BeritadefaultKhazanah

Menuju Kesamaan Agama-Agama

Buku TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part V

Pluralisme Agama

Dalam Timbangan Keyakinan Muhammadiyah

Oleh : Fathurrahman Kamal

Buku TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part V

Menuju Kesamaan Agama-Agama

Dalam konteks perkembangan diskursus pluralisme agama di Barat terdapat dua aliran besar yang berbeda satu sama lainnya; paham yang dikenal dengan program Teologi Global (Global Theology) dan paham Kesatuan Transenden Agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kadua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik dan cenderung saling menyalahkan.

Meskipun kedua model pemikiran tersebut muncul di Barat dan menjadi pusat perhatian mereka, namun kedua-duanya memiliki motif dan tawaran solusi yang berbeda. Aliran pertama (Global Theology) yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis, dan motif terpentingnya adalah tuntutan modernisasi dan globalisasi. Berangkat dari asumsi pentingnya agama di era globalisasi maka, hubungan agama dan globalisasi menjadi tema yang sangat penting dan sentral dalam kajian Sosiologi Agama. Dalam paham ini tampak agama diposisikan sebagai “ancaman” bagi program globalisasi. Dengan mind-sett seperti ini tidaklah asing jika kajian-kajian ilmiah, seminar tentang dialog antar-agama, global ethic, religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lainnya marak diseluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Aliran ini (Global Theology) menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis, kultur, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Pendekatan yang digunakan oleh aliran teologi ni terhadap agama-agama lain lebih bersifat sosiologis, kultural dan ideologis. Kelompok ini meyakini bahwa semua agama sedang ber-evolusi, saling mendekat dan pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan-perbedaan antar yang satu dengan lainnya, dan kemudian melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi ini maka John Hick, salahsatu tokoh terpentingnya, memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang disebut global theology. Selain Hick, tokoh terpenting lainnya adalah  Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies.

Adapun aliran kedua yaitu, paham Kesatuan Transenden Agama-agama (Transcendent Unity of Religions) didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat. Berbeda dengan aliran pertama, para filosof dan teolog dalam aliran ini menolak modernisasi dan globalisasi yang cenderung menepikan agama dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama. Solusi yang ditawarkan oleh aliran ini adalah pendekatan religious filosofis dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini, agama tidak dapat diubah begitu saja lalu mengikuti globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu sendiri. Agama tidak dapat dilihat hanya dari perspektif sosiologis ataupun histories dan tidak pula bisa dihilangkan identitasnya. Berikutnya kelompok ini memperkenalkan pendekatan tradisional  dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salahsatu konsep utamanya adalah Sophia Perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut oleh Seyyed Hossein Nasr sebagai al-Hikmah al-Khalidah. Diantara tokoh-tokoh terpentingnya; René Guénon (w. 1951), Titus Burkhardt (w. 1984), Martin Ling, Fritjhof Schoun (w. 1998), Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Henry Corbin, E.F. Schumacher, William C. Chittick dan lain-lain.

Pertentangan antara kedua aliran tersebut di atas hanyalah bersifat artifisial atau permukaan semata, namun secara substantif mengkerucut kepada gagasan kesamaan Agama-Agama sampai pada level terdalam (teologis). Inilah problem krusial dalam diskursus pluralisme agama dalam perspektif Agama-Agama di dunia. Demikian pula berbagai trend pemikiran pluralisme pada umumnya bertemu di satu titik yang sama yaitu semua agama itu sama. Tidak ada yang lebih baik atau benar antara yang satu dengan yang lainnya. Kesimpulan ini diungkapkan oleh Proffesor John Hick, yang dikenal sebagai sosok teolog modern yang memberikan perhatian sangat mendalam terhadap masalah pluralisme agama. Ia menyatakan demikian:

“…the term refers to a particular theory of the relation between these traditions, with their different and competeting claims. This is the theory that the great world religions constitute variant conceptions and perceptions of, and responses to the one ultimate, mysterious divine reality.”

Klaim kebenaran pluralis ini menegaskan bahwa semua agama, yang teistik maupun yang non-teistik dapat dianggap sebagai “ruang-ruang” soteriologis (soteriological spaces) atau “jalan-jalan” soteriologis (soteriological ways) yang padanya manusia bisa mendapatkan keselamatan/ kebebasan dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam terhadap Hakekat ketuhanan (The Real) yang sama dan transenden.

Pemikir muslim di tanah air seperti Budhy Munawar-Rachman mengafirmasi gagasan pluralis di atas. Baginya perbedaan antara Kristen dan Islam misalnya, hanyalah pada skala prioritas dalam meletakkan rumusan dan pengalaman iman terhadap Tuhan yang sama.

Pada bagian lain dari bukunya “Islam Pluralis”, Budhy Munawar-Rachman menegaskan bahwa pluralism theology atau teologi pluralis adalah melihat agama-agama lain dibanding dengan agama sendiri dalam rumusan: “Other religions are equally valid ways to the same truth” [Agama-Agama lain adalah merupakan jalan yang sama benar menuju Kebenaran Yang Sama](John Hick), “Other religions speak of different but equally valid truth” (John B. Cobb Jr.) atau “Each religion expresses an important part of the truth [Setiap agama mengekspresikan bagian penting dari kebenaran] (Raimundo Panikkar).

Gagasan pluralis lainnya dapat dicermati pada tulisan Ulil Abshar Abdalla bertajuk “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam”. Menurutnya, semua agama adalah benar sesuai dengan kadar penghayatan pemeluk agama dalam menempuh jalan religiusitas tersebut, apapun agamanya. Munir Mulkhan pada bukunya berjudul, “Kesalehan Multikultural, Ber-Islam Secara Autentik-Kontekstual di Aras Peradaban Global”menegaskan kesamaan Tuhan-Tuhan bagi pemeluk semua agama. Sebagai solusi teologis atas pertikaian dan konflik antar-umat manusia, Mulkhan menyatakan perlunya mendekonstruksi konsep berketuhanan. Lebih tegas lagi, Sukidi menyatakan pandangannya tentang ragam kebenaran dalam Agama-Agama, dan bersebabnya semua agama adalah benar.

Dalam upayanya untuk menemukan titik temu agama-agama, Sukidi menyodorkan argumentasi dengan paradigma dan metodologi berpikir para teolog liberal Kristen. Menurutnya, menjadi muslim pluralis, mutlak untuk menerjemahkan iman yang mengakui kebenaran dan keselamatan agama-agama demi pembebasan terhadap yang tertindas. Sementara mengenai perbedaan ritual umat beragama, Zuly Qadir berpendapat bukanlah hal prinsip yang perlu dipertentangkan. Sebab, ritual hanyalah perbedaan yang bersifat lahir yang tak lebih dari sekedar simbol bagi umat beragama.

Gagasan dalam diskursus pluralisme agama yang berorientasi kepada kesamaan Agama-Agama lebih lanjut dapat dirujuk kepada Said Aqiel Siradj dalam tulisannya bertajuk “Laa Ilaha Ilallah”. Menurutnya, keyakinan Kristen Ortodoks Syria dengan Islam (sunni) walaupun berbeda dalam peribadatan (syari’ah), pada hakekatnya memiliki persamaan yang sangat substansial dalam bidang Tauhid. Sementara dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Khamami Zada menyatakan perlunya dekonstruksi atas konsep-konsep kunci dalam sistem keimanan seorang muslim agar tidak menganggap agama lain salah dan tidak memperoleh keselamatan.

Cak Nur, dalam berbagai tulisannya, mempopulerkan istilah ‘teologi universal’, yang diarab-kannya menjadi “kalimatun sawâ”, “titik persamaan” atau “ teologi kesatuan agama-agama”. Pernyataan ini, sejatinya adaptasi dari gagasan yang diusung oleh Frithjof Schuon dalam rumusannya The Transcendent Unity of Religions (kesatuan transendental Agama-agama). Wacana ini membayangkan adanya titik temu antar-agama pada level esoteris. Jika ditelaah dengan seksama, tidaklah terdapat perbedaan mendasar antara kedua gagasan tersebut; hanya saja Cak Nur sangat kental dengan penggunaan idiom-idiom Islam sementara Schoun menggunakan sebuah perangkat yang ia sebut sebagai ‘filsafat Perennial’ (philosophia perennis) yang kemudian  oleh Sayyed  Hossein Nasr – muridnya Schoun diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi al-hikmah al-khâlidah).

 

Baca Juga PLURALISME AGAMA Part 4

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker