BeritadefaultKhazanah

ALIRAN KEPERCAYAAN

BUKU TUNTUTAN TABLIGH Bagian IV Part I

ALIRAN KEPERCAYAAN  (Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa)

Oleh : H. Mohammad Damami

BUKU TUNTUTAN TABLIGH Bagian IV Part I

 

A. Pengertian dan sejarah

Berbicara tentang “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” (untuk seterusnya kita sebut Kepercayaan (TME),kalau dilihat dari sudut sejarah penemuan dan pemakaian “nama” dari kepercayaan TME, maka akan terdapat 3 (tiga) sebutan, yaitu “klenik”, kebatilan, dan kepercayaan. penemuan dan pemakaian pada setiap sebutan berbeda-beda latar belakangnya.

Pada rentang waktu antara awal abad ke-20 sampai dengan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (1945), istilah atau sebutan yang populer adalah “kebatina”. Pada rentang waktu ini, terdapat 2 (dua) segmen sosial di kalangan masyarakat Indonesia waktu itu yaitu, pertama, segemen masyarakat luas (grass-root). Dalam segmen masyarakat jenis ini ada 2 (dua) kecenderungan pula, yaitu dalam masyarakat pesantren (kaum santri) ada gejala menyukai amalan tarekat dan dalam masyarakat tani serta dengan kecil-kecilan (kaum abangan) ada gejala menyukai renungan dan gerakan kebatinan. Amalan tarekat dan renungan serta gerakan kebatinan ini tampaknya bertujuan untuk “penyucian rohani”. Di pesantren tokoh

penuntunnya disebut “romo kyai” atau “mursyid”, sementara itu dikalangan kaum abangan disebut bermacam-macam, sesuai dengan sosialisasi nama setiap renungan dan gerakan kebatinan (untuk selanjutnya kita sebut (“kebatinan” saja) yang bersangkutan. Tampaknya belum ada penelitian khusus tentang hubungan antara “tarekat” dan “kebatinan” ini dalam praktik kejiwaan antara kalangan pesantren dan abangan tersebut. Ada yang mencoba untuk menduga, bahwa kecenderungan menyukai kebatinan adalah disebabkan meneruskan tradisi yang diajarkan Syekh Siti Jenar dan kelompoknya. Sementara itu kecendurungan menyukai tarekat karena memang meneruskan tradisi tarekat di dunia Islam, antra lain yang berasal dari Timur Tengah terutama, yang kemudia ditradisikan di lembaga-lembaga pesantren di bawah bimbingan “romo kyai” atau para “mursyid”. Dengan memperhatikan isi dari ajaran berbagai macam Kepercayaan TME desawa ini, boleh diduga bahwa muatan ajaran yang kemudian diteruskan berupa amalan-amalan, patut diduga isi dan amalan kebatinan adalah dari proses akulturasi antaragama (Hidu, Buddha, Islam terutama) atau akulturasi antara agama dan religi setempat.

Kedua, segmen masyarakat khusus (elite). Mereka terdiri dari orang-orang terpelajar kebanyakan. Untuk kalangan elite ini, paling tidak sejak permulaan abad ke-20, ada gerakan internasional yang disebut “Theosofi”. gerakan ini pertama kali didirikan oleh New York (1875) oleh seorang bangsawan Rusia yang bernama Helena Petrova Blavatsky, yang kalangan orang waktu itu menganggapnya sebagai orang yang berbakat memahami jejadian-kejadian gaib (Nugraha, 2001: 7). Gerakan ini wacananya adalah sebagai sarana perlawan yang bersifat kultural terhadap pemerintahan kolonial. oleh karena itu, karena pada masa wal ke-20 mulai bertumbuh kesadaran berbangsa di kalangan para kaum terpelajar Indonesia, maka geraka theosofi ini mulai mendapat perhatian dan simpati di kalangan mereka. Menurut hasil penelitian Daivd Reeve seperti dikutip oleh Iskandar P. Nugraha, ternyata organisasi nasionalis Boedi Oetomo (BO) dan organisasi bercorak politik Indoshe Partij (IP), ada keterkaitan erat dengan gerakan theosofi yang mulai laku di Indonesia (Nugraha, 2001: 2). Sudah banyak tokoh-tokoh terpelajar waktu itu yang pernah terlibat, aktivis, atau bahkan menjadi tokoh gerakan theosofi ini, misalnya Goenawan Mangoenkoesoemo, Tjipto Mangoenkoesoemo, H. Agus Salim, Amir Sjarifoedin, H. Mutahar (pencipta lagu), termasuk ayahnya Soekarno, R. Soekemi, juga penganut theosofi (Nugraha, 2001: 2, 3). Tegasnya, gerakan theosofi berhasil memikat banyak kaum terpelajar Indonesia, khususnya kalangan kaum priyayi Jawad an kalangan bangsawan lainnya (Nugraha, 2001: 3). Di sinilah nanti antra segmen masyarakat luas (yang diwakili kalangan abangan) dan segmen kaum elite atau kaum terpelajar akan bertemu dan tampaknya lalu bersama-sama berjuang untuk eksistensi Kepercayaan TME pada masa-masa menjelang proklamasi kemerdekaan Repoblik Indonesia dan masa-masa seterusnya.

Selanjutnya pada rentang waktu antara 1945-1950-an, mulai popular sebutan “klenik-kebatinan” sebagai imbas dari perjuangan revolusi fisik pescakemerdekaan. Demi untuk mempertahankan kemerdekaan dari penguasaan kembali para penjajah (Belanda/NICA terutama), maka masyarakat luas menggunakan berbagai macam cara untuk meperkuat diri dalam rangka untuk menghalau para penjajah yang ingin bercokol kembali ke bumi Indonesia. Maka, “klenik” (gerakan menggunakan magihitam), menjadi popular yang kemudian dikaitkan dengan usaha-usaha spiritual yang lain. Lalu muncullah istilah “aliran kebatinan”. Semulanya istilah “aliran kebatinan” ini dianggap istilah yang baik, namun setelah tercampur dengan “klenik” tersebut, maka istilah “aliran kebatinan” menjadi nama yang mulai dihindari (“disiriki”, kata dalam Bahasa jawa). Tampaknya pengaruh suasana kemasyarakatan berpengaruh pula pada pergeseran tekanan nama kebatinan tersebut.

Selanjutnya lagi, pada rentang waktu antara 1950-970-an, sebutan “kebatinan” (yang dirumuskan dengan istilah “kebatinan, kejiwaan, kerohanian”) menjadi lebih popular. Apalagi hal itu diperkuat dengan dilaksanakannya sebuah symposium dengan nama symposium Kepercayaan (Kebatinan), Kejiwaan, Kerohanian) pada tanggal 7-9 November 1970 di Yogyakarta (Damami, 2011: 110). Dalam rentang tahun-tahun 1950-1970-an, tampaknya masyarakt luas haus akan ketenangan dan kedamaian. Sebab, pada rentang waktu 2 (dua) decade tersebut pertikaian paham dan praktik politik sangat luar biasa, apalagi setelah Presiden Sukarno melibatkan negara Republik Indonesia dalam percanturan politik dunia antara “Blok Barat” di bawah pimpinan Amerika yang kapitalistis dan “Blol Timur” di bawah pimpinan Uni Soviet yang sosilistis-komunistis. Masyarakat luas mengalami kebingungan tentang arah politik yang seharusnya dilakukan, disamping dera penderitaan ekonomi masyarakat makin menjadi-jadi. Dalam kondisi bingung dan pengap-politik seperti itulah maka masyarakat luas haus ketenangan dan kedamaian. Karena itu wajar kalau kebatinan menjadi popular dan lau dalam masyarakat.

Sejarah masih belanjut, yaiut pasca- 1970 dan seterusnya. Pada tahun 1973 dilangsungkan siding Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai hasil Pemilihan Umum I pada Zaman Orde Baru. Dalam SU-MPR 1973 tesebut perjuangan legalisasi lebih ditekankan dengan mengusung sebutan “kepercayaan” dan dalam SU-MPR 1973 tersebut kalangan kebatinan berhasil membakukan namanya menjadi “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Selanjutnya, dalam SU-MPR tahun 1978 kalangan Kepercayaan TME meperoleh penegasan jati dirinya dengan rumusan sebagai berikut (Damami, 2011: 208-209):

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Pembinaan /kursif dari penyalin/ terhadap kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dilakukan:

  • Agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru /kursif dari penyalin/.
  • Untuk mengefektifkan pengambilan langah yang perlu agar pelaksanaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa benar-benar sesuia dengan dasar Ketuahan Yang Mahas Esa /kursif dari penyalin/ menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Baca Juga WAWASAN FIKIH DAKWAH Bagian II Part VIII

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker