default

Meneropong Keteladanan Kehidupan K.H. Ahmad Dahlan (Bagian II)

Pembahasan ke-2)

Oleh : Mohammad Damami Zain (Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

Isi Pesan K.H. Ahmad Dahlan

“Jangan sentimen, jangan sakit hati kalau menerima celaan dan kritikan.

Jangan sombong, jangan berbesar hati kalau menerima pujian.”

(Sumber: Junus Salam, K.H. Ahmad Dahlan. Amal dan Perjuangannya, 2009 : 141)

Pemahaman dan Penjabaran Pesan

“Jangan Sentimen, jangan sakit hati”. Pesan ini merupakan pesan yang tidak ringan. Sebab, rata-rata orang sangat mudah dan sensitif (peka) untuk melakukan hal seperti itu, lebih-lebih kalau ada faktor luar yang mengganggu rasa “EGO” (ke-aku-an) seseorang. Rasa ketergangguan itu bisa berwujud : (1) tersindir (mengenai “AKU”-nya tetapi secara tak langsung; (2) tersinggung (mengenai “AKU”-nya secara langsung); dan (3) terluka-hati (mengenai “AKU”-nya dengan sangat membekas dalam waktu yang relatif lama). Itulah sebabnya mengapa Al-Qur’an melarang kaum mukmin gampang “saling merendahkan” (laa yaskhar), “saling memojokkan” (laa talmizuu), dan “saling memberi julukan yang bersifat merendahkan” (laa tanaabazuu) (QS Al-Hujurat, 49: 11), terutama dengan “julukan yang merendahkan martabat” (laqab) (QS Al-Hujurat, 49: 11).

“Sentimen” bisa diartikan : kebencian yang merasakan ke dalam hati. “Sakit hati” bisa diartikan : kepedihan perasaan yang terasa dalam.

Kebencian bisa menyebabkan timbulnya “balas dendam”. Apalagi pada diri orang yang mula-mula ketika dilukai hatinya dia merasa belum memiliki “kekuatan untuk membalas”, namun setelah merasa memiliki kekuatan yang memungkinkan untuk membalas, maka tumuhlah niat untuk “balas dendam”. Biasanya, balas dendam ini dipaksakan dalam diri orang bersangkutan untuk “harus dilakukan, apapun resikonya”. Kalau sudah seperti ini keadaan dan suasana hatinya, masyaaallaah. (Catatan: di Madura balas dendam yang beruntun disebut “carok”, kalau di Sulawesi selatan disebut “sirik”.)

Kepedulian perasaan, disamping membuat perihnya perasaan yang terluka, juga dapat menjadi pilar utama bagi “kebencian” yang berlanjut dalam tampilan “balas dendam” di atas. Wujudnya bisa berupa : kegeraman hati (merasa sedemikian rupa sampai-sampai tidak terasa tangan dikepal-kepalkan dan dipukul-pukulkan ke telapak bagian dalam telapak tangan sebelah kiri atau tangan terkepal lalu dipukul-pukulkan ke permukaan meja, kursi panjang, permukaan kasur, dan sebagainya), rasa mengkal (kesal, “mangkal”, bhs. Jawa), dan rasa muak (rasa kejenuhan yang luar biasa yang seolah-olah hati ingin “muntah” saja). Pemuntahan seperti akibat seolah-olah hal tersebut menjadi beban tak tertanggungkan.

Selanjutnya, tentang pesan “kalau menerima celaan dan kritikan”. “Celaan” atau mungkin bisa diartikan “penilaian yang diucapkan yang bernuansa tidak menghargai dan sekaligus bernuansa merendahkan” memang sangat memungkinkan akan menimbulkan minimal rasa ketersinggungan hati seseorang. Sebab, celaan itu biasanya berupa ucapan kata-kata, baik didengarkan langsung, atau mungkin dengan perantaraan (misalnya lewat informasi orang lain, lewat handphone/HP, android, televisi, radio, internet, media cetak, surat, dan sebagainya). Arah celaan ini pasti menyasari ke rasa “EGO” orang, yang karena itu wajar kalau seseorang merasa terganggu. Seperti telah kita ketahui bersama, rata-rata orang dalam setiap detik kehidupannya senantiasa mengharap-harap datangnya kekaguman, pujian, dan kehormatan dari orang lain. Tahu-tahu yang datang malahan “celaan”, sudah tentu orang akan merasa geram, mengkal, dan berujung pada kemuakan.

Untuk selanjutnya, “kritikan” juga sering ditafsiri tunggal. Artinya, isi kritik itu seolah hanya “akan menyalah-nyalahkan” atau bahkan disalahtafsiri sebagai “akan menjatuhkan” (menjatuhkan nama atau menjatuhkan dari jabatan publik tertentu). Sebenarnya, “kritikan” itu ada 2 (dua) makna. Pertama, “kritikan membangun”. Artinya, kritikan yang didasarkan pada data pendukung yang akurat, objektif, dan rasional. Isinya secara hakiki adalah positif-produktif-konstruktif-solutif (menguntungkan-menghasilkan-membangun-memecahkan masalah). Motifasi dalam melakukan kritikan membangun itu adalah : netralitas yang berorientasi pada kebenaran-kebaikan-keindahan-kemanfaatan-keluhuran-keselama-lamaan. Kritik semacam ini wajib dihormati dan ditaati.

Kedua, “kritik asal-asalan”. Biasanya kritikan jenis ini berlatar-belakang rasa anti (ketidak-sukaan), dengki, dan benci. Arahnya bisa ditebak, yaitu mungkin untuk menguji agar jauh, atau memang untuk kesengajaan menjauhkan orang. Karena itu sifatnya menjadi negatif-kontraproduktif-destruktif-confusion (merugikan-kontrahasil-merusak-kekacaubalauan). Karena itu, kritik semacam ini wajib ditolak dan tidak ditaati.

Menurut K.H. Ahmad Dahlan, dalam menyikapi terhadap siapapun, apalagi kalau seseorang sedang mendapat amanah atau kepercayaan (entah berupa jabatan, penghargaan, dan sebagainya), harus memiliki perasaan lapang dada terhadap celaan dan kritikan (apalagi “kritikan yang membangun” justru perlu diterima dengan rasa terima kasih). Terhadap “celaan”, seorang yang beriman perlu dihadapi dengan kesabaran yang tinggi (karena mungkin sebenarnya dirasakan menyakitkan). Demikian pula terhadap “kritikan”, maka terhadap “kritikan membangun” perlu menerimanya dengan tangan terbuka, tetapi terhadap “kritikan asal-asalan” harus dihadapi dengan jiwa besar (didengar saja tetapi tak usah diperhitungkan).

Pesan berikutnya adalah “jangan sombong, jangan berbesar hati kalau menerima pujian”.

“Sombong” adalah kondisi kejiwaan yang merasakan dirinya sebagai diri yang “memiliki kelebihan yang tidak mungkin akan dapat ditandingi atau dikalahkan” dan sekaligus memiliki perasaan yang sangat subjektif bahwa “dirinya memiliki kesempatan untuk menganggap ringan dan sepele kepada orang lain”. Sebutan yang senada kata “sombong” adalah : takabur, angkuh, arogan, congkak, superior, besar kepala, kemaki (bhs. Jawa), kemlinghi (bhs. Jawa), kementhus (bhs. Jawa), pethitha-pethithi (bhs. Jawa), sopo jira sopo ingsung (bhs. Jawa), dan belagak.

Pada intinya, perilaku sombong itu benar-benar bersifat sangat subjektif. Kalau dia sadar dan merasakan secara objektif, maka dia akan merasa sangat malu atas tindakannya yang sombong itu. Namun karena dia baru “terlena” gara-gara kesombongannya itu, maka dia tidak merasa bahwa sebenarnya tindakannya itu sangat subjektif, sama sekali tidak ombjektif. Sombong itu menutup pintu objektivitas.

“Besar hati” (“gumedhe”, “rumongso gedhe”, bhs. Jawa) adalah kondisi kejiwaan yang “merasa dirinya besar atau merasa dirinya terbesar atau paling terpuji yang tidak ada tandingannya”. Rasa “besar hati” (catatan: berbeda dengan sebutan “berbesar hati” dalam arti lapang dada, sabar, atau gampang memaklumi) ini akan terpupuk untuk makin membesar lagi kalau mendapat pujian. Orang yang memiliki watak ini, maka rabuk hatinya adalah jika mendapat pujian. Sebaliknya, kalau dia tidak sering mendapat pujian, lalu jiwanya merasa sepi dan kecil.

Dalam bahasa Indonesia, “besar hati” ini sama artinya dengan “bangga” yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan “tafaakhur” (QS Al-Hadid, 57: 20) :

ٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞ وَزِينَةٞ وَتَفَاخُرُۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٞ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِۖ

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, [Al Hadid20]

Kalau dilacak, kehidupan dunia, harta benda anak adalah titipan Allah, bukan hak milik mutlak manusia, yang karena itu tidak layak untuk dijadikan tujuan untuk berbagga-banggaan diri. Mestinya, kalau seseorang memperoleh “pujian” justru saat itu pula harus ingat bahwa pujian itu bukan milik dirinya, melainkan milik Allah swt.” Yang karena itu harus buru-buru mengucapkan kalimat hamdalah : al-hamdulillahi rabbil’aalamiin (segala puji adalah milik Allah; Allah yang Maha Mengatur, Maha Memelihara, Maha Melayani seluruh isi dan kenyataan di alam semseta ini). In-syaaallaah kalau cara terakhir ini ditempuh, rasa bangga diri itu akan terhindari.

“Pujian” adalah ucapan, sikap, atau tindakan yang dilakukan pihak orang lain sebagai perwujudan dari pengakuan pihak orang lain tersebut atas kelebihan tertentu (prestasi, kemampuan, hasil capaian, keluhuran budi, posisi, kedudukan sipil, status sosial, dan sebagainya) yang berhasil dicapai atau dimiliki orang lain. Pujian ini memang diakui dapat menjadi rabuk bagi “ego” (perasaan keaku-an) orang pada umumnya. Orang yang rendah diri (minder) kadang-kadang sedikit terobati kalau dia sering mendapat pujian dari berbagai macam sebab dan jurusan. Namun, menurut K.H. Ahmad Dahlan, kalau orang berstatus “pemimpin” maka apa yang disebut “pujian” itu harus tidak boleh mempengaruhi kepribadian (personality, personalitas) dirinya. Integritas dari personalitas dirinya benar-benar harus dijaga seteguh-teguhnya. Dirinya tidak boleh ditekuk dan dilumpuhkan oleh sekadar “pujian” ! Apakah diombang-ambingkan oleh pujian !!! pujian itu, dalam dunia tasawuf, disebut “racun kebaikan seseorang”. Orang baik bisa saja mendadak berubah total menjadi sangat buruk gara-gara “memasukkan ke dalam hatinya” apa yang disebut “pujian” itu. Oleh karena itu, agar hati, diri, dan personalitas tetap lurus dan baik, maka begitu pujian datang segera membaca dan mengikhlaskannya dengan ucapan hamdalah, alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiina.

Umat Islam, entah selaku pribadi-pribadi atau berupa kolektif, adalah umat yang memiliki integritas pribadi yang luhur dan lempak. Apalagi kalau sedang memperoleh “mandat” sebagai pemimpin, maka integritas seperti itu benar-benar harus dijaga sekuat-kuatnya, sebisa-bisanya, sepahit apapun ! sangat tidak layak dan sangat tidak rasional kalau menjadi umat Islam yang rapuh oleh “pujian”, betapapun seolah-olah pujian tersebut menjanjikan rasa kenyamanan, baik secara kejiwaan maupun sosial.

Kesimpulan

  1. Pujian sebagai sesuatu yang mirip “racun”, bisa membuat orang menjadi sombong. Sebaliknya, celaan bisa membuat orang terbetik untuk membalas dendam. Keduanya dihindari. Apalagi bagi seorang yang sedang memperoleh amanat selaku “pemimpin” dalam bidang dan keahlian apa saja, maka sikap yang keliru dalam menghadapi pujian dan celaan harus benar-benar dihindari.
  2. Dalam bekerja, apalagi dalam proses perjuangan selaku pemimpin, bukan pujian yang menjadi “tujuan”, dan bukan celaan yang ingin “dihindari”, melainkan bekerja dan berjuang untuk berusaha “memberi” kemanfaatan apapun bentuknya kepada orang lain dan balikannyapun tentu akan berupa kemanfaatan pula (sebagimana janji Allah swt. Dalam QS. Al-Zalzalah, 99: 7).
  3. Bagi orang yang hidupnya diorientasikan pada “prestasi” (keunggulan hasil kerja) tidak memusingkan apa yang disebut “pujian” atau celaan”. Sebaliknya, hanya orang yang hidupnya diorientasikan pada “prestise” (ketinggian martabat yang bersifat egois) yang suka peka hatinya terhadap “pujian” atau “celaan”. Sementara itu Al-Qur’an justru sangat menekankan orientasi prestasi.

Wallaahu a’alam bishshawaab.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker