BeritadefaultKhazanah

Justifikasi Sekularisasi

BUKU TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part III

SEKULARISME DAN SEKULARISASI

(menelusuri gagasan sekularisasi nurcholish madjid)

Oleh: Adnin Armas, MA

BUKU TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part III

Justifikasi Sekularisasi         

Dalam tulisannya yang ketiga, “Sekali Lagi Tentang Sekularisasi”, Nurcholish berusaha mencari justifikasi dari ajaran-ajaran Islam. Ia menyatakan, gagasan sekularisasi dapat dijustifikasi dari dua kalimat syahadat, yang mengandung negasi dan afirmasi. Menurut tafsirannya, kalimat syahadat menunjukkan bahwa manusia bebas dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Dan Islam dengan ajaran Tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu, telah mengikis habis kepercayaan animisme. Ini bermakna dengan tauhid, terjadi proses sekularisasi besar-besaran pada diri seorang Animis. Manusia ditunjuk sebagai khalifah Tuhan di bumi karena manusia memiliki intelektualitas, akal pikiran, atau rasio. Dengan rasio inilah, manusia mengembangkan diri dan kehidupannya di dunia ini. Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi. Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi.

Nurcholish melanjutkan argumentasinya, di dalam Islam ada konsep “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Hari agama ialah masa di mana hukum-hukum yang mengatur hubungan antara mannusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku ialah hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya, Pada Hari Dunia yang sekarang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia.

Nurcholish menyatakan bahwa kalimat Basmallah (Atas nama Tuhan), juga menunjukkan bahwa manusia adalah Khalifah Tuhan di atas bumi. Selain itu, al-Rahman menunjukkan sifat kasih Tuhan di dunia ini (menurut ukuran-ukuran duniawi), sedangkan al-Rahim menunjukkan sifat Kasih itu di akhirat (menurut norma-norma ukhrawi). Penghayatan nilai/spiritualkeagamaan bukanlah hasil kegiatan yang serba rasionalistis. Demikian pula sebaliknya, masalah-masalah duniawi tidak dapat didekati dengan metode spiritualistis. Keduanya mempunyai bidang yang berbeda, meskipun antara iman dan ilmu itu terdapat pertalian yang erat.

Pendapat Nurcholish bahwa akar sekularisasi ada dalam ajaran Islam sama dengan pendapat Harvey Cox yang menyatakan bahwa akar sekularisasi ada di dalam ajaran-ajaran Bible. Dengan mengutip pandangan Friedrich Gogarten (1887-1967), seorang teolog Jerman, Harvey Cox menyatakan sekularisasi “adalah konsekwensi sah dari implikasi keimanan Bible terhadap sejarah”. Harvey Cox memaparkan tiga komponen penting dalam Bible menjadi kerangka asas kepada sekularisasi. Ajaran Bibel mengenai Penciptaan, menjadi dasar kepada pengosongan alam dari nilai-nilai spiritual; migrasi besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir dalam Bibel menjadi dasar kepada desakralisasi politik; dan Perjanjian Sinai (Sinai Covenant) merupakan dasar kepada relativitas nilai.

Dunia, kata Harvey Cox, perlu dikosongkan dari nilai-nilai ruhani dan agama. Dalam istilah Cox, ini disebut ‘disenchantment of nature, Sains bisa berkembang dan maju, jika dunia ini dikosongkan dari tradisi atau agama yang menyatakan bahwa ada kekuatan supernatural yang menjaga dunia ini. Disebabkan kekuatan ghaib itulah, maka bagi tokoh-tokoh agama konservatif, dunia ini tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang. Padahal, pembebasan dunia ini dari nilai-nilai ghaib itu menjadi syarat penting bagi usaha-usaha urbanisasi dan modernisasi. Manusia harus mengeksploitasi alam seoptimal mungkin, tanpa perlu dibatasi oleh pandangan hidup agama apa pun. Jika dunia ini dianggap sebagai manifestasi dari kuasa supernatural, maka sains tidak akan maju dan berkembang. Jadi, dengan cara apa pun, semua makna-makna ruhani keagamaan ini mesti dihilangkan dari alam. Maka, ajaran-ajaran agama dan tradisi harus disingkirkan. Jadi, alam bukanlah suatu entitas yang suci.

Konsep sekularisasi dalam politik diistilahkan dengan ‘Desacralization of politics’, yang bermakna bahwa politik tidaklah sakral (desakralisasi politik). Jadi, unsur-unsur ruhani dan agama harus disingkirkan dari politik. Oleh sebab itu juga, peran ajaran agama ke atas institusi politik harus disingkirkan. Ini menjadi syarat untuk melakukan perubahan politik dan sosial yang juga akan membenarkan munculnya proses sejarah. Segala macam kaitan antara kuasa politik dengan agama dalam masyarakat apa pun tidak boleh berlaku karena dalam masyarakat sekular, tidak seorang pun memerintah atas otoritas ‘kuasa suci’. (Dari gagasan ini bisa dipahami, jika kaum sekular menolak mati-matian penerapan syariat Islam dalam kehidupan politik).

Sebagaimana halnya sekularisasi dalam dunia dan politik, sekulariasi juga terjadi dalam kehidupan dengan penyingkiran nilai-nilai agama (deconsecration of values/dekonsekrasi nilai-nilai). Dalam pandangan sekular, kebenaran adalah relatif. Tidak ada nilai yang mutlak. Sistem nilai manusia sekular harus dikosongkan dari nilai-nilai agama.  Karena perspektif seseorang dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, maka tidak ada  seorang pun yang berhak memaksakan sistem nilainya ke atas orang lain. Manusia sekular mempercayai bahwa ‘wahyu langit’ bisa difahami karena terjadi dalam sejarah, yang dibentuk oleh kondisi sosial dan politik tertentu. Jadi, sebenarnya, semua sistem nilai, terbentuk oleh sejarah yang mengikuti ruang dan waktu dan tertentu. Sekularisasi meletakkan tanggungjawab ke dalam otoritas manusia untuk membina sistem nilai. Sekularisasi akan menjadikan sejarah dan masa depan cukup terbuka untuk perubahan dan kemajuan karena manusia akan bebas membuat perubahan serta pro-aktif dalam proses evolusi.

 

Baca juga SEKULARISME DAN SEKULARISASI Part II

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker