default

Memberantas Korupsi Cara Nabi Ibrahim dan Ismail

 

Oleh: Rasul Karim, S.Th.I

Kasus korupsi yang kini menjalar ke berbagai lapisan elemen bangsa sesungguhnya telah dilakukan sejak lama. Jika kita menyimak sejarah perjalanan bangsa ini, maka kita akan melihat dua rezim yang ditumbangkan oleh gerakan rakyat yang tidak tahan menyaksikan perilaku korup para pemimpinnya. Terlepas dari kudeta merangkak yang dilakukan oleh militer, rezim Orde Lama dengan tokoh sentral Sang Proklamator – Sukarno harus rela menyerahkan kekuasaannya setelah gelombang aksi massa dari berbagai elemen masyarakat tak henti-hentinya menuntut perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik. Selanjutnya, rezim Orde Baru dengan tokoh sentral Soeharto juga harus tunduk pada perlawanan rakyat dalam gerakan reformasi yang mengusung perlawanan terhadap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta otoritarianisme penguasa.

Dengan mengambil pelajaran dari sejarah itu, maka pemberantasan korupsi menjadi agenda penting yang harus ditegakkan oleh para pemimpin di era reformasi sekarang ini. Pada dasarnya, kesadaran akan bahaya dari tindak korupsi ini telah direspon oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ketetapan MPR ini ditindaklanjuti dengan melahirkan UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kemudian muncul lagi UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menjadi Undang-Undang No 20 tahun 2001. Amanah UU ini kemudian melahirkan suatu komisi independen yang disebut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti yang kita kenal saat ini.

Walaupun semangat gerakan anti korupsi telah dicanangkan sejak reformasi bergulir 13 tahun yang lalu, dan gerakan anti korupsi juga sudah menjadi ‘dagangan’ para politisi dengan partai politiknya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, tetapi perilaku korupsi tidak juga hilang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Bahkan, semakin hari perilaku korupsi semakin berkembang luas hingga merambah ke daerah-daerah sehingga banyak kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi, sebagian dari mereka menjadi terhukum dan sebagian lainnya terbebas dari jerat hukum dengan dukungan partai politik yang justru mendagangkan anti-korupsi dan berpihak pada wong cilik sebagai ‘dagangan’ utama partainya.

Tidak hanya itu, yang lebih memprihatinkan lagi adalah korupsi kini telah merambah generasi muda yang menjadi tulang punggung negeri ini. Misalnya saja kasus korupsi dengan tokoh Gayus Tambunan dan skandal pembangunan wisma atlet di Palembang yang dilakukan oleh Nasaruddin, yang juga menyeret beberapa nama politikus muda rekan separtainya. Dengan beberapa kasus semacam ini melahirkan sebuah persepsi bahwa politisi muda sangat rawan terhadap serangan korupsi, hal ini pada akhirnya akan menurunkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap politisi muda.

Pertanyaannya sekarang ini adalah, apakah generasi muda masih bisa diharapkan untuk membersihkan perilaku korupsi di negeri ini? Kita semua tentu akan optimis bisa menghilangkan korupsi dari negeri ini, kalau kita mau meneladani dan mengambil hikmah dari Kisah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s., karena banyak hikmah yang terdapat dalam kisah Nabi Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat Al Mumtahanah ayat 4, Allah Swt berfirman:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِىٓ إِبْرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُ

Artinya: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan-nya.”

Nabi Ibrahim a.s. berhasil mencetak generasi sholeh yang mampu mengalahkan keinginan nafsu dan tuntutan dunianya demi untuk membuktikan kecintaannya kepada Allah Swt dan kepatuhan kepada orang tuanya karena sadar bahwa cinta dan ridha Allah Swt melebihi segalanya. Generasi seperti Nabi Ismail a.s. inilah yang kita harapkan untuk menghapus korupsi di negeri ini, generasi yang mampu menundukkan kepentingan ego pribadinya guna untuk kepentingan yang lebih besar dan mulia, dalam hal ini bangsa dan Negara.

Generasi seperti ini tentu tidak lahir dengan sendirinya melainkan harus dipersiapkan melalui visi dan pendidikan yang jelas seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan oleh Allah dalam Al Qur’an surat Ash Shaaffaat ayat 100, Allah Swt berfirman:

رَبِّ هَبْ لِى مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

Artinya: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.”

Membangun generasi yang baik harus dimulai dengan niat yang lurus dan tulus untuk mencari ridho Allah Swt kemudian memohon campur tangan Allah dalam proses pembentukannya, dilanjutkan dengan sikap yang konsisten dan tekad yang kuat untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan dan tidak terpengaruh dengan titel-titel atau predikat selain dari kesholehan tersebut, dan selalu melakukan evaluasi dalam proses transformasi nilai yang akan diterapkan.

Nabi Ibrahim a.s. melakukan transformasi nilai dengan cara bertanya kepada anaknya, “Maata’buduuna min ba’dii” “Duhai ananda apa yang akan engkau sembah sepeninggalku?” Beliau tidak menanyakan, “Maata’kuluuna min ba’dii” “Nak, apa yang kamu makan sepeninggalku?” Ibrahim a.s. tidak terlalu khawatir akan nasib ekonomi anaknya tapi Ibrahim a.s. sangat khawatir ketika anaknya nanti menyembah tuhan selain Allah Swt. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan mental dan pembentukan karakter yang kita wariskan kepada generasi muda dan anak cucu kita yang akan menjadi pemimpin negeri ini jauh lebih baik daripada warisan harta benda.

Jika banyak kasus korupsi pada dewasa ini lebih banyak dilakukan oleh kaum muda, bisa jadi hal ini adalah buah dari ketiadaan keteladanan orang tua, generasi sebelumnya kepada generasi saat ini, pemuda saat ini. Karena barangkali pula pemuda saat ini hanya mereproduksi perilaku pendahulunya. Pendidikan karakter, penanaman moral dan akhlak yang tidak mengakar kuat telah menyebabkan degradasi moral di kalangan generasi muda saat ini sehingga mereka kehilangan orientasi perjuangan yang pada akhirnya membuat generasi muda kita mudah tergiur oleh masalah ekonomi dan melakukan praktek korupsi. Maka sesungguhnya hingga saat ini kita masih harus terus menggali dan mengambil hikmah dari keluarga Ibrahim a.s. Peristiwa Idul Qurban ternyata dapat memberikan pelajaran soal keteladanan orang tua, yaitu keteladanan Ibrahim a.s. kepada Ismail a.s. tentang Tauhid, sehingga Ismail a.s. rela mengorbankan dirinya, menundukkan ego pribadinya untuk Allah Swt semata. Karena sesungguhnya salah satu makna Idul Qurban adalah menundukkan egoisme.

Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. rela melakukan pengorbanan dengan menundukkan egoismenya hanya untuk Allah Swt.  Berbeda dengan saat ini, umat Islam lebih banyak mengedepankan egonya sehingga jauh dari keikhlasan dalam setiap tindakan yang memuliakan Allah. Bahkan, pemuda Islam yang menjadi tumpuan dalam perbaikan umat, saat ini justru mengedepankan egoismenya sehingga melakukan berbagai hal yang menghalalkan segala cara, termasuk korupsi.

Pendidikan totalitas keagamaan yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim telah berhasil melahirkan ketaatan yang berfungsi untuk memproteksi Nabi Ismail agar tidak terkontaminasi oleh pengaruh budaya dan lingkungan luar yang tidak sehat. Jadi, untuk membebaskan negeri  ini dari lingkaran korupsi maka kita harus menyelamatkan generasi muda dari akhlak yang rendah dan mentalitas yang rapuh dengan menanamkan pendidikan agama dan moral yang kuat dimulai dari keteladanan dan kesabaran para orang tua di dalam mengamalkan akhlakul karimah. [ed/fms]

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker