BeritaKhazanah

Bermuara Dalam Ikhlas, Berpuncak Dengan Lillah

Penulis:  Beta Pujangga Mukti

Seringkali makna “ikhlas” dita’rifkan dengan kemurnian atau sesuatu yang murni, yaitu tidak bercampur dengan sesuatu apapun. Dalam al-Qur’an ada satu surah pendek, hanya empat ayat saja. Tetapi kandungannya amat besar bahkan melampaui kandungan dari surah-surah yang lain. Ia adalah surah al-Ikhlas.

Surah ini memiliki kandungan makna yang tinggi, 1/3 kandungan al-Qur’an ada dalam surah ini. sebab menceriterakan tentang Allah, dengan keesaan-Nya, sebagai tempat bergantung segala sesuatu, tidak selayaknya seperti manusia atau makhluk hidup lainnya yang beranak dan diperanakkan, dan surah ini ditutup dengan pernyataan tegas dan logis, bahwa tidak ada seorangpun maupun sesuatupun yang setara dengan-Nya.

Jadi surah ini membawa pesan: Jika Allah Maha Esa, maka tidak benar bahwa Allah itu berbilang, dua, tiga, dan seterusnya. Apabila harapan (roja’) atau hajat hanya boleh digantungkan kepada-Nya, maka tidak selayaknya harapan itu digantungkan kepada makhluk. Manakala Allah dengan sifat-sifat Rabbaniyah-Nya, maka tidak sepantasnya disematkan sifat-sifat Insaniyah kepada-Nya. Apalagi soal kesetaraan, maka tidak sepatutnya menyetarakan Allah dengan sesuatu apapun.

Nama surahnya adalah al-Ikhlas, tetapi tidak ditemukan kata “ikhlas” dari keempat ayatnya. Jika kita perhatikan, dalam surah ini Allah secara khusus hanya menceriterakan tentang diri-Nya dan menegasikan keterangan atau cerita yang lain. Di samping juga surah ini telah mengajarkan prinsip-prinsip ikhlas, yaitu memurnikan tauhid dengan kadar yang bersih dan semurni-murninya. Kandungan surah ini mencakup tiga macam tauhid sekaligus, yaitu tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wa shifat.

Imam Ghazali menjelaskan bahwa gambaran sebenar dari Allah adalah mensucikan dan membebaskan-Nya dari segala lambang. Bahwa Allah tidak bisa dilambangkan, tidak bisa dicari analogi dan metaforanya. Hal ini menjawab pertanyaan seorang Badui kepada Rasulullah yang menanyakan perihal apakah Allah bisa dilambangkan dengan sesuatu di dunia ini. Maka kemudian turunlah surah yang Agung ini.

Dalam ibadah mahdhah, ghairu mahdhah, termasuk ibadah maal (harta) juga perlu disertai keikhlasan. Meskipun perlu berhati-hati dengan riya’, yaitu perasaan ingin disaksikan, dipublikasi, dan ingin disebut-sebut kebaikannya. Dengan ikhlas kita diajarkan, bahwa tidak perlu menampak-nampakkan keikhlasan di hadapan manusia, karena cepat atau lambat Allah lah yang akan menampakkan hasil dari keikhlasan tersebut.

Ikhlas adalah muara, tempat dimana Allah sebagai puncak kepasrahan total manusia. Barangkali makna kalimat Laa khaula wa laa quwwata illa billah, perlu dibawa kepada penghayatan bahwa harapan akan berujung manis jika disandarkan kepada Sang Pencipta, namun jika harapan disandarkan kepada makhluk, entah itu manusia, disandarkan kepada materi, jabatan, maka ujungnya adalah pahit, bahkan kepahitan yang paling pahit.

Begitu juga bentuk kepasrahan total kepada Allah adalah ditunjukkan dengan sikap percaya diri, dalam arti bukanlah yakin pada kemampuannya, tapi yakin bahwa Allah yang ada bersamanya. Mencukupkan segalanya hanya dalam dua kata, UNTUK ALLAH (Lillah). Dengan Lillah, menata puzel-puzel kehidupan lebih terarah, perjuangan dan pengorbanan akan terasa lebih mudah.

إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

“Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. Al-An’am: 162)

Dengan “Lillah” ini, sang Iblis dan bala tentaranya pun tak akan sanggup menggoda, apalagi menggelincirkan, sebab Allah sendiri yang telah berjanji, bahwa Iblis bisa mengajak siapapun manusia ikut ke dalam jalannya, kecuali mereka orang-orang yang ikhlas (Illa ‘ibaadaka min humul
mukhlashin).

Orang-orang yang muara ibadahnya karena Lillah, seperti yang disebutkan dalam surah al-Bayyinah, (mukhlishina lahuddin) yaitu yang menjalankan perintah agama dengan ikhlas, maka sebenarnya mereka sedang belajar mentransformasikan kesadaran moral dari HETERONOM menuju OTONOM.

Kesadaran moral heteronom adalah sikap seseorang manakala memenuhi kewajiban moralnya bukan karena keinsafan bahwa kewajiban itu memang pantas dipenuhi. Melainkan lebih karena merasa tertekan dan terpaksa. Sedangkan kesadaran moral otonom adalah suatu kesadaran untuk menaati kewajiban moral karena yang bersangkutan sadar benar akan makna yang menjadi kewajibannya. Ia sadar diri bahwa itu memang sesuatu yang bernilai (Khoiruddin Bashori, 2022).

مَنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهٗٓ اَجْرُهٗ عِنْدَ رَبِّهٖۖ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

“Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati” (Q.S. Al-Baqarah: 112).

Bahkan saat kepasrahan disandarkan kepada Allah secara total, dengan yakin dan pasti, maka tidak akan merasa khawatir, alih-alih merasa sedih hati. Khawatir terhadap masa depan, pun tidak akan dibuat sedih hati tersebab kesalahan di masa lalu. Begitu penjelasan Ibnu Abbas dalam tafsirnya.

*** Penulis adalah anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Mahasiswa S3 di Islamic Development Management Studies, Universiti Sains Malaysia.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker