BeritadefaultKhazanah

Pengertian Pluralisme Agama

Buku TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part II

Pluralisme Agama

Dalam Timbangan Keyakinan Muhammadiyah

Oleh : Fathurrahman Kamal

Buku TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part II

 

Pengertian Pluralisme Agama

Dalam wacana dan kajian-kajian ilmiah tentang pluralisme agama terdapat dua kata yang seringkali diungkapkan oleh para ahli dan terkesan tumpang tindih; pluralitas dan pluralisme. Secara etimologis, kedua kata tersebut berasal dari kata dasar ‘plural’ dan masing-masing merupakan terjemahan dari dua kata dalam bahasa Inggris ‘plurality’ dan ‘pluralism’. Kata ‘plurality’ (pluralitas) dalam kamus berarti “kondisi majemuk atau berbilang”.  Sedangkan kata ‘pluralism’ (pluralisme) dalam Oxford Dictionary  bermakna ganda; (a) the existence in one society of a number of groups that belong to different races or have different political or religious beliefs (keberadaan kelompok-kelompok yang berbeda dari segi etnis, politik dan keyakinan agama dalam suatu masyarakat) dan (b) the principle that these different groups can live together in peace in one society (suatu prinsip atau pandangan yang manyatakan bahwa kelompok-kelompok yang berbeda tersebut dapat hidup dengan damai dalam suatu masyarakat).

Jika dilihat dari makna asal (etimologis) kedua kata ‘pluralitas’ dan ‘pluralisme’ tampak tidak terdapat permasalahan perbedaan mendasar. Kedua kata ini merujuk kepada sesuatu yang menyatakan dan mengakui adanya realitas kemajemukan dan keragaman unsur  masyarakat yang hidup berdampingan dengan damai. Tidak berbeda dengan makna pluralisme yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (‘keadaan masyarakat yang majemuk dari sisi sistem sosial dan politiknya’). Tetapi jika dihubungkan dengan kata ‘agama’, lalu menjadi ‘pluralitas agama’ dan ‘pluralisme agama’ maka kedua kata tersebut membentuk konsep yang masing-masing memiliki aksentuasi dan referensi makna yang berbeda. Pluralisme, merupakan pandangan yang berupaya membenarkan keberagaman filsafat, dengan menegaskan bahwa semua kebenaran bersifat relatif, dan menganggap semua keyakinan filosofis dan religius dalam pengertian relativisme murni, sebagai pendapat-pendapat pribadi yang semuanya mempunyai nilai yang sama.

Menelaah diskursus pluralisme agama di Indonesia, pada umumnya bermuara pada gagasan mengenai “kalimatun sawa’”,atau “common flatform” Agama-Agama yang bersumber pada teori “The Trancendent Unity Of Religions” yang digagas oleh

Frithjof Schuon. Schoun dikenal sebagai seorang tokoh terkemuka dalam filsafat abadi dan metafisika tradisional. Pemikirannya dipuja dan diikuti oleh para intelektual bertaraf internasional dan lintas agama. Schoun mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris  dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik semua agama-agama ortodoks. Ia mengungkap konsep Satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Ia menyeru manusia agar dekat kepada-Nya.

Huston Smith, dalam “kata pengantar”nya pada buku yang ditulis oleh Schoun, “The Trancendent Unity of Religions” menggambarkan gagasan kesatuan transenden agama-agama sebagai berikut :

Teori Kesatuan Transendental Agama-Agama (KTAA) selanjutnya diadopsi  oleh Cak Nur dengan mengkonstruksi argumentasi teologis. Ia merumuskan tesisnya tentang kesatuan agama-agama terdapat  pada tingkatan tertinggi yakni “sikap pasrah” (islam dalam maknanya yang generic). “Islam” (pasrah kepada Tuhan) menurutnya, menjadi titik pertemuan antara agama-agama, khususnya Islam, Yahudi dan Nasrani. Pemikiran Cak Nur tentang Islam inklusif dapat penulis gambarkan sebagai berikut :

Berdasarkan pada keyakinan bahwa agama-agama tersebut berasal dari sumber yang satu, dan semua Nabi dan Rasul membawa ajaran yang sama, yaitu Islam (pasrah kepada Tuhan) maka, semua umat pengikut mereka adalah umat yang satu, tunggal (ummatan wâhidah). Konstruksi Islam inklusif di atas setidaknya dijustifikasi oleh Cak Nur dengan mengandaikan “esoterisme” sebagai “kalimatun sawa’”, dan “eksoterisme” sebagai “al-Islâm al-khâsh” (Islam par-excellent) yang diklaim sebagai pandangan teologis Ibnu Taymiyah.

Konsep kesatuan dasar ajaran, menurut Cak Nur membawa kepada kesatuan umat beriman. Jika diteliti dengan seksama gagasan Cak Nur persis sama dengan kesimpulan seorang teolog liberal Proffesor John Hick berikut ini:

“…the term refers to a particular theory of the relation between these traditions, with their different and competeting claims. This is the theory that the great world religions constitute variant conceptions and perceptions of, and responses to the one ultimate, mysterious divine reality.”

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa klaim kebenaran pluralis ini memberikan afirmasi dan penegasn bahwa semua agama, yang teistik maupun    yang non-teistik dapat dianggap sebagai “ruang-ruang” soteriologis (soteriological spaces) atau “jalan-jalan” soteriologis (soteriological ways) yang padanya manusia bisa mendapatkan keselamatan/ kebebasan dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam terhadap Hakekat ketuhanan (The Real) yang sama dan transenden.

 

Baca Juga PLURALISME AGAMA Part 1

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker