BeritadefaultKhazanah

Gagasan Sekularisasi

BUKU TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part II

SEKULARISME DAN SEKULARISASI

(menelusuri gagasan sekularisasi nurcholish madjid)

Oleh: Adnin Armas, MA

BUKU TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part II

Gagasan Sekularisasi

Dalam makalahnya “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, Nurcholish menyatakan pembaruan Islam harus dimulai dengan melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Di sinilah proses liberalisasi terhadap ajaran-ajaran Islam, tegas Nurcholis, diperlukan. Proses ini menyangkut proses-proses yang lain seperti sekularisasi, Intellectual Freedom atau Kebebasan Berpikir, Idea of Progress dan Sikap Terbuka. Menurut Nurcholish, sekularisasi bukanlah menerapkan sekularisme, karena secularism is the name for an ideology, a new closed world view which function very much like a new religion. Sedangkan sekularisasi adalah liberating development.

Gagasan sekularisasi yang dilontarkan Nurcholish pada tanggal 2 Januari 1970, masih sangat sederhana (hanya satu lembar bolak-balik). Nurcholish juga masih menjadikan sekularisasi sebagai salah satu proses saja dari berbagai proses lain (Intelectual Freedom dan Idea of Progress) yang juga diperlukan dalam pembaruan pemikiran Islam. Selain itu, Nurcholish tidak memberi justifikasi yang mendalam terhadap gagasan sekularisasi. Ia juga tidak menyebutkan sumber pemikirannya. Sebenarnya, gagasan Nurcholish tentang sekularisasi mengadopsi pemikiran Harvey Cox. Dalam bukunya The Secular City (1965), Harvey Cox, seorang teolog dan sosiolog Universitas Harvard, berpendapat inti dari sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan (a liberating development). Harvey Cox menolak tegas sekularisme. Sebabnya, sekularisme adalah nama sebuah ideologi. Ia adalah sebuah pandangan hidup baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan agama. Jadi, sekularisasi berbeda dengan sekularisme — yaitu idiologi (isme) yang tertutup. Bahkan Harvey Cox menganggap sekularisme membahayakan keterbukaan dan kebebasan yang dihasilkan oleh sekularisasi. Oleh sebab itu, sekularisme harus diawasi, diperiksa dan dicegah untuk menjadi idiologi negara.

Pemisahan antara sekularisme dan sekularisasi seperti yang dilakukan Nurcholish hanya mengulangi ide Harvey Cox. Sekalipun pembahasan Nurcholish tentang sekularisasi masih sangat sederhana, namun gagasan Nurcholish pada saat itu telah menguntungkan Rezim orde Baru yang menganggap ideologi Islam sebagai sebuah ancaman.

Setelah berbagai tanggapan dan kritikan muncul atas gagasan sekularisasi, Nurcholish memberi penjelasan mengenai pendapatnya. Dalam tulisan ringkasnya (5 lembar) yang kedua pada tahun 1972 mengenai sekularisasi, “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran Dalam Islam”. Nurcholish merasa perlu memaparkan istilah sekular secara bahasa. Dalam tulisan tersebut, untuk pertama kali nama Harvey Cox ketika mengutip pendapat Harvey Cox mengenai perbedaan antara sekularisme dan sekularisasi.

Menurut Nurcholish, pendekatan dari segi bahasa akan banyak menolong menjelaskan makna suatu istilah. Oleh sebab itu, ia menerangkan tentang etimologi sekularisasi. Nurcholish menyatakan “Kata-kata “sekular” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu, sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini. Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata waktu, maka mundus adalah kata ruang.”

Pemaparan Nurcholish mengenai etimologi kata sekular merupakan ide Harvey Cox. Menurut Harvey Cox, istilah Inggeris secular berasal dari bahasa Latin saeculum yang berarti zaman sekarang ini (this present age). Ada satu kata lain dalam bahasa Latin yang juga menunjukkan makna dunia yaitu mundus. Kata saeculum lebih menunjukkan waktu (time) berbanding mundus yang menunjukkan makna ruang (space).

Dalam pandangan Cox, disebabkan dalam bahasa Latin, kata dunia memiliki dua kata yang berbeda, yaitu mundus dan saeculum, maka kata dunia dalam bahasa Latin adalah kata yang ambigu. Ambiguitas kata “dunia”, menurut Cox, sebenarnya mengungkapkan problem teologis yang dapat ditelusuri kembali dari perbedaan konsep antara orang Yunani kuno dan orang Yahudi dalam memandang realitas. Orang Yunani kuno memandang realitas itu sebagai suatu ruang, sebuah tempat. Peristiwa-peristiwa terjadi di dalam dunia, tetapi tiada satu pun yang penting terjadi kepada dunia. Sebaliknya, orang Yahudi menganggap dunia sebagai suatu waktu. Esensi dunia adalah sejarah. Peristiwa-peristiwa terjadi secara berurutan, bermula dari penciptaan dan menuju kesempurnaan. Yahudi menganggap bahwa dunia ini diciptakan Tuhan supaya manusia mencintainya dan membawa kesempurnaan. Ketegangan konsep antara filsafat Yunani kuno dan agama Yahudi dalam memandang realitas memiliki dampak terhadap pembentukan teologi Kristen sejak awal.

Setelah mengungkap etimologi kata sekular, Nurcholish menyatakan kata dunia adalah istilah yang paralel dalam bahasa Yunani kuno, Latin, dan bahasa Arab (al-Quran). Nurcholish kemudian menjelaskan:

“Itulah sebabnya, dari segi bahasa an sich pemakaian istilah sekular tidak mengandung keberatan apa pun. Maka, benar jika kita mengatakan bahwa manusia adalah makhluk duniawi, untuk menunjukkan bahwa dia hidup di alam dunia sekarang ini, dan belum mati atau berpindah ke alam baka. Kemudian, kata “duniawi” itu diganti dengan kata “sekular”, sehingga dikatakan, manusia adalah makhluk sekular. Malahan, hal itu tidak saja benar secara istilah, melainkan juga secara kenyataan.”

Jadi, secara etimologis, menurut Nurcholish, tidak ada masalah menggunakan kata sekular untuk Islam karena memang manusia adalah makhluk sekular. Dia jelaskan lagi:

“Dalam permulaan pemakaiannya, istilah sekular memang lebih banyak menunjukkan pengertian tentang dunia, yang secara tersirat tergambarkan sifat-sifatnya yang rendah dan hina. Tetapi, lama kelamaan pengertian yang tidak adil itu, dalam dunia pemikiran Barat, menjadi berkurang dan menghilang. Pengertian bahwa dunia ini adalah alam yang rendah dan hina merupakan tanggungjawab filsafat-filsafat hidup yang berlaku umum di dunia Barat waktu itu.”

Pendapat Nurcholish di atas sekedar mengulangi pemikiran Harvey Cox. Menurut Harvey Cox, kata secular menjadi bermakna negatif karena kata tersebut adalah korban pertama dari ketidakinginan orang Yunani kuno untuk menerima historisitas Ibrani. Agama Yahudi mengajarkan konsep sekular menunjukan “kondisi” (condition) dunia ini, pada zaman ini (this age), atau ‘masa sekarang’ (now). Zaman ini atau masa sekarang berarti peristiwa-peristiwa di dunia ini, dan ini juga bermakna peristiwa-peristiwa kontemporer. Penekanan makna yang ditentukan oleh waktu atau periode tertentu dianggap sebagai proses sejarah (historical process).  Jadi, inti dari makna “sekular,” adalah konteks dunia berubah terus-menerus. Akhirnya, berujung pada kesimpulan, bahwa nilai-nilai keruhanian adalah relatif.

Harvey meneliti perubahan makna yang terjadi pada kata sekularisasi. Menurut Cox, sejak awal, disebabkan pengaruh Hellenistik, makna kata sekular sudah merujuk kepada sesuatu yang inferior. Sekular sudah bermakna perubahan di “dunia ini” bertentangan dengan “dunia agama” yang kekal-abadi. Implikasinya, dunia agama yang kekal-abadi, yang tidak berubah adalah benar. Karena itu, ia lebih hebat dari dunia “sekular” yang berlalu (passing) dan bersifat sementara (transient).

Makna kata sekular semakin memiliki konotasi negatif ketika terjadinya sintesis pada abad pertengahan antara Yunani kuno dan Ibrani (Hebrew). Sintesis itu ialah bahwa dunia ruang (spatial world) lebih tinggi dan lebih agamis, sedangkan dunia sejarah yang berubah adalah lebih rendah atau dunia “sekular”. Harvey Cox menyimpulkan dunia dianggap rendah karena lebih kuatnya pengaruh filsafat Hellenistik kepada ajaran Kristen dibanding ajaran Yahudi, simpul Cox.

Padahal, Bibel sudah menegaskan bahwa di bawah kekuasaan Tuhan segala kehidupan tergambar di dalam sejarah. Ajaran Bibel menyatakan bahwa kosmos tersekularkan. Tapi, pernyataan ini telah kehilangan gaungnya. Kata sekularisasi, yang pertamanya memiliki makna yang sangat sempit dan khusus, kemudian perlahan-lahan meluas. Sekularisasi yang pada awalnya bermakna proses pindahnya tanggung-jawab pendeta “yang agamis” menjadi kepada gereja yang terbatas, semakin meluas menjadi pemisahan kekuasaan antara Paus dan Kaisar. Sekularisasi bermakna pembagian antara institusi spiritual dan sekular. “Sekularisasi” bermakna pindahnya tanggung-jawab tertentu dari Gereja ke kekuasaan politik.

Makna yang sudah meluas ini terus berlanjut dalam periode Pencerahan (Englihtenment) dan Revolusi Perancis. Bahkan sekarang pun makna seperti ini tetap digunakan di negara-negara yang mewarisi budaya Katolik. Proses pindahnya sebuah sekolah atau sebuah rumah sakit dari Gereja ke administrasi publik, misalnya, disebut sekularisasi. Akhir-akhir ini, makna sekularisasi kembali mengalami perubahan. Kini, sekularisasi bermakna gambaran sebuah proses pada tingkat budaya, yang sejajar dengan tingkat politik. Sekularisasi berarti hilangnya diterminasi agamis terhadap simbol-simbol integrasi budaya. Sekularisasi budaya adalah hal yang lazim dan tak dapat dihindari dari sekularisasi politik dan sosial.

Jadi, menurut Harvey Cox, dunia ini tidak lebih rendah dari dunia agamis. Karena itu, sekularisasi adalah proses penduniawian hal-hal yang memang bersifat duniawi. Penjelasan Cox ini identik dengan penjelasan Nurcholish tentang “sekularisasi” dan “penduniawian.”  Menurut Nurholish, konsep tentang dunia sebagai tempat hidup yang bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi. Sehingga, sekularisasi adalah proses penduniawian.

Sedangkan Nurcholish menjelaskan tentang ini, dengan menyatakan, pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode itu. Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam.

Tulisan ringkas Nurcholish dalam “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran Dalam Islam,” (6 lembar) tampaknya ingin menegaskan 2 hal. Pertama, secara etimologi, kata “sekular” bukan saja sah, tetapi memang harus digunakan. Kedua, Nurcholish menegaskan kembali perbedaan antara sekularisasi dan sekularisme. Dalam artikel tersebut, nama Harvey Cox disebut untuk pertama kalinya.

Sebenarnya, upaya Nurcholish untuk menjustifikasi penggunaan kata sekular tampaknya malah mengaburkan persoalan. Sebabnya, “matter of conflict” dalam gagasan sekular bukanlah sekedar persoalan bahasa an sich, tetapi justru dalam persoalan terminologis. Ahmad Wahib saat itu menyadari kekeliruan Nurcholish. Dalam Catatan Hariannya, Ahmad Wahib menyatakan “Adalah kurang terus terang bila Nurcholish mengartikan secular semata-mata dengan dunia atau masa kini dan sekedar mengatakan bahwa semua yang ada kini dan di sini adalah hal-hal sekular: nilai sekular, masyarakat sekular, orang sekular dan lain-lain. Sekular sebagai suatu sifat – misalnya mengenai suatu masyarakat yang menjadi tujuan proses sekularisasi yaitu masyarakat sekular-tidak saja harus didekati dari segi etimologi, tapi lebih penting lagi dari segi terminologi. Dalam pendekatan terminologis, tidak semua orang bisa disebut sekular dan tidak semua masyarakat merupakan masyarakat secular, sebab secular sudah mempunyai arti terhapusnya campurtangan “agama” (sebagai fenomena social atau das sein) dalam pemecahan langsung masalah-masalah social. Karena itu ketika menjelaskan jalannya proses sekularisasi di Amerika Serikat dan Inggris, kita tidak heran bila ada sebutan “masyarakat sekular yang pertama” dalam buku Bryan Wilson Religion in Secular Society.”

Baca juga SEKULARISME DAN SEKULARISASI Part I

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker