Beritadefault

KRH Hadjid, Ulama sekaligus Pejuang Kemerdekaan Indonesia

TABLIGH.ID, YOGYAKARTA — Mengutip catatan M. Amien Rais yang pernah dekat sebagai muridnya, karakter Kiai Raden Haji (K.R.H) Hadjid dikesankan sebagai “seorang ulama yang berwatak istiqomah, wara’ah, dan saja’ah. Muhammadiyah beruntung memiliki ulama kaliber R.H. Hadjid. Keistiqomahan beliau telah menjadi salah satu pagar perguruan bagi ruh Muhammadiyah.” Begitu catatannya.

K.R.H. Hadjid, dalam istilah kontemporer sekarang, boleh dibilang sebagai ulama pejuang yang inklusif. Dalam kesejarahan Muhammadiyah beliau tercatat secara istikamah berkiprah dalam berbagai lini dakwah seiring dengan episode sejarah nasional kita, mulai dari era kebangkitan nasional, prakemerdekaan, perang kemerdekaan, peletakan dasar-dasar tata kenegaraan, hingga era pembangunan. Ulama Muhammadiyah ini tidak hanya menyibukkan diri menelaah kitab dan berorasi, tetapi secara proaktif meneruskan estafet pergerakan Muhammadiyah setelah Kiai Ahmad Dahlan meninggal pada tahun 1923.

Anak Kauman yang Wara’ah

Hadjid adalah seorang anak kampung Kauman Yogyakarta yang lahir tahun 1898. Kedua orang tuanya masih berkerabat dekat. Dari jalur kakeknya, beliau adalah cucu buyut K.R.T. Ronodirjo yang merupakan Bupati Anom di Keraton Yogyakarta. Dari jalur sang nenek, beliau adalah cucu buyut K.R.T. Maklum Kamaludiningrat, Penghulu Keraton dan Imam Masjid Besar Yogyakarta. Ayahandanya, R.H. Djaelani bin Ismail Ronodirjo, pegawai kantor Penghulu Landraat Keraton, adalah salah satu dari sembilan orang yang terlibat dalam penandatangan akta pendirian organisasi Muhammadiyah bersama Kiai Dahlan tahun 1912.

Hadjid belajar ngaji pertama di Makkah waktu masih kanak-kanak, saat beliau berhaji bersama ayahnya. Ibadah haji kedua dilakukannya sewaktu bersama rombongan Presiden Sukarno tahun 1955, saat beliau menjadi salah satu Pimpinan Pusat Masyumi.

Menurut keluarga, Mbah Hadjid adalah pribadi yang sederhana dan hidup sederhana, berwibawa, murah senyum, tekun dalam membina diri secara intelektual dengan terus membaca, mengkaji dan menulis, serta kuat dalam disiplin ruhani. Beliau sering menyempatkan nenepi, menyendiri beriktikaf berhari-hari di Masjid At-Taqwa, Desa Ngipiksari, Kaliurang yang pada waktu itu masih sangat terpencil. Ada cerita dalam keluarga bahwa beliau sering beriktikaf di Masjid Besar Kauman, pernah sebulan tidak turun dari masjid.

Akan tetapi, beliau juga mempunyai pergaulan luas, toleran, dan terbuka dalam berdiskusi. Ada ungkapan yang ditulisnya dalam puisi bahasa Jawa, “urip-uripo urip sak karepmu. Arep opo arep opo sak karepmu, sak nyoto bakal tinemu piwales ing wekasanmu”. Pandangan filosofis yang sufistik ini diambil dari pemahamannya pada al-Quran dan hadis.

Siti Wasilah, istrinya, adalah salah satu murid Kiai Dahlan dan merupakan salah satu pendiri Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA), juga salah satu pendiri Frobel School (kemudian menjadi TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal). Dia juga kerap disuruh Kiai Dahlan untuk menjadi qari’ah yang membuka pengajian Kiai Dahlan. Jadi, pasangan ini adalah pasangan “pergerakan” dakwah yang serasi.

Dakwah Inklusif

K.R.H. Hadjid memulai karier profesionalnya sebagai guru HIS Muhammadiyah, lalu guru Kweekschool Muhammadiyah. Kemudian beliau menjadi Direktur Madrasah Mu’alimin dan Mu’allimat Muhammadiyah selama lima belas tahun. Pada zaman Jepang, beliau menjabat sebagai hakim agama (Fuku Sunuka Tjo).

Beliau sempat menjadi dosen. Beliau merupakan salah satu anggota panitia pendirian Sekolah Tinggi Islam yang kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Beliau memberikan pidato inagurasi universitas ini berdua, yakni bersama Wakil Presiden Moh. Hatta pada 10 April 1946 di depan Presiden Sukarno. Pidato Hatta berjudul “Sifat Sekolah Tinggi Islam”, sedangkan pidato K.R.H. Hadjid berjudul “Ilmu Tauhid.”

Sifat inklusif dalam perjuangan dan dakwah terlihat di banyak sisi kehidupannya. Dalam keilmuan agama beliau bergaul rapat dengan banyak kalangan ulama, termasuk dari Nahdlatul Ulama (NU). Presiden Abdurrahman Wahid punya cerita bahwa Kiai Hadjid dengan kakeknya, K.H. M. Bisri Syansuri yang anggota PBNU bersahabat dekat. Mereka biasa saling mengunjungi dan bila berdiskusi bisa sampai beberapa hari.

Pembentukan kader selalu menjadi perhatiannya. Pesantren Luhur dirintisnya, dimulai dengan Masjid At-Taqwa di Ngipiksari, Kaliurang. Pesantren ini tidak berwujud seperti layaknya pesantren. Namun, di tempat ini sekarang berdiri lembaga Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) di bawah PP Muhammadiyah dengan kader dari seluruh Indonesia.

Hadjid juga menjadi anggota dewan redaksi majalah Suara Muhammadiyah pada awal berdirinya salah satu majalah tertua di Indonesia ini. Beliau menuliskan ajaran-ajaran Kiai Dahlan yang kemudian diterbitkan dalam buku Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Quran. Ini hanyalah salah satu dari lebih dua puluh buku yang ditulis beliau semasa hidupnya.

Ulama Pejuang

K.R.H. Hadjid adalah ulama di Majelis Tarjih sejak awal berdirinya pada tahun 1928. Saat K.H. Mas Mansyur menjadi ketuanya, beliau adalah wakilnya hingga menggantikannya pada tahun 1942. Majelis inilah yang memberi “ruh” pada manhaj gerakan dakwah Muhammadiyah. Beliau juga memimpin tim Lajnah Tafsir Al-Qur’an dan berusaha menulis kitab tafsir al-Quran, meskipun baru satu juz yang dicetak. Menurut informasi putrinya, Uswatun Hasanah, tafsir itu sudah ditulis tangan sampai sekitar juz kedua puluh enam. Tetapi, naskah asli ini raib entah ke mana.

K.R.H. Hadjid sebagai ulama boleh dibilang mempunyai sikap yang terbuka. Beliau belajar agama di Makkah, Pondok Jamsaren Solo, Pondok Termas Pacitan, dan Madrasah Al-Attas Jakarta serta pada Kiai Dahlan sendiri. Adapun mengenai anak-anaknya, beliau mengirim mereka ke Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, dan ke Pondok Krapyak, juga ke Pondok Kebarongan.

Dalam pergerakan politik beliau pernah ikut dalam perkumpulan ISDV dan Syarikat Islam sebelum aktif dan menjadi Pimpinan Partai Masyumi yang mengantarkannya menjadi Anggota Komite Nasional Indonesia Yogyakarta dan Anggota Dewan Konstituante (Nomor Anggota 103) hingga dibubarkan.

Jiwa nasionalisme dan keberaniannya (saja’ah) kentara sejak muda. Ada insiden pemuda Hadjid ditangkap polisi Belanda karena mengibarkan bendera merah putih di jendela kereta yang ditumpanginya menuju Jakarta. Jarang diungkapkan bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi Islam ikut berjuang secara fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui perjuangan para ulama dan para pemuda pada kurun 1945-1949.

Para ulama Muhammadiyah mendirikan Markas Ulama Askar Perang Sabil (MUAPS) dan Angkatan Perang Sabil (APS) dengan tujuan untuk turut berjuang memerdekaan bangsa Indonesia. Pasukan bersenjata APS ini dibentuk pada 23 Juli 1947 beserta wadah yang mengoordinasikannya bernama Markas Ulama Angkatan Perang Sabil (MUAPS) di Daerah Istimewa Yogyakarta. K.R.H. Hadjid menjabat sebagai ketua sekaligus Imam Besar II APS, dengan penasihat adalah Ki Bagus Hadikusumo, tokoh konseptor Pancasila yang saat itu sedang menjabat sebagai President Hoofdbestuur Muhammadiyah (atau Ketua PP Muhammadiyah).

K.R.H. Hadjid pernah mendapat cobaan berat. Anak-anak lelakinya tertembak oleh tentara Belanda dalam perang kemerdekaan RI. Anaknya yang bernama Djarid gugur syahid di Sonosewu. Zar’an menderita cacat setelah tertembak di Palagan Ambarawa dan Purwakarta. Demikian pula Djuredz, ia menderita cacat karena tertembak di Alun-Alun Utara Yogyakarta.

Adapun ayahandanya yang sudah sepuh, R.H. Djaelani, mengembuskan napas terakhir di Kauman saat warga sedang dalam pengungsian pada awal tahun 1949. Atas perjuangannya dalam perang kemerdekaan, maka pada tahun 1955, K.R.H. Hadjid menerima SK Presiden RI yang mengukuhkannya sebagai Pejuang Republik Indonesia.

Pembela Tanah Air

Jalur demokrasi untuk dakwah Islamiyah adalah kelanjutan dari rasa cinta tanah airnya sejak muda. Tahun 1918, guru muda Hadjid membantu Kiai Dahlan mendirikan dan memimpin kepanduan. Dua tahun kemudian, beliau mengusulkan perubahan nama kepanduan Padvinder Muhammadiyah itu menjadi Hizbul Wathan (HW) yang artinya Pembela Tanah Air. Ini mengafirmasi bahwa Muhammadiyah terlibat aktif dalam menanamkan jiwa kebangsaan kepada generasi muda.

Terbukti dua puluh tahun kemudian, kader HW menjadi pemimpin militer, perwira Dai Dancho Pembela Tanah Air (Peta) seperti Jenderal Sudirman. Banyak kader HW yang berjuang membela tanah air dengan berperang melawan tentara Belanda. Mereka bergabung dalam Angkatan Perang Sabil (APS), Hizbullah, Peta, dan TKR yang merupakan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Di dalam persyarikatan sendiri, sebagai murid termuda Kiai Dahlan, beliau masuk dalam kepengurusan Muhammadiyah sejak 1917, dan masuk dalam anggota Hoofdbestuur (PP) Muhammadiyah sejak 1924 pada usia 26 tahun, mengikuti jejak ayahandanya, R.H. Djaelani. K.R.H. Hadjid menjadi anggota PP Muhammadiyah hingga tahun 1966, dilanjutkan sebagai Penasihat PP Muhammadiyah hingga akhir hayatnya pada tahun 1977.

Di penghujung usianya, beliau mengajar mengaji di rumah saja, mengajarkan kitab Riyadhus Sholihin, dll. Murid-murid yang mengaji rutin di rumahnya di Kauman setelah salat Subuh antara lain: Amien Rais, Tolhah Azis, Bauzir, Taufik, Badrudin, Syafi’i Ma’arif, Suprapto Ibnu Djuraemi, Malik Fadjar, dan Muchlas Abror.

Tentu banyak murid yang tidak bisa disebut semua-nya di sini. Kelompok kecil ini kemudian sebagian menjadi tokoh-tokoh nasional yang ikut membela dan menegakkan negara besar ini.

Sumber: suaraaisyiyah.id

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker