (penyakit?) klasik umat, namun yang selalu aktual untuk dicari upaya pemecahannya.

Dikotomi antara ilmu dan agama, yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yng lain, seperti dikotomi ‘ulama-intelektual’, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam, dan bahkan dikotomi (split) dalam diri manusia muslim sendiri. Muncul dugaan bahwa salah satu sebab kecenderungan dikotomi tersebut adalah kegagalan manusia (muslim) memahami secara proporsional hubungan antara ilmu dengan agama. Berikut ini diilusterasikan secara garis besar salah satu model pendekatan hubungan antara ilmu dengan agama, yang kiranya dapat membantu mendekati pemahaman yang proporsional tersebut.

Hubungan antara ilmu dan agama rupanya lebih proporsional bila ditatap bukan sebagai suatu keadaan atau status, melainkan sebagai suatu proses. Disebut suatu proses karena dalam perjalanan sejarah, istilah tersebut mengalami suatu evolusi, baik makroevolusi (perkembangan pemahaman yang terjadi karena perkembangan peradaban dan budaya antar generasi manusia) maupun mikroevolusi (perkembangan pemahaman pada tingkat individu). Evolusi tersebut ialah suatu perjalanan panjang yang tak berujung dari manusia dalam upaya menangkap dan memahami al-haq.

Oleh karena kebenaran yang hakiki milik Allah semata, maka proses evolusi tersebut adalah suatu “perjalanan nan tak kunjung akhir”. Hal ini terjadi karena yang dapat ditangkap oleh manusia hanyalah tanda-tanda (ayat) al-haq tersebut, yang berupa ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Interpretasi manusia terhadap ayat kauniyah menghasilkanilmu pengetahuan, sementara interpretasi manusia terhadap ayat qauliyah (wahyu: Qur’an dan Sunnah) menghasilkan pemahaman keagamaannya (agama yang ‘aktual’).

Dengan ungkapan lain, hubungan antara ilmu dan agama adalah hubungan yang bersifat dinamik evolutif, yakni suatu “interpretasi manusia terhadap kebenaran hakiki Allah, lewat fenomena kauliyah dan fenomena qauliyah, yang berkembang terus”. Perhatikan skema berikut.

Inti pemahaman hubungan tersebut beranjak dari perilaku tauhidi, yaitu keimanan dan ketundukan mutlak manusia pada Allah, yang antara lain tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku:

  1. Bahwa kebenaran mutlak (al-haq) hanya ada pada Allah semata, dan yang dapat dicapai manusia (dengan interpretasi kauniyah maupun qauliyah) hanyalah kebenaran yang relatif, dalam skala waktu dan tempat.
  2. Kesadaran akan keterbatasan interpretasi tersebut akan menimbulkan sikap dan perilaku manusia (ilmuwan) untuk: (1) tunduk dan patuh pada Allah semata; (2) menyadari bahwa ilmu dan kemampuan teknologi (profesi) yang dikuasainya adalah berasal dan amanah dari Allah; dan (3) motivasi penerapannya diupayakan dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
  3. Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dan agama, karena keduanya berasal dari sumber yang sama. “Pertentangan” yang dijumpai dalam praktek adalah semu, sebagai akibat kesalahan interpretasi ayat kauniyah, ayat qauliyah, atau keduanya.
  4. Kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya sumber kebenaran, dan bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi problema kehidupan manusia.

*1): interpretasinya melahirkan: fisika, kimia, astronomi, botani, zoologi, geologi, dsb.

*2): interpretasinya melahirkan: biologi manusia, ilmu kedokteran, antropologi, dsb. individual); ilmu-ilmu: hukum, ekonomi, sosiologi, politik, dsb. (komunal); dan sejarah temporal).

*3): (QS. Fushilat: 53)

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Fushilat 53)

*4): (QS. Ali Imran: 164)

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran 164)

Dengan model pendekatan di atas menjadikan seseorang muslim (ulama/cendekiawan) di samping dapat terhindar dari pemahaman yang dikotomik, juga diperolehnya keuntungan (yang berupa proporsionalitas persepsi, sikap perilaku) yang lain. Keuntungan yang dimaksud adalah:

Pertama, terhindarnya mereka dari cara berpikir rasionalistik (ekstrim kiri), spiritualistik (ekstrim kanan), maupun sekularistik (pengkotakan atau spasialisasi kehidupan).

Kedua, kemampuan mereka untuk meningkatkan pemahaman (interpretasi) ayat qauliyah mereka dengan temuan-temuan yang diperoleh dari interpretasi kauniahnya (ilmu pengetahuan), dan sebaliknya dapat digunakannya nilai-nilai yang dipahami dari wahyu untuk dijadikan dasar etik/filosofik bagi interpretasi terhadap ayat kauniyah (pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan).

Ketiga, dorongan untuk lebih mampu mengimplementasikan ilmu dan ajaran agamanya dalam kehidupan di masyarakat, dalam bentuk perpaduan yang operasional sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi umat manusia. Kontekstualitas interpretasi di sini jangan dipahami sebagai suatu interpretasi-adaptatif Islam dengan konteks ruang dan waktu (sebagaimana sering dipopularkan sementara pihak), melainkan operasionalisasi konsep Islam (qauliyah dan kauniyah) dalam konteks ruang dan waktu.

Berangkat dari pemahaman kedudukan ilmu dalam Islam sebagai tersebut di atas, di samping diperoleh keuntungan (konsekuensi subjektif) tersebut, juga menimbulkan konsekuensi objektif yang mengarah pada pengembangan paradigma keilmuan yang islami. Konsekuensi yang dimaksud adalah.

Pertama, dalam pemahaman yang konvensional, maka ilmu berawal dari suatu skeptisitas atau suatu nihilitas. Sesuatu adalah salah kecuali telah dibuktikan kebenarannya, dan sesuatu tidak ada kecuali telah dibuktikan keberadaannya. Paradigma keilmuan yang islami tidaklah demikian. Menurut Islam ilmu (dan metodologi keilmuan) bukan berangkat dari skeptisitas atau ketiadaan, tetapi berangkat dari tauhid, dari suatu keyakinan bahwa segala fenomena keilmuan yang ada merupakan manifestasi kebenaran haq Allah (QS. Fushilat: 53).

Kedua, ilmu pengetahuan (dan teknologi yang dilahirkannya) bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Pemahaman bebas nilai ini menyangkut baik aspek ontologis maupun aksiologis. Dari pemikiran inilah terlihat perlu suatu etika (akhlaq) pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi yang islami.

  1. Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling baik strukturnya, paling mulia, melebihi dan mengatasi makhluk yang lain (QS. at-Tin: 4; al-Isra’: 70).

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin 4)

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (al-Isra’ 70)

Namun kenyataannya, sebagian mereka muncul sebagai makhluk yang bersegi negatif, bodoh, dzalim, dan kikir (QS. al-Ahzab: 72; al-Isra’: 100), atau bahkan paling hina (QS. at-Tin: 5).

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (al-Ahzab 72)

Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya”. Dan Adalah manusia itu sangat kikir. (al-Isra’ 100)

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (at-Tin 5)

Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang potensial paling unggul, termulia, namun dalam penampilannya belum tentu demikian. Oleh karenanya, ada semacam kewajiban yang inheren dalam diri manusia, yaitu mengaktualkan keunggulan kualitas tersebut, baik segi fisik, mental, intelektual, maupun spiritualnya. Aktualisasi diri inilah yang merupakan fungsi kodrati yang pertama bagi seorang muslim.

Pemenuhan fungsi kodrati pertama tersebut akan membuka manusia muslim untuk memenuhi fungsi kodrati yang lain, yaitu fungsi-fungsi: ibadah atau pengabdian, kekhalifahan, dan kerisalahan (lihat uraian di depan).

Ilmu dan teknologi berkembang didorong oleh kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk dapat mempertahankan eksistensinya yaitu berinteraksi secara harmoni dengan lingkungan alamnya. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu memperoleh kemudahan-kemudahan dalam melakukan kehidupan sehari-hari, dalam memenuhi fungsi hidupnya. Dengan ungkapan lain, makna dikembangkannya ilmu dan teknologi oleh manusia (aspek aksiologis ilmu dan teknologi) ialah sebagai alat agar manusia dapat memenuhi misi atau makna kehidupannya di dunia.

Perkembangan ilmu serta teknologi yang menyertainya, dicapai manusia melalui mata rantai yang panjang dari upaya manusia untuk dengan kemampuan interpretasi ayat kauniyah-nya yang berupa kemampuan observasi, abstraksi, pengkajian, dan eksperimentasi mereka. Perkembangan ilmu dan teknologi yang dicapai oleh umat manusia hingga saat ini telah mendorong ‘loncatan peradaban’ yang mencengangkan. Perkembangan ini sedemikian menyilaukan umat manusia sehingga menggeser persepsi mereka tentang ilmu dan teknologi, yang semula sebagai alat untuk berinteraksi dengan lingkungan alaminya, menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Ilmu dan teknologi sering dipandang sebagai yang mampu memecahkan segalanya, dan lahirlah rasionalisme. Ilmu dan teknologi seolah adalah tuhan.

Di sisi lain, disadari pula bahwa perkembangan ilmu dan teknologi tidak hanya berkembang oleh kemampuan rasional manusia saja, akan tetapi dipengaruhi pula oleh corak pemikiran filsafati (pandangan budaya, keyakinan, dan agama) para pengembangnya. Dengan demikian, perkembangan ilmu dan teknologi tidaklah netral tetapi diwarnai pula oleh presuposisi-presuposisi tertentu. Hal ini akan semakin nyata dirasakan pada spektrum ilmu-ilmu sosial. Pertanyaan yang muncul ialah: apakah presuposisi-presuposisi tersebut sejalan ataukah bertentangan dengan nilai-nilai Islam? Pertanyaan ini cukup bermakna mengingat ilmu dan teknologi yang dimiliki manusia saat ini dikembangkan dengan kurang memperhatikan nilai-nilai moralitas kemanusiaan, nilai-nilai keagamaan. Apalagi para pengembang ilmu dan teknologi kebanyakan adalah mereka yang non-muslim.

Ilmu dan teknologi, menurut pandangan Islam, mestinya dikembangkan dan diperuntukkan bagi pemenuhan fungsi-fungsi kodrati manusia di atas. Bagaimana dengan ilmu dan teknologinya, manusia mampu mengktualisasikan dirinya menjadi makhluk yang termulia, menjadi wakil Allah dalam mengelola dunia, yaitu membudayakan manusia sesuai dengan ketinggian martabatnya di hadapan Allah. Ilmu dan teknologi mestinya dimanfaatkan manusia untuk menunaikan tugas kerisalahannya dan meningkatkan pengabdiannya terhadap sesama manusia sebagai refleksi pengabdiannya kepada al-Khalik.

Bagaimana manusia dapat menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya sebagai alat untuk memenuhi fungsi-fungsi kodrati tersebut memang membutuhkan pamandu (budan), yang tidak lain adalah dienul-Islam itu sendiri. Keterpaduan antara keberilmuan dan keimanan tersebut akan meningkatkan martabat manusia, baik secara ndividual (QS. al-Mujadilah: 11) maupun secara kolektif.

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”. Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu diantara kamu beberapa derajat…..”. (al-Mujadilah 11)

Islam maju ketika akal manusia (ilmu dan teknologi) dibimbing agama, dan sebaliknya Islam mundur manakala umatnya memisahkan antara akal dari agamanya. Fenomena terakhir inilah yang merupakan permasalahan (penyakit?) klasik umat, namun yang selalu aktual untuk dicari upaya pemecahannya.

Dikotomi antara ilmu dan agama, yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yng lain, seperti dikotomi ‘ulama-intelektual’, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam, dan bahkan dikotomi (split) dalam diri manusia muslim sendiri. Muncul dugaan bahwa salah satu sebab kecenderungan dikotomi tersebut adalah kegagalan manusia (muslim) memahami secara proporsional hubungan antara ilmu dengan agama. Berikut ini diilusterasikan secara garis besar salah satu model pendekatan hubungan antara ilmu dengan agama, yang kiranya dapat membantu mendekati pemahaman yang proporsional tersebut.

Hubungan antara ilmu dan agama rupanya lebih proporsional bila ditatap bukan sebagai suatu keadaan atau status, melainkan sebagai suatu proses. Disebut suatu proses karena dalam perjalanan sejarah, istilah tersebut mengalami suatu evolusi, baik makroevolusi (perkembangan pemahaman yang terjadi karena perkembangan peradaban dan budaya antar generasi manusia) maupun mikroevolusi (perkembangan pemahaman pada tingkat individu). Evolusi tersebut ialah suatu perjalanan panjang yang tak berujung dari manusia dalam upaya menangkap dan memahami al-haq.

Oleh karena kebenaran yang hakiki milik Allah semata, maka proses evolusi tersebut adalah suatu “perjalanan nan tak kunjung akhir”. Hal ini terjadi karena yang dapat ditangkap oleh manusia hanyalah tanda-tanda (ayat) al-haq tersebut, yang berupa ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Interpretasi manusia terhadap ayat kauniyah menghasilkanilmu pengetahuan, sementara interpretasi manusia terhadap ayat qauliyah (wahyu: Qur’an dan Sunnah) menghasilkan pemahaman keagamaannya (agama yang ‘aktual’).

Dengan ungkapan lain, hubungan antara ilmu dan agama adalah hubungan yang bersifat dinamik evolutif, yakni suatu “interpretasi manusia terhadap kebenaran hakiki Allah, lewat fenomena kauliyah dan fenomena qauliyah, yang berkembang terus”. Perhatikan skema berikut.

Inti pemahaman hubungan tersebut beranjak dari perilaku tauhidi, yaitu keimanan dan ketundukan mutlak manusia pada Allah, yang antara lain tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku:

  1. Bahwa kebenaran mutlak (al-haq) hanya ada pada Allah semata, dan yang dapat dicapai manusia (dengan interpretasi kauniyah maupun qauliyah) hanyalah kebenaran yang relatif, dalam skala waktu dan tempat.
  2. Kesadaran akan keterbatasan interpretasi tersebut akan menimbulkan sikap dan perilaku manusia (ilmuwan) untuk: (1) tunduk dan patuh pada Allah semata; (2) menyadari bahwa ilmu dan kemampuan teknologi (profesi) yang dikuasainya adalah berasal dan amanah dari Allah; dan (3) motivasi penerapannya diupayakan dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
  3. Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dan agama, karena keduanya berasal dari sumber yang sama. “Pertentangan” yang dijumpai dalam praktek adalah semu, sebagai akibat kesalahan interpretasi ayat kauniyah, ayat qauliyah, atau keduanya.
  4. Kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya sumber kebenaran, dan bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi problema kehidupan manusia.

*1): interpretasinya melahirkan: fisika, kimia, astronomi, botani, zoologi, geologi, dsb.

*2): interpretasinya melahirkan: biologi manusia, ilmu kedokteran, antropologi, dsb. individual); ilmu-ilmu: hukum, ekonomi, sosiologi, politik, dsb. (komunal); dan sejarah temporal).

*3): (QS. Fushilat: 53)

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Fushilat 53)

*4): (QS. Ali Imran: 164)

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran 164)

Dengan model pendekatan di atas menjadikan seseorang muslim (ulama/cendekiawan) di samping dapat terhindar dari pemahaman yang dikotomik, juga diperolehnya keuntungan (yang berupa proporsionalitas persepsi, sikap perilaku) yang lain. Keuntungan yang dimaksud adalah:

Pertama, terhindarnya mereka dari cara berpikir rasionalistik (ekstrim kiri), spiritualistik (ekstrim kanan), maupun sekularistik (pengkotakan atau spasialisasi kehidupan).

Kedua, kemampuan mereka untuk meningkatkan pemahaman (interpretasi) ayat qauliyah mereka dengan temuan-temuan yang diperoleh dari interpretasi kauniahnya (ilmu pengetahuan), dan sebaliknya dapat digunakannya nilai-nilai yang dipahami dari wahyu untuk dijadikan dasar etik/filosofik bagi interpretasi terhadap ayat kauniyah (pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan).

Ketiga, dorongan untuk lebih mampu mengimplementasikan ilmu dan ajaran agamanya dalam kehidupan di masyarakat, dalam bentuk perpaduan yang operasional sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi umat manusia. Kontekstualitas interpretasi di sini jangan dipahami sebagai suatu interpretasi-adaptatif Islam dengan konteks ruang dan waktu (sebagaimana sering dipopularkan sementara pihak), melainkan operasionalisasi konsep Islam (qauliyah dan kauniyah) dalam konteks ruang dan waktu.

Berangkat dari pemahaman kedudukan ilmu dalam Islam sebagai tersebut di atas, di samping diperoleh keuntungan (konsekuensi subjektif) tersebut, juga menimbulkan konsekuensi objektif yang mengarah pada pengembangan paradigma keilmuan yang islami. Konsekuensi yang dimaksud adalah.

Pertama, dalam pemahaman yang konvensional, maka ilmu berawal dari suatu skeptisitas atau suatu nihilitas. Sesuatu adalah salah kecuali telah dibuktikan kebenarannya, dan sesuatu tidak ada kecuali telah dibuktikan keberadaannya. Paradigma keilmuan yang islami tidaklah demikian. Menurut Islam ilmu (dan metodologi keilmuan) bukan berangkat dari skeptisitas atau ketiadaan, tetapi berangkat dari tauhid, dari suatu keyakinan bahwa segala fenomena keilmuan yang ada merupakan manifestasi kebenaran haq Allah (QS. Fushilat: 53).

Kedua, ilmu pengetahuan (dan teknologi yang dilahirkannya) bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Pemahaman bebas nilai ini menyangkut baik aspek ontologis maupun aksiologis. Dari pemikiran inilah terlihat perlu suatu etika (akhlaq) pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi yang islami.

  1. Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling baik strukturnya, paling mulia, melebihi dan mengatasi makhluk yang lain (QS. at-Tin: 4; al-Isra’: 70).

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin 4)

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (al-Isra’ 70)

Namun kenyataannya, sebagian mereka muncul sebagai makhluk yang bersegi negatif, bodoh, dzalim, dan kikir (QS. al-Ahzab: 72; al-Isra’: 100), atau bahkan paling hina (QS. at-Tin: 5).

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (al-Ahzab 72)

Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya”. Dan Adalah manusia itu sangat kikir. (al-Isra’ 100)

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (at-Tin 5)

Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang potensial paling unggul, termulia, namun dalam penampilannya belum tentu demikian. Oleh karenanya, ada semacam kewajiban yang inheren dalam diri manusia, yaitu mengaktualkan keunggulan kualitas tersebut, baik segi fisik, mental, intelektual, maupun spiritualnya. Aktualisasi diri inilah yang merupakan fungsi kodrati yang pertama bagi seorang muslim.

Pemenuhan fungsi kodrati pertama tersebut akan membuka manusia muslim untuk memenuhi fungsi kodrati yang lain, yaitu fungsi-fungsi: ibadah atau pengabdian, kekhalifahan, dan kerisalahan (lihat uraian di depan).

Ilmu dan teknologi berkembang didorong oleh kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk dapat mempertahankan eksistensinya yaitu berinteraksi secara harmoni dengan lingkungan alamnya. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu memperoleh kemudahan-kemudahan dalam melakukan kehidupan sehari-hari, dalam memenuhi fungsi hidupnya. Dengan ungkapan lain, makna dikembangkannya ilmu dan teknologi oleh manusia (aspek aksiologis ilmu dan teknologi) ialah sebagai alat agar manusia dapat memenuhi misi atau makna kehidupannya di dunia.

Perkembangan ilmu serta teknologi yang menyertainya, dicapai manusia melalui mata rantai yang panjang dari upaya manusia untuk dengan kemampuan interpretasi ayat kauniyah-nya yang berupa kemampuan observasi, abstraksi, pengkajian, dan eksperimentasi mereka. Perkembangan ilmu dan teknologi yang dicapai oleh umat manusia hingga saat ini telah mendorong ‘loncatan peradaban’ yang mencengangkan. Perkembangan ini sedemikian menyilaukan umat manusia sehingga menggeser persepsi mereka tentang ilmu dan teknologi, yang semula sebagai alat untuk berinteraksi dengan lingkungan alaminya, menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Ilmu dan teknologi sering dipandang sebagai yang mampu memecahkan segalanya, dan lahirlah rasionalisme. Ilmu dan teknologi seolah adalah tuhan.

Di sisi lain, disadari pula bahwa perkembangan ilmu dan teknologi tidak hanya berkembang oleh kemampuan rasional manusia saja, akan tetapi dipengaruhi pula oleh corak pemikiran filsafati (pandangan budaya, keyakinan, dan agama) para pengembangnya. Dengan demikian, perkembangan ilmu dan teknologi tidaklah netral tetapi diwarnai pula oleh presuposisi-presuposisi tertentu. Hal ini akan semakin nyata dirasakan pada spektrum ilmu-ilmu sosial. Pertanyaan yang muncul ialah: apakah presuposisi-presuposisi tersebut sejalan ataukah bertentangan dengan nilai-nilai Islam? Pertanyaan ini cukup bermakna mengingat ilmu dan teknologi yang dimiliki manusia saat ini dikembangkan dengan kurang memperhatikan nilai-nilai moralitas kemanusiaan, nilai-nilai keagamaan. Apalagi para pengembang ilmu dan teknologi kebanyakan adalah mereka yang non-muslim.

Ilmu dan teknologi, menurut pandangan Islam, mestinya dikembangkan dan diperuntukkan bagi pemenuhan fungsi-fungsi kodrati manusia di atas. Bagaimana dengan ilmu dan teknologinya, manusia mampu mengktualisasikan dirinya menjadi makhluk yang termulia, menjadi wakil Allah dalam mengelola dunia, yaitu membudayakan manusia sesuai dengan ketinggian martabatnya di hadapan Allah. Ilmu dan teknologi mestinya dimanfaatkan manusia untuk menunaikan tugas kerisalahannya dan meningkatkan pengabdiannya terhadap sesama manusia sebagai refleksi pengabdiannya kepada al-Khalik.

Bagaimana manusia dapat menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya sebagai alat untuk memenuhi fungsi-fungsi kodrati tersebut memang membutuhkan pamandu (budan), yang tidak lain adalah dienul-Islam itu sendiri. Keterpaduan antara keberilmuan dan keimanan tersebut akan meningkatkan martabat manusia, baik secara ndividual (QS. al-Mujadilah: 11) maupun secara kolektif.

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”. Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu diantara kamu beberapa derajat…..”. (al-Mujadilah 11)

Islam maju ketika akal manusia (ilmu dan teknologi) dibimbing agama, dan sebaliknya Islam mundur manakala umatnya memisahkan antara akal dari agamanya. Fenomena terakhir inilah yang merupakan permasalahan (penyakit?) klasik umat, namun yang selalu aktual untuk dicari upaya pemecahannya.

Dikotomi antara ilmu dan agama, yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yng lain, seperti dikotomi ‘ulama-intelektual’, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam, dan bahkan dikotomi (split) dalam diri manusia muslim sendiri. Muncul dugaan bahwa salah satu sebab kecenderungan dikotomi tersebut adalah kegagalan manusia (muslim) memahami secara proporsional hubungan antara ilmu dengan agama. Berikut ini diilusterasikan secara garis besar salah satu model pendekatan hubungan antara ilmu dengan agama, yang kiranya dapat membantu mendekati pemahaman yang proporsional tersebut.

Hubungan antara ilmu dan agama rupanya lebih proporsional bila ditatap bukan sebagai suatu keadaan atau status, melainkan sebagai suatu proses. Disebut suatu proses karena dalam perjalanan sejarah, istilah tersebut mengalami suatu evolusi, baik makroevolusi (perkembangan pemahaman yang terjadi karena perkembangan peradaban dan budaya antar generasi manusia) maupun mikroevolusi (perkembangan pemahaman pada tingkat individu). Evolusi tersebut ialah suatu perjalanan panjang yang tak berujung dari manusia dalam upaya menangkap dan memahami al-haq.

Oleh karena kebenaran yang hakiki milik Allah semata, maka proses evolusi tersebut adalah suatu “perjalanan nan tak kunjung akhir”. Hal ini terjadi karena yang dapat ditangkap oleh manusia hanyalah tanda-tanda (ayat) al-haq tersebut, yang berupa ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Interpretasi manusia terhadap ayat kauniyah menghasilkanilmu pengetahuan, sementara interpretasi manusia terhadap ayat qauliyah (wahyu: Qur’an dan Sunnah) menghasilkan pemahaman keagamaannya (agama yang ‘aktual’).

Dengan ungkapan lain, hubungan antara ilmu dan agama adalah hubungan yang bersifat dinamik evolutif, yakni suatu “interpretasi manusia terhadap kebenaran hakiki Allah, lewat fenomena kauliyah dan fenomena qauliyah, yang berkembang terus”. Perhatikan skema berikut.

Inti pemahaman hubungan tersebut beranjak dari perilaku tauhidi, yaitu keimanan dan ketundukan mutlak manusia pada Allah, yang antara lain tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku:

  1. Bahwa kebenaran mutlak (al-haq) hanya ada pada Allah semata, dan yang dapat dicapai manusia (dengan interpretasi kauniyah maupun qauliyah) hanyalah kebenaran yang relatif, dalam skala waktu dan tempat.
  2. Kesadaran akan keterbatasan interpretasi tersebut akan menimbulkan sikap dan perilaku manusia (ilmuwan) untuk: (1) tunduk dan patuh pada Allah semata; (2) menyadari bahwa ilmu dan kemampuan teknologi (profesi) yang dikuasainya adalah berasal dan amanah dari Allah; dan (3) motivasi penerapannya diupayakan dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
  3. Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dan agama, karena keduanya berasal dari sumber yang sama. “Pertentangan” yang dijumpai dalam praktek adalah semu, sebagai akibat kesalahan interpretasi ayat kauniyah, ayat qauliyah, atau keduanya.
  4. Kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya sumber kebenaran, dan bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi problema kehidupan manusia.

*1): interpretasinya melahirkan: fisika, kimia, astronomi, botani, zoologi, geologi, dsb.

*2): interpretasinya melahirkan: biologi manusia, ilmu kedokteran, antropologi, dsb. individual); ilmu-ilmu: hukum, ekonomi, sosiologi, politik, dsb. (komunal); dan sejarah temporal).

*3): (QS. Fushilat: 53)

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Fushilat 53)

*4): (QS. Ali Imran: 164)

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran 164)

Dengan model pendekatan di atas menjadikan seseorang muslim (ulama/cendekiawan) di samping dapat terhindar dari pemahaman yang dikotomik, juga diperolehnya keuntungan (yang berupa proporsionalitas persepsi, sikap perilaku) yang lain. Keuntungan yang dimaksud adalah:

Pertama, terhindarnya mereka dari cara berpikir rasionalistik (ekstrim kiri), spiritualistik (ekstrim kanan), maupun sekularistik (pengkotakan atau spasialisasi kehidupan).

Kedua, kemampuan mereka untuk meningkatkan pemahaman (interpretasi) ayat qauliyah mereka dengan temuan-temuan yang diperoleh dari interpretasi kauniahnya (ilmu pengetahuan), dan sebaliknya dapat digunakannya nilai-nilai yang dipahami dari wahyu untuk dijadikan dasar etik/filosofik bagi interpretasi terhadap ayat kauniyah (pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan).

Ketiga, dorongan untuk lebih mampu mengimplementasikan ilmu dan ajaran agamanya dalam kehidupan di masyarakat, dalam bentuk perpaduan yang operasional sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi umat manusia. Kontekstualitas interpretasi di sini jangan dipahami sebagai suatu interpretasi-adaptatif Islam dengan konteks ruang dan waktu (sebagaimana sering dipopularkan sementara pihak), melainkan operasionalisasi konsep Islam (qauliyah dan kauniyah) dalam konteks ruang dan waktu.

Berangkat dari pemahaman kedudukan ilmu dalam Islam sebagai tersebut di atas, di samping diperoleh keuntungan (konsekuensi subjektif) tersebut, juga menimbulkan konsekuensi objektif yang mengarah pada pengembangan paradigma keilmuan yang islami. Konsekuensi yang dimaksud adalah.

Pertama, dalam pemahaman yang konvensional, maka ilmu berawal dari suatu skeptisitas atau suatu nihilitas. Sesuatu adalah salah kecuali telah dibuktikan kebenarannya, dan sesuatu tidak ada kecuali telah dibuktikan keberadaannya. Paradigma keilmuan yang islami tidaklah demikian. Menurut Islam ilmu (dan metodologi keilmuan) bukan berangkat dari skeptisitas atau ketiadaan, tetapi berangkat dari tauhid, dari suatu keyakinan bahwa segala fenomena keilmuan yang ada merupakan manifestasi kebenaran haq Allah (QS. Fushilat: 53).

Kedua, ilmu pengetahuan (dan teknologi yang dilahirkannya) bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Pemahaman bebas nilai ini menyangkut baik aspek ontologis maupun aksiologis. Dari pemikiran inilah terlihat perlu suatu etika (akhlaq) pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi yang islami.

  1. Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling baik strukturnya, paling mulia, melebihi dan mengatasi makhluk yang lain (QS. at-Tin: 4; al-Isra’: 70).

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin 4)

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (al-Isra’ 70)

Namun kenyataannya, sebagian mereka muncul sebagai makhluk yang bersegi negatif, bodoh, dzalim, dan kikir (QS. al-Ahzab: 72; al-Isra’: 100), atau bahkan paling hina (QS. at-Tin: 5).

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (al-Ahzab 72)

Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya”. Dan Adalah manusia itu sangat kikir. (al-Isra’ 100)

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (at-Tin 5)

Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang potensial paling unggul, termulia, namun dalam penampilannya belum tentu demikian. Oleh karenanya, ada semacam kewajiban yang inheren dalam diri manusia, yaitu mengaktualkan keunggulan kualitas tersebut, baik segi fisik, mental, intelektual, maupun spiritualnya. Aktualisasi diri inilah yang merupakan fungsi kodrati yang pertama bagi seorang muslim.

Pemenuhan fungsi kodrati pertama tersebut akan membuka manusia muslim untuk memenuhi fungsi kodrati yang lain, yaitu fungsi-fungsi: ibadah atau pengabdian, kekhalifahan, dan kerisalahan (lihat uraian di depan).

Ilmu dan teknologi berkembang didorong oleh kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk dapat mempertahankan eksistensinya yaitu berinteraksi secara harmoni dengan lingkungan alamnya. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu memperoleh kemudahan-kemudahan dalam melakukan kehidupan sehari-hari, dalam memenuhi fungsi hidupnya. Dengan ungkapan lain, makna dikembangkannya ilmu dan teknologi oleh manusia (aspek aksiologis ilmu dan teknologi) ialah sebagai alat agar manusia dapat memenuhi misi atau makna kehidupannya di dunia.

Perkembangan ilmu serta teknologi yang menyertainya, dicapai manusia melalui mata rantai yang panjang dari upaya manusia untuk dengan kemampuan interpretasi ayat kauniyah-nya yang berupa kemampuan observasi, abstraksi, pengkajian, dan eksperimentasi mereka. Perkembangan ilmu dan teknologi yang dicapai oleh umat manusia hingga saat ini telah mendorong ‘loncatan peradaban’ yang mencengangkan. Perkembangan ini sedemikian menyilaukan umat manusia sehingga menggeser persepsi mereka tentang ilmu dan teknologi, yang semula sebagai alat untuk berinteraksi dengan lingkungan alaminya, menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Ilmu dan teknologi sering dipandang sebagai yang mampu memecahkan segalanya, dan lahirlah rasionalisme. Ilmu dan teknologi seolah adalah tuhan.

Di sisi lain, disadari pula bahwa perkembangan ilmu dan teknologi tidak hanya berkembang oleh kemampuan rasional manusia saja, akan tetapi dipengaruhi pula oleh corak pemikiran filsafati (pandangan budaya, keyakinan, dan agama) para pengembangnya. Dengan demikian, perkembangan ilmu dan teknologi tidaklah netral tetapi diwarnai pula oleh presuposisi-presuposisi tertentu. Hal ini akan semakin nyata dirasakan pada spektrum ilmu-ilmu sosial. Pertanyaan yang muncul ialah: apakah presuposisi-presuposisi tersebut sejalan ataukah bertentangan dengan nilai-nilai Islam? Pertanyaan ini cukup bermakna mengingat ilmu dan teknologi yang dimiliki manusia saat ini dikembangkan dengan kurang memperhatikan nilai-nilai moralitas kemanusiaan, nilai-nilai keagamaan. Apalagi para pengembang ilmu dan teknologi kebanyakan adalah mereka yang non-muslim.

Ilmu dan teknologi, menurut pandangan Islam, mestinya dikembangkan dan diperuntukkan bagi pemenuhan fungsi-fungsi kodrati manusia di atas. Bagaimana dengan ilmu dan teknologinya, manusia mampu mengktualisasikan dirinya menjadi makhluk yang termulia, menjadi wakil Allah dalam mengelola dunia, yaitu membudayakan manusia sesuai dengan ketinggian martabatnya di hadapan Allah. Ilmu dan teknologi mestinya dimanfaatkan manusia untuk menunaikan tugas kerisalahannya dan meningkatkan pengabdiannya terhadap sesama manusia sebagai refleksi pengabdiannya kepada al-Khalik.

Bagaimana manusia dapat menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya sebagai alat untuk memenuhi fungsi-fungsi kodrati tersebut memang membutuhkan pamandu (budan), yang tidak lain adalah dienul-Islam itu sendiri. Keterpaduan antara keberilmuan dan keimanan tersebut akan meningkatkan martabat manusia, baik secara ndividual (QS. al-Mujadilah: 11) maupun secara kolektif.

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”. Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu diantara kamu beberapa derajat…..”. (al-Mujadilah 11)

Islam maju ketika akal manusia (ilmu dan teknologi) dibimbing agama, dan sebaliknya Islam mundur manakala umatnya memisahkan antara akal dari agamanya. Fenomena terakhir inilah yang merupakan permasalahan (penyakit?) klasik umat, namun yang selalu aktual untuk dicari upaya pemecahannya.

Dikotomi antara ilmu dan agama, yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yng lain, seperti dikotomi ‘ulama-intelektual’, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam, dan bahkan dikotomi (split) dalam diri manusia muslim sendiri. Muncul dugaan bahwa salah satu sebab kecenderungan dikotomi tersebut adalah kegagalan manusia (muslim) memahami secara proporsional hubungan antara ilmu dengan agama. Berikut ini diilusterasikan secara garis besar salah satu model pendekatan hubungan antara ilmu dengan agama, yang kiranya dapat membantu mendekati pemahaman yang proporsional tersebut.

Hubungan antara ilmu dan agama rupanya lebih proporsional bila ditatap bukan sebagai suatu keadaan atau status, melainkan sebagai suatu proses. Disebut suatu proses karena dalam perjalanan sejarah, istilah tersebut mengalami suatu evolusi, baik makroevolusi (perkembangan pemahaman yang terjadi karena perkembangan peradaban dan budaya antar generasi manusia) maupun mikroevolusi (perkembangan pemahaman pada tingkat individu). Evolusi tersebut ialah suatu perjalanan panjang yang tak berujung dari manusia dalam upaya menangkap dan memahami al-haq.

Oleh karena kebenaran yang hakiki milik Allah semata, maka proses evolusi tersebut adalah suatu “perjalanan nan tak kunjung akhir”. Hal ini terjadi karena yang dapat ditangkap oleh manusia hanyalah tanda-tanda (ayat) al-haq tersebut, yang berupa ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Interpretasi manusia terhadap ayat kauniyah menghasilkanilmu pengetahuan, sementara interpretasi manusia terhadap ayat qauliyah (wahyu: Qur’an dan Sunnah) menghasilkan pemahaman keagamaannya (agama yang ‘aktual’).

Dengan ungkapan lain, hubungan antara ilmu dan agama adalah hubungan yang bersifat dinamik evolutif, yakni suatu “interpretasi manusia terhadap kebenaran hakiki Allah, lewat fenomena kauliyah dan fenomena qauliyah, yang berkembang terus”. Perhatikan skema berikut.

Inti pemahaman hubungan tersebut beranjak dari perilaku tauhidi, yaitu keimanan dan ketundukan mutlak manusia pada Allah, yang antara lain tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku:

  1. Bahwa kebenaran mutlak (al-haq) hanya ada pada Allah semata, dan yang dapat dicapai manusia (dengan interpretasi kauniyah maupun qauliyah) hanyalah kebenaran yang relatif, dalam skala waktu dan tempat.
  2. Kesadaran akan keterbatasan interpretasi tersebut akan menimbulkan sikap dan perilaku manusia (ilmuwan) untuk: (1) tunduk dan patuh pada Allah semata; (2) menyadari bahwa ilmu dan kemampuan teknologi (profesi) yang dikuasainya adalah berasal dan amanah dari Allah; dan (3) motivasi penerapannya diupayakan dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
  3. Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dan agama, karena keduanya berasal dari sumber yang sama. “Pertentangan” yang dijumpai dalam praktek adalah semu, sebagai akibat kesalahan interpretasi ayat kauniyah, ayat qauliyah, atau keduanya.
  4. Kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya sumber kebenaran, dan bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi problema kehidupan manusia.

*1): interpretasinya melahirkan: fisika, kimia, astronomi, botani, zoologi, geologi, dsb.

*2): interpretasinya melahirkan: biologi manusia, ilmu kedokteran, antropologi, dsb. individual); ilmu-ilmu: hukum, ekonomi, sosiologi, politik, dsb. (komunal); dan sejarah temporal).

*3): (QS. Fushilat: 53)

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Fushilat 53)

*4): (QS. Ali Imran: 164)

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran 164)

Dengan model pendekatan di atas menjadikan seseorang muslim (ulama/cendekiawan) di samping dapat terhindar dari pemahaman yang dikotomik, juga diperolehnya keuntungan (yang berupa proporsionalitas persepsi, sikap perilaku) yang lain. Keuntungan yang dimaksud adalah:

Pertama, terhindarnya mereka dari cara berpikir rasionalistik (ekstrim kiri), spiritualistik (ekstrim kanan), maupun sekularistik (pengkotakan atau spasialisasi kehidupan).

Kedua, kemampuan mereka untuk meningkatkan pemahaman (interpretasi) ayat qauliyah mereka dengan temuan-temuan yang diperoleh dari interpretasi kauniahnya (ilmu pengetahuan), dan sebaliknya dapat digunakannya nilai-nilai yang dipahami dari wahyu untuk dijadikan dasar etik/filosofik bagi interpretasi terhadap ayat kauniyah (pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan).

Ketiga, dorongan untuk lebih mampu mengimplementasikan ilmu dan ajaran agamanya dalam kehidupan di masyarakat, dalam bentuk perpaduan yang operasional sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi umat manusia. Kontekstualitas interpretasi di sini jangan dipahami sebagai suatu interpretasi-adaptatif Islam dengan konteks ruang dan waktu (sebagaimana sering dipopularkan sementara pihak), melainkan operasionalisasi konsep Islam (qauliyah dan kauniyah) dalam konteks ruang dan waktu.

Berangkat dari pemahaman kedudukan ilmu dalam Islam sebagai tersebut di atas, di samping diperoleh keuntungan (konsekuensi subjektif) tersebut, juga menimbulkan konsekuensi objektif yang mengarah pada pengembangan paradigma keilmuan yang islami. Konsekuensi yang dimaksud adalah.

Pertama, dalam pemahaman yang konvensional, maka ilmu berawal dari suatu skeptisitas atau suatu nihilitas. Sesuatu adalah salah kecuali telah dibuktikan kebenarannya, dan sesuatu tidak ada kecuali telah dibuktikan keberadaannya. Paradigma keilmuan yang islami tidaklah demikian. Menurut Islam ilmu (dan metodologi keilmuan) bukan berangkat dari skeptisitas atau ketiadaan, tetapi berangkat dari tauhid, dari suatu keyakinan bahwa segala fenomena keilmuan yang ada merupakan manifestasi kebenaran haq Allah (QS. Fushilat: 53).

Kedua, ilmu pengetahuan (dan teknologi yang dilahirkannya) bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Pemahaman bebas nilai ini menyangkut baik aspek ontologis maupun aksiologis. Dari pemikiran inilah terlihat perlu suatu etika (akhlaq) pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi yang islami.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker