default

Menegakkan Prinsip Wasathiyah Dalam Paham & Perilaku Keagamaan Kita

Part 1

Iftitah : Antara “Radikalisme”, “Fundamentalisme” dan “ Wasathiyah”

Pertama-tama saya ingin memberikan catatan atas istilah “Islam ekstrem” atau “Islam radikal”–dan berbagai istilah turunan lainnya–, yang sampai saat ini terus digunakan dalam bahasa media publik maupun dalam kajian-kajian yang bersifat akademik.  Adakah “Islam ekstrem” atau mungkinkah Islam (baca: sebagai din) menjadi ekstrem? Atau barangkali yang ekstrem adalah “pemeluknya”?

Membincangkan masalah “radikalisme” sama sulitnya dengan wacana terorisme, khususnya pasca peledakan gedung kembar WTC di Amerika Serikat lalu. Di masa penjajahan Belanda, istilah ‘radikal’ bermakna positif bagi pejuang kemerdekaan RI. Dalam disertasinya di Utrecht, Belanda, Adnan Buyung Nasution mencatat, pada tahun 1918, di Indonesia dibentuk apa yang disebut sebagai “Radicale Concentratie”, yang terdiri atas Budi Utomo, Sarekat Islam, Insulinde, dan Indische Sociaal Democratische Vereniging. Tujuannya untuk membentuk parlemen yang terdiri atas wakil-wakil yang dipilih dari kalangan rakyat. Azyumardi Azra juga menyebut Sarekat Islam (SI) lokal sebagai kelompok Islam garis keras atau Islam radikal. Radikalisme SI lokal menunjukkan amalgamasi ‘ideologi’ revivalisme Islam, Mahdiisme atau Ratu Adil, dan antikolonialisme. Pasca Orde Baru, menurut Azra, ada fenomena gerakan amar maruf nahi munkar sebagai bagian dari gerakan Islam garis keras atau Islam radikal.(Dikutip dari Khamami Zada, Islam Radikal : Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Jakarta : Teraju, 2002).

‘Radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radixradicis”, artinya akar ; (radicularadiculae : akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada akar kata “akar” ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Sedangkan “radikalisme”, diartikan sebagai: “paham atau aliran yang radikal dalam politik”, “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras atau drastis”, “sikap ekstrim di suatu aliran politik”…Kriteria ‘Islam radikal’ yang disebutkan dalam buku ini: (1) kelompok yang mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung; (2) dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka, (3) secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas. (4) Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak  secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan.

Tentang ideologi ‘Islam radikal’, buku ini mengutip pendapat John L. Esposito (dari bukunya, Islam: The Straight Path), yang lebih suka menggunakan istilah ‘Islam revivalis’. Pertama, mereka berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat. Kedua, mereka seringkali menganggap bahwa ideologi  masyarakat Barat yang sekular dan cenderung materislistis harus ditolak. Ketiga, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk ‘kembali kepada Islam’ sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial. Keempat, karena idelogi masyarakat Barat harus ditolak, maka secara otomatis peraturan-peraturan sosial yang lahir dari tradisi Barat, juga harus ditolak. Kelima, mereka tidak menolak modernisasi sejauh tidak bertentangan dengan standar ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan, dan tidak merusak sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final. Keenam, mereka berkeyakinan, bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil  tanpa menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat.

Pemikir lainnya, Roger Garaudi menggunakan istilah “Fundamentalisme” yang ia terjemahkan menjadi “al-Ushuliyah” dalam bahasa Arab. Menurutnya, Istilah fundamentalisme belum dikenal dalam kamus-kamus bahasa sampai waktu yang sangat dekat sekali. Sampai tahun 1996, istilah ini belum ada dalam Kamus Besar Ruber. Demikian juga Encyclopædia Universalis, sampai tahun 1968 belum memuat istilah ini.

Kamus Kecil La Rose pada tahun 1996 memberikan definisi yang sangat umum bagi istilah fundamentalisme: ‘sikap yang dimiliki oleh mereka yang menolak penyesuaian akidah dengan kondisi baru’. Sedangkan Kamus Saku La Rose pada tahun 1979 mengkhususkan istilah ini pada ajaran Katolik belaka: ‘potensi pemikiran yang dimiliki oleh sebagian pemeluk Katolik yang tidak menyukai adanya penyesuaian dengan kondisi hidup yang baru’. Pada tahun 1984, muncul La Rose Besar yang memberikan definisi fundamentalisme yang lebih luas (dalam juz 12): ‘dalam gerakan agama, (fundamentalisme) adalah sikap statis yang menentang segala bentuk perkembangan’.

Dari beberapa definisi di atas, Garaudy menyimpulkan beberapa pembentuk dasar fundamentalisme, yaitu pertama: statisme (penolakan terhadap segala bentuk penyesuaian dan perkembangan); kedua: kembali kepada masa lalu (berafiliasi pada turâts, konservatif); dan ketiga: tidak toleran (tertutup, fanatisme madzhab). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fundamentalisme memposisikan dirinya sebagai statisme dalam menghadapi perkembangan; turâts dalam menghadapi kemodernan; dan fanatisme madzhab dalam menghadapi netralisme. Atau dengan satu kata, fundamentalisme dapat disebut sebagai lawan dari sekularisme.

Dengan pemaknaan yang tidak pasti, ambigu dan cenderung bermuatan misi politis tertentu, penulis tidak menggunakan dua istilah; “radikalisme” dan “fundamentalisme” yang disematkan kepada Islam ataupun umatnya. Demikian pula dengan istilah turunannya seperti deradikalisasi atau barangkali defundamentalisasi, yang banyak mendapat sorotan dan kritikan tajam, baik dari para pengamat terlebih lagi para aktivis muslim.

Dalam perspektif ini, penulis berupaya untuk melakukan otentisifikasi (ta’shil) permasalahan kekerasan yang bernuansa keagamaan dengan menyebutnya sebagai tindakan “tatharruf”, “tasyaddud” atau “ghuluw”. Demikian pula untuk meluruskannya, jika dipandang paham keagamaan sebagai salahsatu sebabnya maka, kami lebih cenderung untuk memilih penegakan prinsip “wasathiyah” dalam paham dan prilaku keagamaan kita, sebagaimana penjelasan berikut : “Dengan gerakan pencerahan Muhammadiyah terus bergerak dalam mengembangkan misi dakwah dan tajdid untuk bergerak menghadirkan Islam sebagai ajaran yang mengembangkan sikap tengahan (wasthiyah), membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjunjung tinggi akhlak mulia, dan memajukan kehidupan umat manusia. Komitmen Muhammadiyah tersebut menunjukkan karakter gerakan Islam yang dinamis dan progresif dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus kehilangan identitas dan rujukan Islam yang autentik.

Bersambung

Penulis : Ust Fathurrahman Kamal Lc., M.S.I (Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker