BeritadefaultKhazanah

KONSEP ULIL AMRI DAN PENGERTIAN

BUKU TUNTUNAN MANHAJ TABLIGH KE-IV BAGIAN V|| Muh. Waluyo, Lc. M.A

Khusus tentang persoalan ulil amri, yang jadi persoalan bukanlah tentang keharusan  patuh pada ulil amri, karena perintah patuh pada ulil amri sudah dinashkan secara jelas dalam  Al-Qur’an. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di  antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah  ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada  Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”  (Q.S. An-Nisa’ 4: 59)

Tetapi yang jadi persoalan adalah siapakah yang berhak disebut ulil amri dalam ayat  tersebut. Satu pihak menyatakan bahwa ulil amri itu adalah pemerintah. Untuk urusan  penetapan awal Ramadhan dan terutama awal Syawal, ulil amrinya adalah Menteri Agama.  Dengan demikian, apabila Pemerintah sudah menetapkan awal bulan Ramadhan dan Syawal,  maka semua umat Islam harus mematuhinya. Dalam hubungannya dengan Muhammadiyah,  jika Muhammadiyah mengumumkan berbeda dengan Pemerintah, berarti Muhammadiyah  tidak taat dengan ulil amri, berarti juga tidak melaksanakan perintah Allah dalam ayat di atas.  Sementara itu, pihak lain, terutama Muhammadiyah, tidak menolak kewajiban patuh  dalam ayat tersebut? Tapi yang dipertanyakan adalah apakah menteri agama itu sah disebut  sebagai ulil amri? Untuk urusan keagamaan, apalagi ibadah mahdhah, harusnya diputuskan  oleh lembaga yang punya kompetensi dan otoritas untuk itu?  Misalnya di Mesir yang memutuskan satu Syawal adalah Grand Mufti, sementara  Mentri Agama/Wakaf hanya menyaksikan, di Saudi Arabia yang memutuskan adalah  Mahkamah Agung, di Malaysia yang memutuskan adalah Mufti Negara.

Dan sebagian besar  negara-negara Islam yang memutuskan adalah mufti.  Mufti atau grand mufti ditunjuk oleh pemerintah berdasarkan kriteria keulamaan dan  keahlian dalam agama. Sementara di Indonesia menteri agama adalah jabatan politik, ditunjuk  oleh presiden berdasarkan pertimbangan politik bukan pertimbangan keulamaan. Indonesia  tidak mempunya mufti atau grand mufti.  Oleh sebab itu selama ini fatwa-fatwa keagamaan  dikeluarkan oleh lembaga-lembaga fatwa yang ada pada ormas-ormas Islam seperti Majlis  Tarjih dan Tajdid (Muhammadiyah), Lajnah Bahsil Matsail (Nadhlatul Ulama) atau komisi  fatwa (Majelis Ulama Indonesia).

Makalah ini mencoba membahas tentang masalah Ulil Amri ini. Apa pengertian ulil amri dan siapa sebenarnya yang dimaksud dengan ulil amri tersebut.

  1. Pengertian Ulil Amri

Ulil amri sebuah kata yang disebutkan dalam Al-Qur’an tetapi jarang digunakan dalam keseharian sehingga penulis hanya menemukan sedikit pustaka yang membahas tentang ulil amri yang berbahasa Indonesia. Padanan kata ulil amri dalam Al-Qur’an antara lain, Ula al albab (pemikir), ula al-quwwah (yang memiliki kekuatan/kekuasaan), ulu al-aidi (orang yang memiliki kekuatan, yang dilambangkan dengan tangan yang kuat), ulu al-ilm (para pakar), ulu al-fadl (yang memiliki kedudukan istimewa) ulu al-ba’s (orang-orang yang peduli), ulu azmi, dan ulu al-absar (orang yang memiliki proyeksi masa depan).

Dalam catatan kaki terjemahan Al-Qur’an Depag, kata ulil amri dalam surat An Nisa 59 adalah tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan. Catatan kaki tersebut tidak menjelaskan kedudukan dari mereka yang disebut ulil amri tetapi lebih menunjukkan kepala golongan. Ulil amri secara etimologi berarti pemimpin dalam suatu negara. Istilah ini terdapat dalam pembahasan tafsir dan fiqh siyasah (politik). Para ulama tafsir dan fiqh siyasi mengemukakan empat definisi ulil amri yaitu :

  1. Raja dan kepala pemerintahan yang patuh dan taat kepada Allah SWT dan Rasululloh Saw;
  2. Raja dan ulama
  3. Amir di zaman Rosululloh Saw. Setelah Rosululloh wafat, jabatan itu berpindah kepada haki (hakim), komandan militer, dan mereka yang meminta anggota masyarakat untuk taat atas dasar kebenaran; dan,
  4. Para mujtahid atau yang dikenal dengan sebutan ahl al-halli wa al-‘aqad

Namun demikian, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho mengartikan ulil amri sebagai pemegang otoritas di sebuah negara yang terdiri dari penguasa, para hakim, ulama, komandan militer, dan pemuka masyarakat yang menjadi rujukan umat dalam hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Risyad Ridho lebih meluaskan arti ulil amri ini dengan memasukan mereka yang memiliki otoritas di bidang kesehatan, perburuhan, perniagaan, pemimpin media massa, dan pengarang.

Secara sederhana, Fachrudin mengartikan ulil amri sebagai pemimpin yang bertugas atau ditugaskan mengurus sesuatu urusan misalnya pemerintahan, ketentraman, perjuangan dan pembangunan dalam berbagai lapangan, umumnya yang menjadi kepentingan bersama. Sementara itu, Abdul Wahab Khallaf memberikan arti ulil amri sehubungan dengan sumber hukum menyatakan bahwa lafad al amr berarti perkara atau keadaan, bersifat umum karena dapat menyangkut masalah agama dan keduniaan. Dari pengertian tersebut, ia membagi penyebutan atas kelompok tersebut yaitu untuk ulil amri dalam urusan dunia adalah raja, pemimpin, dan penguasa; untuk urusan agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa. Sementara itu, Ibnu Abas memaknai ulil amri pada ayat (Q.S. 4:59) tersebut sebagai ulama; ulama tafsir lain menyebut sebagai umara dan penguasa. Namun demikian menurut Abdul Wahab, kata tersebut mencakup semuanya termasuk kewajiban taat kepada kelompok penafsir tentang masalah yang harus ditaati.

Menurut sebagian ulama, karena kata al-amr yang berbentuk ma’rifah atau difinite,  maka wewenang pemilik kekuasaan terbatas hanya pada persoalan-persoalan kemasyarakatan  semata, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Untuk persoalan aqidah dan  keagamaan murni harus dikembalikan kepada nash-nash agama (Al-Qur’an dan As-Sunnah).  Hal ini selaras dengan pemikiran Muhammad Abduh.hadap nash, bukan dalam mematuhi nash. Dalam masalah hadits tentang tata cara untuk mengetahui awal Ramadhan dan awal Syawal, persoalannya bukan pada masalah patuh atau tidak patuh pada petunjuk Rasul tersebut, tetapi tentang bagaimana memahami hadits tersebut.

Menurut pandangan Muhammadiyah, hadits itu ada ‘illatnya, yaitu karena umat pada masa itu belum mempunyai cara lain untuk mengetahui awal bulan kecuali dengan melihat hilal. Kalau gagal melihat hilal karena mendung, maka bulan yang sedang  berjalan itu digenapkan 30 hari. Sekarang, ilmu astronomi sudah demikian maju, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui awal bulan. Oleh sebab itu Muhammadiyah yakin tidak melanggar sunnah tatkala menggunakan hisab hakiki untuk menentukan awal bulan. Sebagian memahami, bahwa yang bersifat ta’abbudi (tidak boleh dirubah sedikitpun) adalah puasa Ramadhan dimulai tanggal 1 Ramadhan dan shalat ‘Idul Fitri tanggal 1 Syawal. Sedangkan bagaimana cara menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal itu adalah sesuatu yang bersifat ta’aqquli (rasional, dapat berubah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi) dan lebih bersifat teknis.

Dari uraian di atas, ternyata bahwa ulil amri tidak semata-mata mereka yang mempunyai otoritas dibidang keilmuan, kemasyarakatan, dan keduniaan lainnya. Dengan demikian, ulil amri hanya merupakan sebutan umum untuk mereka yang mempunyai kewenangan tertentu sesuai dengan bidangnya.

2. Syarat Ulil Amri

Muhammad Abduh dengan mendasarkan kepada surat An Nisa 59 menyatakan, kepada mereka inilah harus taat dan patuh selama mereka menaati Allah SWT dan Raosululloh Saw. Para mufasir menyatakan bahwa dalam ayat ini untuk ulil amri tidak didahului dengan kata ali’u memberikan makna bahwa ketaatan hanya diharuskan selama ulil amri taat kepada Allah SWT dan Rosululloh Saw. Pendapat ini bersesuaian dengan hadis “Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada para pemimpin) terhadap yang ia senangi atau ia benci, kecuali jika disuruh berbuat durhaka, ia tidak boleh mendengar dan taat (HR Muslim dan Ibnu Umar).

Penggunaan kata ulil amri digunakan dalam bidang lain dan bagaimana batas keharusan taat kepada seorang ulil amri dilukiskan dalam suatu hadis yang menceritakan tentang panglima perang. Rosululloh Saw mengirim satu pasukan dan mengangkat untuk komandannya seorang laki-laki dari kaum Anshar. Setelah berangkat, komandan kurang senang terhadap anak buahnya, lalu ia berkata : “Bukankah Rosululloh Saw menyuruh kamu supaya mematuhi perintahku?” Mereka semua menjawab “ya”. Perintahnya : “Kamu kumpulkan kayu api kemudian kayu itu dibakar sampai menyala, lalu saya perintahkan kamu semua masuk ke dalam api itu”.Seorang pemuda diantara mereka menjawab “kami semua datang kepada Rosululloh Saw supaya terhindar dari api. Sebab itu, janganlah kamu memasuki api sebelum kita bertemu dengan Rosululloh Saw. Kalau beliau menyuruh kita masuk api, tentu kita akan masuk kedalamnya”. Mereka segera kembali menemui Rosululloh Saw, dan menceritakan peristiwa itu kepada beliau. Rosululloh Saw bersabda, “Kalau kamu masuk ke dalam api itu, niscaya kamu tidak akan keluar dari situ untuk selamanya. Hendaknya kamu patuhi perintah dalam hal-hal yang baik”. (HR Bukhori, Muslim, dan Achmad).

Dalam konteks politik ulil amri pertama kali diperkenalkan oleh Umar bin Khotab ra dengan membentuk suatu lembaga yang bertugas membantu amirul mukminin yang disebut ahl al hall wa al-a’qad. Badan ini melakukan tugas melalui musyawarah untuk mengambil kebijaksanaan yang berhubungan dengan kepentingan umum yang bersifat keduniaan dengan tugas pokoknya amar makruf nahi munkar. Dengan demikian, konsep ulil amri berhubungan erat dengan konsep musyawarah (QS 2:233, 3:159; 42:38), konsep amanah (QS. 4:58), dan konsep amar makruf nahi munkar (QS. 3:104).

Ulil amri bertugas melayani keperluan orang banyak, mempunyai tanggung jawab yang berat, jujur, niat baik, memudahkan dan mempercepat, memberikan bantuan, urusan karena ia sebagai seorang petugas.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa ulil amri mempunyai makna yang luas dalam konteks kehidupan keumatan baik segi keduniaan maupun agama. Dengan keluasan ini maka ulil amri tidak harus selalu berada pada bidang politik atau kekuasaan tetapi juga dapat berada pada setiap unit kegiatan kemasyarakatan dan setiap tingkatan (strata) baik yang berada pada tataran konsep maupun teknis operasional. Dengan demikian ulil amri akan dekat dengan kewenangan dan kekuasaan (authority dan power). Jadi ulil amri dapat berjalan karena berdasar pada kewenangan, kekuasaan, atau kekuasaan dan kewenangan; baik didapat secara original ataupun delegasi.

Secara general ulil amri dapat digolongkan pada dua golongan yaitu golongan yang berada pada wilayah kekuasaan/politik negara dan golongan yang berada pada keilmuan. Pada golongan yang pertama dapat berupa kholifah, amir, sultan, panglima militer, pejabat negara, dan profesi lainnya, sedangkan dalam golongan kedua tercakup ulama, mujtahid, dan ahli pikir lainnya. Oleh karena itu, ulil amri dapat dikatakan sebagai konsep, institusi bukan menunjuk pada subjek person sehingga untuk menentukan siapa yang dapat disebut dan siapa yang dapat menjadi ulil amri memerlukan pemenuhan syarat-syarat tertentu. Hal ini sesuai dengan kandungan hadis dalam sahih Bukhori : Apabila amanat itu dilenyapkan, maka tunggulah datangnya kiamat. Dikatakan kepada Beliau Wahai Rosululloh, bagaimana melenyapkan amanat itu? Rosululloh Saw bersabda, Apabila perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah datangnya kiamat.

Syarat seorang ulil amri dalam bidang umaro ini secara mendasar harus Ashlah (paling layak dan sesuai). Hal ini berhubungan dengan quwwah (otoritas), dan memegang amanah (jujur dan dapat dipercaya), mengurus masyarakat, dan hubungan perwakilan antara yang pemimpin dengan masyarakat yang dipimpinnya; jangan memberikan kepada yang meminta, karena kesukuan, kekerabatan, atau karena hal lain yang menyimpang dari agama. Apabila kriteria di atas tidak ditemukan maka pilihan harus dijatuhkan pada yang terbaik dari yang ada. Pada golongan ini, secara kualitas sudah baik tetapi masih terdapat kekurangan yang nyata. Namun demikian apabila dilakukan secara optimal maka hak-hak wilayat (jabatan) sudah terpenuhi.

Apabila yang mempunyai quwwah dan sekaligus amanat tidak ada, maka prioritas ditujukan pada kebutuhan dan kapasitas calon yang dipilih. Dalam jabatan panglima perang misalnya, apabila pilihan harus ditentukan dari beberapa orang yang ada dengan banyak kesamaan maka pilihan harus dijatuhkan pada orang yang mempunyai sifat pemberani dan kuat secara pisik. Rosululloh Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah akan memperkuat posisi agama ini (Islam) dengan orang yang fajir (suka berbuat dosa) (HR Bukhori). Sehubungan dengan itu, Kholid bin Walid selalu diangkat menjadi panglima walaupun dalam keseharian ia sering melakukan perbuatan yang tidak disukai Rosul Saw. Suatu ketika Rosululloh Saw, mengadahkan tangannya ke langit seraya berdo’a Ya Allah akan berlepas diri kepada Mu dari apa yang diperbuat Kholid.

Pemilihan berdasar ini pernah dicontohkan ketika Rosululloh memilih Kholid bin Walid dan tidak memilih Abu Dzar. Padahal tidak ada orang yang paling jujur perkataannya melebihi Abu Dzar. Jadi syarat bagi ulil amri ini selain sifat dasar akan tergantung juga pada syarat-syarat yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nyata akan jabatan yang disandangnya. Keuangan sangat membutuhkan kejujuran, dan untuk hakim dibutuhkan orang yang mampu bertindak adil dan kuat persaksiannya (komitmen terhadap agama).

3. Ulil Amri Bidang Pemerintahan

Secara umum dalam wacana Islam dikenal beberapa sebutan untuk kepala pemerintahan yaitu kholifah, imam, sultan dan amir. Kholifa, Amir, dan Sultan lebih dikenal dalam sistem politik Islam sunny, sedangkan imam lebih dikenal dalam masyarakat yang bersistem politik syi’i. Dalam masyarakat dikenal pula nama lain yaitu sunan sebagaimana disandang para wali songo yang diakui sebagai pemula penyebar Islam dan pendiri kerajaan Islam di tanah Jawa, sedangkan Imam pernah disandang leh Kepala Negara Islam Indonesia S.M. Kartosuwirjio

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker