default

Fatwa Tarjih : Warisan Gana-Gini

H. Amin, BA., Krowe, Lembeyan, Magetan Jawa Timur

Kasus :

Seorang wanita, sebut saja namanya si A, meninggal dunia pada tanggal 14 Februari 1994 yang lalu. Tetapi sampai saat ini harta peninggalannya belum dibagikan kepada ahli warisnya. Harta peninggalannya berupa:

  1. Warisan dari orang tuanya berupa:
  2. Tanah persawahan seluas 1.350 m2, bernilai ± Rp. 50.000.000,00
  3. Tanah perumahan seluas 800 m2, bernilai ± Rp. 28.500.000,00
  4. Rumah belakang yang berukuran 12 x 8 m dan rumah dapur yang berukuran 8 x 7 m bernilai ± 15.000.000,00
  5. Usaha bersama A dan B (suaminya), yang berupa bangunan rumah depan yang berukuran 12 x 8,5 m, bernilai ± Rp. 12.500.000,00.

Suami A, yakni B, adalah seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil dengan gaji pensiunan sebesar 982.000 / bulan. Selama berumah tangga A selalu menganggur, dan B bekerja sebagai pegawai negeri sipil yang bergaji berubah-ubah sesuai dengan Peraturan Pemerintah; dan sambil menggarap sawah (sambil bertani) milik A seluas 1.350 m2 dan kadang-kadang menyewa tanah seluas 4950 m2 milik sebuah yayasan.

Pada saat meninggal dunia, A meninggalkan ahli waris sebagai berikut:

  1. Anak laki-laki sebanyak 4 orang
  2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki sebanyak 1 orang
  3. Saudara laki-laki sekandung sebanyak 7 orang
  4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung sebanyak 14 orang
  5. Anak laki-laki paman sekandung sebanyak 9 orang
  6. Suami
  7. Anak perempuan sebanyak 2 orang
  8. Anak perempuan dari anak laki-laki sebanyak 2 orang
  9. Saudara perempuan sekandung sebanyak 1 orang

Pertanyaan :

  1. Mana saja yang termasuk gana (harta bawaan pada saat nikah), dan mana gini ?
  2. Bagaimana cara pembagian harta-harta tersebut, dan ahli waris mana saja yang berhak menerima warisan dari A, serta berapa besar bagian masing-masing ?

Jawaban :

  1. Ter Haar – seorang ahli hukum adat – menerangkan bahwa harta yang diperoleh suami atau istri dari warisan orang tua masing-masing, baik yang terjadi sebelum akad nikah maupun setelah akad nikah, adalah harta bawaan (gawan).

Dalam ajaran Islam, setiap orang yang hidup di muka bumi ini memiliki ahliyyatul wujub (kecakapan berhak). Di antara kecakapan berhak ini ialah kecakapan untuk memiliki harta kekayaan yang antara lain diperoleh dari warisan. Kecakapan berhak ini tidak akan pernah gugur kecuali dengan meninggalnya orang tersebut. Sekedar contoh, perkawinan tidak akan menggugurkan hak milik seseorang baik dia sebagai suami atau sebagai istri. Oleh karena itu harta yang diperoleh istri atau suami dari warisan, baik yang terjadi sebelum akad nikah maupun setelah akad nikah, tetap menjadi milik masing-masing dari istri atau suami itu.

Dengan demikian dapat disampaikan bahwa harta bawaan (gawan) istri, yaitu A, ialah harta yang disebut dalam butir 1. a, b, c, atau jelasnya adalah :

– tanah persawahan seluas 1.350 m2

– tanah perumahan seluas 800 m2

– rumah belakang yang berukuran 12×8 m dan rumah dapur yang berukuran 8×7 m.

Sedangkan rumah depan (baru) yang dibangun bersama oleh A dan B adalah harta bersama, yang status pemilikannya adalah milik mereka berdua, yakni suami dan istri. Perlu dijelaskan di sini bahwa sekalipun istri tidak bekerja yang secara produktif untuk menghasilkan uang, namun perlu diingat bahwa A sebagai istri yang harus melayani dan mendampingi B sebagai suaminya, yang juga harus bekerja sebagai ibu rumah tangga, mengatur dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, mengasuh dan mendidik anak, tentunya harus dihargai secara materiil. Apalagi dalam hal ini A selaku istri memiliki andil (saham) untuk mendapatkan harta bersama itu, yakni sebidang sawah seluas 1.350 m2 yang dikerjakan oleh B suaminya. Oleh karena itu, menurut pendapat kami rumah depan (baru) yang dibangun bersama antara A dan B yang berukuran 12 x 8,5 m itu adalah milik bersama A dan B.

Dalam pasal 96 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan: Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Dengan demikian separuh dari rumah depan  (baru) yang dibangun oleh A dan B tersebut menjadi milik B, dan separuh yang lain menjadi milik A.

  1. Untuk menjelaskan cara pembagian harta waris tersebut, di samping diketahui ahli warisnya, juga harus diketahui jumlah harta peninggalan atau harta warisnya. Harta peninggalan atau harta waris yang ditinggalkan oleh A ialah, semua harta bawaan sebagai yang telah disebutkan di atas, ditambah dengan separuh dari harta bersama tadi.

Untuk pembagiannya, adalah sebagai berikut:

Langkah pertama, hendaknya diteliti apakah A dikala hidup mempunyai hutang atau pernah berwasiat. Jika ternyata mempunyai hutang atau berwasiat, maka sebelum harta waris dibagikan, dibayarkan terlebih dahulu hutang atau wasiat itu, dengan ketentuan wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 harta peninggalan, kecuali atas izin semua ahli waris. Tetapi jika tidak memiliki hutang dan wasiat, maka dapat langsung ke langkah berikutnya.

Langkah kedua, dihitung biaya tajhiz (perawatan jenazah). Harta peninggalan sebelum dibagi dikurangi dengan biaya tajhiz, kecuali untuk biaya tajhiz ini telah ditanggung secara ikhlas dan sukarela oleh ahli waris atau pihak lain, sehingga biaya tajhiz tidak perlu diperhitungkan sebagai pengurangan harta waris. Setelah langkah kedua ini, baru pada tahap pembagian, sebagai langkah berikutnya.

Langkah ketiga, harta waris dibagi kepada ahli waris sebagai berikut:

  1. Suami, yaitu B memperoleh ¼ dari harta waris tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ  (النساء:12)

Artinya : “Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat ¼ dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An-Nisa`:12).

  1. Selebihnya, yakni yang ¾ bagian harta waris dibagikan kepada 4 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan, dengan ketentuan bagian seorang anak laki-laki memperoleh dua kali bagian seorang anak perempuan, berdasarkan firman Allah:

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ (النساء:11)

Artinya : “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa`:11).

Sedangkan ahli waris yang lain, sebagaimana disebutkan di atas, yaitu:

  • Cucu laki-laki dari anak laki-laki sebanyak 1 orang
  • Saudara laki-laki sekandung sebanyak 7 orang
  • Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung sebanyak 14 orang
  • Anak laki-laki paman sekandung sebanyak 9 orang
  • Anak perempuan dari anak laki-laki sebanyak 2 orang
  • Saudara perempuan sekandung sebanyak 1 orang,

tidak mendapat bagian harta waris, karena mahjub (tertutup) dengan keberadaan anak laki-laki. Dalam ilmu faraidh, yang tidak mahjub (tertutup) oleh anak laki-laki yaitu:

  • Ibu
  • Ayah
  • Suami
  • Istri
  • Anak perempuan
  • Kakek Shahih
  • Nenek Shahihah.

Cucu laki-laki yang disebutkan dalam jawaban ini, apabila cucu laki-laki tersebut orang tuanya (anak A) masih hidup. *dw)

Sumber : Fatwa Tarjih 2004

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker