BeritadefaultOrganisasi

PERAN STRATEGIS MUHAMMADIYAH

BUKU TUNTUNAN MANHAJ TABLIGH KE-IV BAGIAN II

1. Peran Strategis Muhammadiyah

 

Muhammadiyah sebagai kekuatan nasional sejak awal berdirinya pada tahun 1912 telah berjuang dalam pergerakan kemerdekaan. Melalui para tokohnya, Muhammadiyah juga terlibat aktif mendirikan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Muhammadiyah memiliki komitmen dan tanggungjawab tinggi untuk memajukan kehidupan bangsa dan negara. Para tokoh Muhammadiyah sejak era K. H. Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah Dahlan hingga sesudahnya mengambil peran aktif dalam usaha-usaha kebangkitan nasional dan perjuangan kemerdekaan. Kiprah Muhammadiyah tersebut melekat dengan nilai dan pandangan Islam berkemajuan yang menjadikan komitmen cinta pada tanah air sebagai salah satu wujud keislaman.

Pendiri Muhammadiyah sejak awal pergerakannya memelopori gerakan Islam berkemajuan. Dalam perspektif Muhammadiyah, Islam adalah “agama peradaban” (dîn al-hadlârah) yang diturunkan untuk mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan dan terbangunnya peradaban semesta yang berkemajuan. Kemajuan dalam pandangan Islam adalah kebaikan yang melahirkan keunggulan hidup lahiriah dan ruhaniah. Adapun dakwah dan tajdid bagi Muhammadiyah merupakan jalan perubahan untuk mewujudkan Islam sebagai agama bagi kemajuan hidup umat manusia sepanjang zaman. Islam berkemajuan yang melahirkan pencerahan itu merupakan refleksi dari nilai-nilai transendensi, liberasi, emansipasi, dan humanisasi sebagaimana terkandung dalam pesan Al-Quran (QS. ‘Ali Imran: 104 dan 110) yang menjadi inspirasi kelahiran Muhammadiyah. Secara ideologis, Islam yang berkemajuan merupakan bentuk transformasi Al-Ma’un untuk menghadirkan dakwah dan tajdid secara aktual dalam pergulatan hidup keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Transformasi Islam berkemajuan merupakan perwujudan dari pandangan keagamaan yang bersumber pada Al-Quran dan As- Sunnah dengan mengembangkan ijtihad di tengah tantangan kehidupan modern abad ke-21 yang sangat kompleks.

Muhammadiyah dalam kehidupan kebangsaan maupun kemanusiaan universal mendasarkan diri pada pandangan Islam berkemajuan. Muhammadiyah menegaskan komitmen untuk terus berkiprah menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis menuju peradaban yang utama. Islam ditegakkan untuk menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi. Islam Berkemajuan adalah Islam yang menggelorakan misi antiperang, antiterorisme, antike kerasan, anti penindasan, antiketer belakangan. Islam Berkemajuan juga anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemunkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam Berkemajuan secara positif memayungi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan; menyebarkan pesan damai, toleran, dan sikap tengahan di segala bidang kehidupan. Dengan kata lain, Islam Berkemajuan adalah Islam yang mengemban risalah rahmatan li al-’âlamîn yang menyatu dan memberi warna keindonesiaan serta kemanusiaan universal.

Peran Muhammadiyah dalam mengemban misi Islam berkemajuan berlanjut dalam kiprah kebangsaan lahirnya Negara Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945. Para pemimpin Muhammadiyah terlibat aktif dalam usaha-usaha kemerdekaan. Kyai Haji Mas Mansur menjadi anggota Empat Serangkai bersama Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara yang merintis prakarsa persiapan kemerdekaan Indonesia terutama dengan pemerintahan balatentara Jepang. Tiga tokoh penting Muhammadiyah, seperti Ki Bagus Hadikusumo, Prof. Kahar Mudzakir, dan Mr. Kasman Singodimedjo bersama para tokoh bangsa lainnya juga telah berperan aktif dalam Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk merumuskan prinsip dan bangunan dasar negara Indonesia. Ketiga tokoh tersebut bersama tokoh-tokoh Islam lainnya menjadi perumus dan penandatangan lahirnya Piagam Jakarta yang menjiwai Pembukaan UUD 1945.

Dalam momentum kritis satu hari setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diproklamasikan, Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Kasman Singodimedjo dengan jiwa keagamaan dan kenegarawanan yang tinggi demi menyelamatkan keutuhan dan persatuan Indonesia, dapat mengikhlaskan dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Tujuh kata yang dimaksud adalah anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana menjadi sila pertama dari Pancasila. Pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut bukan hal mudah bagi para tokoh Muhammadiyah dan wakil umat Islam kala itu. Sikap tersebut diambil semata-mata sebagai wujud tanggungjawab dan komitmen kebangsaan demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengorbanan para tokoh Islam tersebut menurut Menteri Agama Repulik Indonesa, Letjen (TNI) Alamsjah Ratu Perwiranegara, merupakan hadiah terbesar umat Islam untuk bangsa dan negara Indonesia.

Panglima Besar Jenderal Soedirman selaku kader dan pimpinan Muhammadiyah membuktikan peran strategisnya dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan keabsahan Indonesia Merdeka. Soedirman menjadi tokoh utama perang gerilya dan kemudian menjadi Panglima Tentara Nasional Indonesia. Nama lain yang patut disebut adalah Insinyur Juanda, seorang tokoh Muhammadiyah yang menjadi pencetus Deklarasi Juanda tahun 1957. Deklarasi Juanda merupakan tonggak eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyatukan laut ke dalam kepulauan Indonesia, sehingga Indonesia menjadi negara-bangsa yang utuh.

Muhammadiyah dengan pandangan Islam berkemajuan senantiasa berusaha untuk mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Muhammadiyah telah dan akan terus memberikan sumbangan besar di dalam upaya-upaya mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa serta mengembangkan moral politik Islam yang berwawasan kebangsaaan di tengah pertarungan berbagai ideologi dunia. Apa yang selama ini dikerjakan Muhammadiyah telah diakui oleh masyarakat luas dan Pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah sendiri menetapkan K. H. Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 657 tanggal 27 Desember 1961, dengan pertimbangan sebagai berikut: (1) kepeloporan dalam kebangunan umat Islam Indonesia untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang harus belajar dan berbuat; (2) memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya, ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan dan beramal bagi masyarakat dan umat; (3) memelopori amal-usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangunan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan (4) melalui organisasi ‘Aisyiyah telah memelopori kebangunan wanita bangsa Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria. Nyai Walidah Dahlan karena kiprah kebangsaan yang diperankannya melalui ‘Aisyiyah juga ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, yang memperkuat bukti kepercayaan dan pengakuan negara terhadap perjuangan Muhammadiyah dan organisasi perempuannya itu.

Setelah Indonesia merdeka, pengabdian Muhammadiyah terhadap bangsa dan negera terus berlanjut. Khidmat kebangsaan ini lahir dari pesan ajaran Islam yang berkemajuan dan didorong oleh keinginan yang kuat agar Indonesia mampu melangkah ke depan menjadi negara dan bangsa yang unggul sejalan dengan cita-cita kemerdekaan. Kiprah dan pengkhidmatan Muhammadiyah sepanjang lebih satu abad itu merupakan bukti bahwa Muhammadiyah ikut “berkeringat”, berkorban, dan memiliki saham yang besar dalam usaha-usaha kemerdekaan dan membangun Negara Indonesia. Karenanya Muhammadiyah berkomitmen untuk terus berkiprah membangun dan meluruskan arah kiblat Indonesia sebagai Negara Pancasila.

Baca juga : pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker