BeritadefaultKhazanah

Kritik terhadap al-Qur’an

Buku TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part V

LIBERALISASI

Liberalisasi Pemikiran Sebagai Tantangan Dakwah

Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi, PhD

Buku TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part V

 

II. Materi Liberalisasi

Jika geralam missionarisme, orientalisme dan kolonialisme tersebut diatas dicermati, ternyata didalamnya mengandung pemikiran yang kini digunakan untuk program liberalisasi pemikiran Islam. Diperkuat dengan doktrin postmodernisme liberalisasi pemikiran dan peradaban Islam menggunakan materi-materi yang berupa relativisme, pluralisme agama, sekularisme, humanisme, dekonstruksi, persamaan, feminisme & gender, individualisme, demokrasi dan lain-lain. Untuk mengetahuai ide-ide tersebut akan dijelaskan beberapa yang penting sbb:

a. Kritik terhadap al-Qur’an

Selain menanamkan doktrin relativisme langkah liberalisasi paling strategis adalah melakukan kritik terhadap al-Qur’an yang merupakan sumber kekuatan Islam. Ini juga merupakan skenario berdasarkan pengalaman Barat Kristen. Artinya pengalaman missionaris dalam mengkaji dan mengkritik Bibel itu digunakan untuk mengkaji dan mengkritik al-Qur’an. Perintisnya yang mulai menerapkan metodologi Bibel secara sistematis ke dalam studi al-Qur’an adalah Theodore Nöldeke, dengan karyanya Sejarah al-Qur’an (Geschichte des Qorans). Nöldeke kemudian didukung dan diikuti jejaknya oleh Pendeta Edward Sell (m. 1932), salah seorang tokoh misionaris terkemuka di Madras, India. Ia juga menjadikan karya Nöldeke itu sebagai model untuk kajian kritis al-Qur’an. Ia sendiri pada tahun 1909 menulis Historical Development of the Qur’an.

Kaitan antara kritik terhadap al-Qur’an dengan pengalaman mereka terhadap Bibel dapat dicermati dari pernyataan Pendeta Alphonse Mingana (m. 1937) sbb:

Sudah tiba masanya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap Bibel Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.”

Di Eropah komunitas Kristen (Christian community), telah berpengalaman dalam menghimpun Perjanjian Baru (New Testament) dengan memilih 4 dari sekian banyak Gospel, menghimpun sebuah korpus yang terdiri dari 21 Surat (Epistles), Perbuatan-Perbuatan (Acts) dan Apocalypse. Mereka kemudian menyamakan dengan mushaf-mushaf dalam sejarah al-Qur’an dengan korpus-korpus. Mushaf ‘Abdullah ibn Mas‘ud di Kufah dianggap sebagai al-Qur’an edisi mereka (their Recension of the Qur’an). MuÎÍaf AbË MËsÉ, dianggap korpus penduduk Basra dan MuÎÍaf MiqdÉd ibn al-Aswad sebagai korpus penduduk Damaskus, sedangkan MuÎÍaf Ubay sebagai korpus penduduk Syiria. Menurut Arthur Jeffery sikap umat Islam terhadap mushaf pada waktu itu paralel sekali dengan sikap pusat-pusat utama gereja terdahulu yang menetapkan sendiri beragam variasi teks untuk Perjanjian Baru. Hanya saja ia menyayangkan sikap para sarjana Muslim yang belum melakukan kritik teks kepada al-Qur’an, sebagaimana yang telah dilakukan kepada Bibel. Hal ini tampak menurut Jeffery, karena belum ada satupun dari para mufasir Muslim yang menafsirkan al-Qur’an secara kritis. Ia mengharapkan agar tafsir kritis terhadap teks al-Qur’an bisa diwujudkan. Caranya dengan mengaplikasikan metode kritis ilmiah (biblical criticism). Ia dengan terus terang meyatakan:

Apa yang kita butuhkan, adalah tafsir kritis yang mencontoh karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir al-Qur’an.”

Akibat penerapkan biblical criticism dalam studi al-Qur’Én, para orientalis  melontarkan berbagai pendapat yang kontroversial mengenai al-Qur’Én seperti:  al-Qur’Én telah mengalami berbagai penyimpangan; standartisasi al-Qur’Én disebabkan rekayasa politik dan manipulasi kekuasaan; Utsman ibn Affan salah karena telah mengkodifikasi al-Qur’Én; al-Qur’Én ditulis bukan dengan bahasa Arab tetapi bahasa Aramaik; al-Qur’Én adalah karangan Muhammad; terdapat sejumlah kesalahan dalam penulisan al-Qur’Én; tidak ada di dalam al-Qur’Én yang orisinal dan berasal dari langit karena wujudnya pengaruh Yahudi-Kristen yang sangat dominant dalam al-Qur’Én, menyamaratakan qira’Éh mutawÉtirah dengan qira’Éh shÉdhdhah, merubah kata dan kalimat dalam al-Qur’Én dan lain sebagainya. Dari hasil kajian kritis tersebut kesimpulannya adalah perlunya diwujudkan al-Qur’Én edisi kritis.

Upaya ini kemudian di adopsi oleh seorang dosen UIN Makassar yang menulis sebuah makalah berjudul Edisi Kritis al-Qur’an, yang didalamnya menyatakan bahwa al-Qur’an Mushaf Usmani meninggalkan sejumlah masalah tulisan dan bacaan yang mendasar. Selain itu ia juga menulis buku berjudul Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an yang didalamnya ia meragukan kesempurnaan Mushaf Usmani dan menurutnya tidak layak disucikan.

Dari kesimpulan bahwa al-Qur’an itu adalah hasil dari rekayasa politik dan manipulasi kekuasaan Usman Ibn Affan, pendukung liberal meniru dengan menyatakan

….al-Qur’an sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi perangkap bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya bangunan keislaman sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain.

Demikian pula asumsi para orientalis dari generasi ke generasi bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad juga di “telan” begitu saja oleh para sarjana Muslim. Pernyataan bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad dapat dilacak dari pernyataan G.Sale, [dalam bukunya The Qur’an:Commonly called al-Qur’an:Preliminary Discoursei, (1734)], Sir William Muir [dalam bukunya Life of Mahomet (1860)], A.N. Wollaston [dalam bukunya The Religion of The Koran (1905)], H. Lammens, dalam  [Islam Belief and Institution (1926)], Champion & Short [dalam buknya Reading from World Religious Fawcett, (1959),] JB. Glubb, [dalam bukunya The Life and Time of Muhammad (1970)] dan M. Rodinson [dalam bukunya Islam and Capitalism (1977)].

Muhammad Arkoun meniru pernyataan orientalis tersebut menjadi begini: al-Qur’an adalah wahyu Tuhan tapi ia diucapkan oleh Muhammad dan dengan bahasa Muhammad sebagai manusia biasa. Senada dengan itu seorang cendekiawan Muslim liberal yang diusir dari Mesir bernama Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahawa karena al-Qur’an turun dalam ruang sejarah Arab maka  ia adalah produk budaya Arab (muntaj thaqafi). Implikasi ide ini adalah bahwa al-Qur’an bukan firman Allah yang suci dan perlu disucikan dan disakralkan dan karena itu ummat Islam tidak perlu fanatik berpegang pada al-Qur’an; dan agar ummat Islam mau menafsirkan al-Qur’an tanpa takut-takut, karena ia hanya perkataan manusia biasa. Lebih detail mengenai pengaruh orientalis terhadap studi al-Qur’an Adnin Armas MA membuktikan dalam bukunya berjudul “Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an” (Kajian Kritis).

Jika jejak orientalis dalam mengkritik al-Qur’an ditiru maka akibatnya al-Qur’an akan bermasalah dan menjadi seperti Bibel. Kritik terhadap Bible (Biblical Criticism), bukan tanpa konsekuensi. Biblical Criticism, kata Buckley, justru melahirkan ateisme modern. Alasannya lugas dan logis. Ketika orang ragu akan teks Bible ia juga ragu akan isinya, akan kebenaran hakekat Tuhan dan kemudian tentang kebenaran eksistensi Tuhan sendiri. Hasil akhirnya adalah ateisme. Itulah akibatnya jika konsep Tuhan harus dicari dengan hermeneutik dan kritik terhadap teks Bible. Bahkan, tindakan-tindakan seperti menginjak asma Allah, melempar mushaf al-Qur’an ke lantai di depan kelas, dan mempersoalkan otentisitas al-Qur’an sudah mulai terjadi dikampus-kampus Islam.

Kritik terhadap al-Qur’an ini juga berkaitan dengan proses penerapan metode hermeneutika dalam memahami al-Qur’an. Sebab yang pertama-tama harus dilakukan dalam penggunaan hermeneutika ini adalah perubahan status teks al-Qur’an dari teks ilahi menjadi teks basyari (manusia). Jika status teks sudah diturunkan menjadi bersifat manusiawi yang meruang dan mewaktu maka dengan hermeneutika seseorang dapat melakukan perubahan teks (nash) dan juga perubahan makna-makna aslinya untuk dapat didekonstruksi sesuai dengan konteks sosial yang tidak lain adalah humanisme.

b. Penyebaran doktrin relativisme

Doktrin relativisme mulanya berasal dari Protagoras, seorang Sofis yang berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu. (man is the measur of all things). Doktrin ini berpegang pada prinsip bahwa kebenaran itu sendiri adalah relatif terhadap pendirian subyek yang memutuskan. Relativisme juga dianggap sebagai doktrin global tentang semua ilmu pengetahuan. Disini aspek-aspek sang subyek yang menentukan apa makna kebenaran itu, dapat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah, kultural, sosial, linguistik, psikologis. Dengan tersebarnya doktrin ini tidak sedikit cendekiawan Muslim yang lalu berkesimpulan bahwa manusia tidak ada yang tahu kebenaran, yang tahu hanya Allah. Bahkan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah kalam Allah yang absolut, tapi ucapan Nabi sebagai manusia yang relatif. Doktrin relativisme ini juga berkaitan dengan doktrin sofisme yang mempunyai implikasi yang dalam terhadap epistemologi Islam. Jika doktrin ini diterima oleh seorang Muslim maka struktrur ilmu pengetahuan dalam Islam dan bahkan agama Islam itu sendiri sudah tidak ada artinya apa-apa lagi, karena semua relatif. Beragama menjadi sia-sia belaka, karena tidak ada kebenaran yang pasti yang bisa dipegang.  Dengan berpegang pada doktrin ini maka ummat Islam tidak lagi masalah apakah mengikuti cara berfikir Islam atau Barat yang sekuler dan liberal.

c. Penyebaran paham Pluralisme Agama

Makna pluralisme agama paska fatwa MUI banyak diperdebatkan orang. Namun perlu diketahui bahwa menurut definisi resmi mereka pluralisme adalah teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth). Ia terkadang juga dipahami sebagai doktrin yang berpandangan bahwa disana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya.  (no view is true, or that all view are equally true). Dalam aplikasinya terhadap agama maka pandangan ini berpendapat bahwa semua agama adalah sama benarnya dan sama validnya. Paham pluralisme agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda tapi ujungnya sama yaitu: aliran kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religion) dan teologi global (global theology). Yang pertama lebih merupakan protes terhadap arus globalisasi, sedangkan yang kedua adalah kepanjangan tangan dan bahkan pendukung gerakan globalisasi, dan paham yang kedua inilah yang kini ujung tombak gerakan westernisasi.

Karena pluralisme agama ini sejalan dengan agenda globalisasi, ia pun masuk kedalam wacana keagamaan agama-agama, termasuk Islam. Ketika paham ini masuk kedalam pemikiran keagamaan Islam respon yang timbul hanyalah adopsi ataupun modifikasi dalam takaran yang minimal dan lebih cenderung menjustifikasi. Akhirnya yang terjadi justru peleburan nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan Islam kedalam arus pemikiran modernisasi dan globalisasi. Caranya adalah dengan memaknai kembali konsep Ahlul Kitab dengan pendekatan Barat. Jika perlu makna itu di dekonstruksi dengan menggunakan ilmu-ilmu Barat modern. Inilah sebenarnya yang telah dilakukan oleh Mohammad Arkoun. Ia mengusulkan, misalnya, agar pemahaman Islam yang dianggap ortodoks  ditinjau kembali dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial-historis Barat. Dan dalam kaitannya dengan pluralisme agama ia mencanangkan agar makna Ahl al-Kitab itu didekonstruksi agar lebih kontekstual. Disitu ayat-ayat tentang Ahlul Kitab dijadikan alat justifikasi, meskipun terkadang dieksploitir tanpa memperhatikan konteks historis dan metodologi tafsir standar. Mindset seperti ini jelas sekali telah terhegomoni oleh pemikiran Barat.

Inti doktrinnya adalah untuk menghilangkan sifat ekslusif ummat beragama, khususnya Islam. Artinya dengan paham ini ummat Islam diharapkan tidak lagi bersikap fanatik, merasa benar sendiri dan menganggap agama lain salah. Menurut John Hick, tokoh pluralisme agama, diantara prinsip pluralisme agama menyatakan bahwa agama lain adalah sama-sama jalan yang benar menuju kebenaran yang sama  (Other religions are equally valid ways to the same truth).

Di Indonesia faham ini disebar luaskan pertama-tama oleh Sekolah Tinggi Teologi Kristen, dan diikuti oleh para cendekiawan Muslim. Jadi, pengembangan Teologi Pluralis itu sendiri sebenarnya merupakan pelaksanaan dari teori Samuel Zwemmer untuk melemahkan umat Islam. Dengan teologi semacam itu, umat Islam sudah terjebak untuk tidak meyakini kebenaran agamanya.

Penyebatan paham pluralisme agama adalah salah satu agenda liberalisasi pemikiran. Pluralisme agama adalah inovasi teologis, yang dibawa oleh agamawan liberal, yaitu bentuk finalnya adalah pluralisme agama. Dalam kaitannya dengan gerakan Postmodernisme, maka jelaslah bahwa paham (Pluralisme agama) ini dianut oleh mereka yang menerima aliran-aliran filsafat postmodern, khususnya dekonstruksionisme  Kelompok agamawan Liberal dalam agama-agama ini, tidak lagi mengklaim bahwa agama mereka adalah sempurna dan absolute.

Baca juga LIBERALISME Part IV

 

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker