BeritadefaultIbadah

Batal Ketika Sedang Thawaf, Haruskah Mengulang Wudhu Lagi?

TABLIGH.ID, YOGYAKARTA— Dalam ihram, yaitu tahap awal melakukan haji atau umarah harus dalam keadaan suci dari hadas besar atau kecil. Pantangan-pantangan selama itu juga telah ditentukan. Selama menjalani ihram ada yang harus dilakukan dalam keadaan suci dari hadas, seperti salat sunnah dan sebagian besar pendapat ulama juga pada waktu thawaf. Dalam melakukan ihram ada yang tidak harus dalam keadaan suci dari hadas kecil seperti pada waktu wukuf di Arafah dan wukuf melempar jumrah.

Adapun waktu ihram dan menjalankan thawaf, ada yang mengharuskan suci dari hadas besar dan kecil. Kalau kentut berarti batal wudhunya, maka harus mengulang wudhunya karenanya menyamakan thawaf itu dengan shalat. Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) memang tidak ditegaskan harus mengulang atau tidak, bila orang yang sedang thawaf berhadas kecil seperti kentut. Dalam dalil yang dijadikan alasan ialah ayat yang bertalian dengan Iarangan masuk masjid dan mengerjakan salat dalam keadaan haid dan junub.

Hai orang yang beriman, janganlah kamu mengerjakan salat selagi kamu mabuk, sampai kamu mengerti apa yang kamu katakan (sadar). Demikian juga selagi kamu junub sehingga kamu mandi dahulu, kecuali bagi orang yang hanya lewat (di masjid).” (QS. An-Nisa: 43).

Dan menilik Hadis Aisyah ra. katanya, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Aku tidak menghalalkan masjid untuk orang yang sedang haid dan juga untuk orang yang berjunub.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan oleh lbnu Hazaimah).

Dalam pada itu kita dapat mengamati Hadis-hadis lain, seperti Hadis riwayat At Tirmidzy, Al Hakim dan Al Baihaqy dari Ibnu Abbas dengan nilai hasan, yang menyebutkan kebolehan berbicara dalam thawaf, tentu saja dengan pembicaraan yang baik.

Thawaf di Baitullah adalah seperti salat, tetapi Allah membolehkan berbicara. Maka siapa yang berbicara (dalam thawaf) maka jangan berbicara kecuali yang baik.” (HR. Thabrany).

Melihat dalil-dalil di atas dan juga mempertimbangkan Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah yang mengatakan bahwa Nabi Saw pertama-tama yang dilakukan ketika masuk kota Makkah adalah mengambil air wudhu yang kemudian thawaf. Maka seorang yang melakukan thawaf haruslah suci dari hadas kecil maupun besar. Dan apabila batal wudhunya, maka harus wudhu lagi dan melanjutkan kekurangannya, tidak usah mengulangi dari permulaan. Karena dalam thawaf dapat diselingi dengan perbuatan lain, seperti salat ketika ada panggilan (iqamah) atau istirahat ketika merasa lelah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan ‘Atha’ dalam Fiqhus Sunnah.

Namun, jika terjadi hadas kecil (batalnya wuduk) ketika sedang thawaf dalam keadaan jamaah penuh sesak, terutama di saat puncak haji ketika tawaf ifadah (yang termasuk rukun haji) dan tidak memungkinkan mendapatkan air atau jika pun bisa mendapatkan air akan menyusahkan dan memberatkan, maka berdasarkan prinsip taisir (memudahkan) dan ‘adamul-araj (meniadakan kesulitan), tawaf tetap dilanjutkan tanpa mengulangi wuduk dengan dasar keringanan dan menghindari mudarat. Memaksa manusia padahal ada kesulitan saat itu justru malah bertentangan dengan firman Allah Swt (QS. Al Baqarah: 185).

Dengan demikian, langkah hati-hatinya adalah tetap berwudhu dan mengulangi wudhu jika batal saat melakukan thawaf manakala tidak menimbulkan kesulitan. Jika sulit karena kondisi yang penuh sesak saat thawaf, maka kita boleh mengambil keringanan. Jadi tawaf yang keadaan sucinya batal karena hadas kecil tetap memadai (mujzi’)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker