BeritadefaultKhazanah

Pluralisme Agama

Buku TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part I

Pluralisme Agama

Dalam Timbangan Keyakinan Muhammadiyah

Oleh : Fathurrahman Kamal

Buku TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part I

Pendahuluan

Arus globalisasi dalam bentuknya yang kita saksikan pada masa ini memberikan ruang dan fasilitas yang sangat memadai untuk transformasi terorisme dari bentuknya yang tradisional menuju format baru yang bersifat global. Hal ini tak lepas dari potret suram globalisasi yang diciptakan oleh neo-liberalisme, sarat dengan kekerasan, ketimpangan, dan ketidak-adilan global. Politik globalisasi telah mengkibatkan gelombang marginalisasi ekonomi di berbagai Negara dan keterasingan sosial yang semakin mendorong komunitas multi-budaya di Negara-negara berkembang untuk merumuskan counter-ideology terhadap globalisasi untuk mempertahankan dan mengekspresikan budaya dan identitas mereka. Di sinilah kemudian kita dapatkan wajah fundamentalisme yang tidak tunggal, tetapi terstruktur sebagai sesuatu yang lintas agama, etnis dan negara. Sejatinya, yang kita saksikan saat ini bukanlah benturan antar peradaban tetapi benturan antar fundamentalisme; fundamentalisme global Amerika berhadapan secara diametral dengan ekstrimisme Islam (tertentu) yang mengekspresikan perlawanannya dengan mekanisme teror.

Fundamentalisme juga disinyalir sebagai kegagalan sebagian muslim dalam berkomunikasi dengan tantangan-tantangan globalisasi yang penuh paradoks. Ini pula yang membuat mereka mengalami suasana keterasingan baik secara individu maupun sebagai bagian dari kelompok sosial yang lebih besar. Fundamentalisme bukanlah gerak kembali yang sederhana kepada suatu cara yang pramodern dalam memahami agama,tetapi lebih sebagai respon panik dan gagap menghadapi modernitas dan globalisasi. Kepanikan ini ditandai dengan resistensi diri terhadap prinsip-prinsip kehidupan global. Resistensi diri termanifestasikan dalam sikap religiusitas yang berlebihan (baca: al-ghuluw) dan menutup kemungkinan komunikasi dengan dunia luar.

Mengamati kenyataan tersebut, Marc Gopin dalam bukunya Religion,Violence and  Conflict Resolution menyatakan demikian;

Religion plays the central role in the inner life and social behaviour of millions of human beings. But, as a faith-based commitment to peace, religion is a complex phenomenon. While some believers creatively integrate their spiritual tradition and peace-making, many others engage in some of the most destabilizing violence confronting the global community today

Dalam pandangan Nurcholish Madjid (selanjutnya Cak Nur), konflik di atas tidak hanya disebabkan oleh faktor keagamaan melainkan faktor kebangsaan, kesukuan, kebahasaan, kesenjangan ekonomi, dan yang lainnya. Namun jelas sekali bahwa, nuansa dan warna keagamaan tidak dapat diabaikan begitu saja, dan setiap konflik yang bernuansa keagamaan selalu melibatkan agama formal  (organized religion). Dengan kata lain, fundamentalisme keagamaan berjalan secara paralel dengan realitas yang mengitarinya. Fundamentalisme merupakan wajah artifisial yang otentik dari rasa keterasingan (alienasi) dan sok secara kultural. Gejala sosial-psikologis negatif seperti ini merupakan akibat perubahan sosial yang cepat, bahkan teramat cepat di segala bidang, khususnya informasi dan transportasi. Gejala dislokasi kejiwaan, disorientasi (kehilangan pegangan hidup karena runtuh atau goyahnya nilai-nilai lama) dan deprivasi relatif (perasaan teringkari atau tersingkirkan dalam bidang-bidang kehidupan tertentu) selalu menyertai perubahan sosial seperti ini, sekaligus merupakan sumber krisis.

Mengapa jalan “pintas” ini menjadi sangat populer? Para sarjana menjelaskan bahwa, dalam suasana tidak siap mental, orang mudah terjebak pada jawaban-jawaban yang instan dan bersifat klaim “pertolongan dari langit”, dan sangat tergantung kepada “pemimpinnya”, atau tepatnya dalam aksi terorisme, sang pendoktrin (pen.). Inilah sebuah kultus atau fundamentalisme dijalankan dengan sistem pengorganisasian yang ketat, penuh disiplin, absolistik, dan kurang toleran terhadap orang lain. Kultus berpusat pada ketokohan pribadi yang menarik, retoris dan memukau, pandai menghasut untuk pengorbanan harta dan jiwa yang tidak proporsional, sederhana, penuh keteguhan serta menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan.  Gejala semacam ini disebut oleh Erich Fromm sebagai Escape from Freedom (Lari dari Kebebasan). Inilah salah satu basis sosial-psikologis bagi munculnya totalitarianisme, “Freedom can be frightening; totalitarinism can be temting” (kebebasan dapat menakutkan; totalitarianisme dapat menggiurkan). Oleh karenanya, kata Nurcholish Madjid, bagaimanapun juga kultus dan fundamentalisme hanyalah pelarian dalam keadaan tidak berdaya dan hanya memberi hiburan ketenangan semu atau palliative, kultus dan fundamentalisme adalah sama bahayanya dengan narkotika. Cak Nur berpandangan bahwa sikap ekslusif dan menutup diri dari realitas global melahirkan sikap hidup yang terjebak pada kultus dan fundamentalisme, fundamentalisme melahirkan kekerasan dan terorisme atas nama agama, yang semua ini akan berakhir pada kehancuran manusia.

Pandangan Cak Nur tersebut terinspirasi dari A. N Wilson, seorang novelis dan wartawan dari Inggris, penulis buku berjudul Against Religion : Why We Should Try to Live Without It. Meskipun dalam posisi merisaukan fakta keras kehidupan dan peradaban Barat, tampak Cak Nur mengadopsinya tanpa sikap kritis, dan bahkan menyamakannya dengan apa yang terjadi di kalangan atau dunia Islam. Kegelisahan atau kerisauan tersebut disebut  sebagai “dilema Wilson”. Berikut kutipannya,

Dalam Al-Kitab (BIBEL) dikatakan bahwa cinta uang adalah akar segala kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagai candu; tetapi agama jauh lebih berbahaya dari candu. Agama tidak membuat orang tertidur. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesama.

Tak berbeda dengan  “dilema Wilson” di atas, Cak Nur pun mengalami kegelisahan intelektual (sense of crisis) ini,  lalu menggagas cara pandang Islam yang inklusif. Beberapa pengamat menyebutnya sebagai “teologi inklusif” yang merupakan manifestasi dari “monoteisme Islam yang inklusif”. Berikut penuturan Cak Nur,

“Pandangan-pandangan inklusifistik seperti dikemukakan Ibn Taymiyyah, amat relevan untuk dikembangkan pada zaman sekarang, yaitu zaman globalisasi, membuat umat manusia hidup dalam sebuah “desa buwana” (global village). Dalam desa buwana itu, seperti telah disinggung, manusia akan semakin intim dan mendalam mengenal satu sama lain, tapi sekaligus juga lebih mudah terbawa kepada penghadapan dan konfrontasi langsung. Karena itu sangat diperlukan sikap-sikap saling pengertian dan paham, dengan kemungkinan mencari dan menemukan titik kesamaan atau kalimatun sawâ’ seperti diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an.”

Justifikasi Cak Nur terhadap “dilema Wilson” dan menurunkannya dalam struktur pandangan alam Islam merupakan suatu konfirmasi otentik bagi pengaruh globalisasi terhadap pemikiran keagamaan dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu secara teologis, bahkan sampai pada tataran dekonstruksi konsep dan makna.

Lebih lanjut, Adnan Aslan, seorang peneliti pada Turkish Religious Foundation-Center for Islamic Studies menegaskan  bahwa dalam konteks pengaruhnya terhadap agama-agama, globalisasi telah melahirkan sedikitnya tiga dampak yang sangat serius; pertama, menimbulkan perubahan dalam suatu agama. Dalam konteks ini, respon agama terhadap fenomena tersebut berbeda-beda sesuai dengan karakteristik teologis dan doktrinalnya; kedua, menimbulkan interaksi antar agama dan komunitas beragama. Hal ini berakibat pada kesadaran untuk “membaca” kembali doktrin-doktrin tradisional mereka dan juga membuka identitas historis mereka; ketigamenciptakan konteks baru bagi berbagai teori pluralisme agama yang merupakan akibat dari interaksi agama yang sangat pesat.

Dalam konteks inilah kemudian terdapat problem akademis yang perlu dijelaskan;  apakah diskursus pluralisme agama berorientasi secara autentik  kepada terwujudnya kehidupan dalam suasana harmoni dan ko-eksistensi seperti yang diklaim oleh umumnya pemikir pluralis muslim di tanah air, ataukah justeru mengandung makna sekaligus seruan afirmasi kesamaan Agama-Agama dalam perspektif relativisme murni atau sinkretisme agama, yang kemudian melahirkan respon negatif dari para tokoh-tokoh  dan teolog dari berbagai Agama itu sendiri.

 

Baca Juga LIBERALISASI Part 7

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker