default

BID’AH DALAM ADAT

Buku : Ahlussunnah wal Jamaa'ah Bid'ah dan Khurafat

Bid’ah dan Khurafat (part IV)

Sumber: Ahlussunnah wal Jamaa’ah Bid’ah dan Khurafat
Penulis : H. Djarnawi Hadikusuma

 

Dengan semua uraian diatas itu, agaknya telah jelas bagi kita apa yang dikatakan bid’ah itu.

Jika kita teliti amal dan tindakan yang biasa dilakukan orang tentang bid’ah ini, kita dapat membaginya menjadi tiga yaitu: a. bid’ah dalam adat, b. bid’ah dalam I’tiqad, c. bid’ah dalam ibadah.

Pertama kali akan diuraikan tentang bid’ah dalam hal adat.

1.      Asal-mula terjadinya Adat

Menurut Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya “Laisa minal Islam”, adalah bid’ah dalam adat itu tersiar dalam masyarakat bangsa Timur, karena adanya taqlid yang menguasai akal mereka. Maka banyaklah adat bangsa Timur itu jika dinilai dari segi agama, merupakan perkara yang batil, antara baik dan buruk. Dan adalah kebanyakan adat kebiasaan itu berasal dari syari’at agama yang dalam pelaksanaannya dicampuri oleh adat-adat sebelumnya, kemudian turun-temurun, dari generasi ke generasi, dilakukan dan menjadi tersiar atas dasar taqlid.

Pendapat Muhammad al-Ghazali itu memang benar. Adat kebiasaan terbentuk karena taqlid. Adat itu ada yang benar ada yang salah menurut agama, dan adat itu telah merupakan imbangan atau saingan yang kuat bagi syariat agama. Di Indonesia persaingan ini sangat menonjol, misalnya persaingan tajam antara syara’ dan adat dalam hal pembagian warisan dan hukum perkawinan.

Kehidupan manusia ini menurut sejarahnya, memang tak dapat berlepas diri dari taqlid. Mungkin juga seterusnya akan begitu juga. Akal manusia yang semakin cerdas dan ilmu yang digalinya hanya akan mengurangi taqlid itu dan menentukan di mana manusia harus bertaqlid dalam hal bentuk pakaian, tidak perlu dibuang hingga setiap orang harus menentukan bentuk pakaiannya sendiri-sendiri. Perkembangan bahasa tidak bisa lain harus dengan taqlid. Agama Islampun tidak melarang taqlid itu kecuali dalam agama. Bahkan dalam hal agamapun orang diharuskan bertaqlid tetapi hanya kepada Rasulullah, lain tidak.

Setiap bangsa khususnya bangsa Timur tentu mempunyai adat-resam. Setiap suku bangsa Indonesia mempunyai adat-resam khusus yang turun-temurun menjadi pegangan hidup bersama, meskipun tidak tertulis tetapi tetap cukup kuat sebagai tradisi yang dipegang teguh. Nenek-moyang kita telah menciptakan adat itu sebelum datangnya Islam. Sebagaimana halnya bangsa Quraisy Mekah sebelum terutusnya Rasulullah. Agama Islam memperbaiki adat itu dan merubah nama yang perlu dirubah serta menghapuskan mana yang perlu dihapuskan.

2.      Sumber dari Adat

Sudah menjadi satu kenyataan sejarah  bahwa umumnya adat-istiadat sesuatu bangsa itu asal mulanya timbul dari kepercayaan agama, yaitu agama sebelum datangnya Islam. Bahkan agama Islam itupun setelah dipeluk oleh suatu bangsa lalu melahirkan adat pula. Kecuali dari itu timbul juga adat yang dipengaruhi oleh agama Islam, merupakan perpaduan dari kepercayaan kedua agama itu. Contoh dari perpaduan itu ialah sedekahan (selamatan yang disertai doa dengan membakar kemenyan).

Selain dari pada adat yang berasal dari sumber kepercayaan agama, ada pula adat yang melulu merupakan adab dan kesopanan belaka seperti mencium lutut orang-orang tua oleh yang muda, upacara hari lahir, bersanding pengantin, memberikan sirih ketika melamar, dan sebagainya. Dan ada pula adat yang lebih terlepas lagi dari keagamaan, seperti membasuh tangan sebelum dan sesudah makan, minum kopi tiap pagi dan sebagainya.

Menilik hal tersebut diatas itu kita dapat mengimbangi adat kebiasaan itu menjadi dua:

  1. Adat yang mengandung kepercayaan atau bersemangat agama.
  2. Adat yang tidak bersemangat agama dan tidak mengandung kepercayaan.

3.      Letaknya Bid’ah dalam Adat

Jika sesuatu adat dilekati oleh kepercayaan dan atau laku ibadah yang tidak dituntunkan oleh Rosululloh, maka adat itu menjadi bid’ah. Jika tidak maka tidak ada bid’ah disitu meskipun kit membiasakan sesuatu adat yang tidak dicontohkan oleh Rasululloh.

Maka bid’ah adat terletak pada adat yang bersumber pada kepercayaan agama atau dikerjakan dengan semangat agama, meskipun orang yang mengerjakan itu arena taqlidnya sudah tidak mengetahui lagi adanya kepercayaan dan semangat agama itu. Tahlil dengan membaca bersama-sama kalimah “La ilaa illallah” adalah asalnya dilakukan orang dengan maksud agar pahalanya dapat diterima oleh si mati itu. Lama-kelamaan tahlil semacam itu diikuti orang dengan taqlid lalu menjadi adat. Maka banyak orang mengadakan tahlilan setelah empat puluh hari dari kematian keluarganya, dengan tidak mengetahui apa maksud tahlilan itu selain karena telah menjadi adat. Namun, demikian apa yang dilakukannya itu tetap bid’ah.

Adapun pekerjaan dan hubungan manusia sehari-hari sebagian ulama memasukannya ke dalam apa yang disebut adat atau “al-umurul-‘adiyah” atau asy-syuunul-‘adiyah”, seperti halnya berjual-beli, bercocok tanam, hubungan perkawinan, hutang pihutang, pinjam meminjam dan sebagianya. Dalam soal-soal ‘adiyah itu agama islam memberikan tuntunannya agar kesemuanya itu berjalan dengan halal dan memberi manfaat serta keselamatan bagi semua pihak yang bersangkutan. Tuntunan itu merupakan syarat untuk kehalalannya dan keselamatannya. Jika syarat ini telah dipenuhi maka sahlah hubungan itu menurut hukum islam, dan jika tak dipenuhi maka batal dan tak berlaku. Misalnya dalam perkawinan ada syarat wali, maka tidak sah nikahnya seorang gadis tanpa adanya wali. Sahnya jual-beli harus “an taradlin” atau sama sama rela. Maka tidaklh sah jual-beli yang di paksakan. Pembagian waris harus menurut ketentuan agama, jka tidak maka tidak sah. Setelah orang memenuhi syarat itu lalu menambah dengan aturan lain asalkaan tidak bertentangan dengan syara’. Maka tidaklah mengapa dan tidak bernama bid’ah, seperti pencatatan nikah dan memberikan surat nikah, registrasi jual-beli rumah dan tanah. Yang demikian itu, bukanlah bid’ah tetapi mashalih mursalah. Tetapi bila tambahan peraturan itu menyerupai ibadah barulah bernama bid’ah seperti mempelai yang akan akad nikah diharuskan membaca syahadat.

Sebagian besar dari pada perkara ‘adiyah itu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah seperti cara bercocok tanam, mana yang lebih baik berjualan di pasar atau di took, makan dengan tangan atau sendok dan diatas tikar atau meja, bertukar cincin dan memberika anda persalin di waktu melamar dan sebagainya. Kesemuanya itu di perkenankan asalkan tidak melanggar hukum agama dan tidak ada  bid’ah. Kesemuanya itu boleh atas dasar sabdanya : “antum a’lamu biamri dunyakum” (kamu sekalian lebih tahu entang perkara keduniaanmu.

4.      Contoh Bid’ah dalam Adat

Bid’ah dalam adat pada umumnya berdasarkan kepercayaan dan pelaksanaannya ada yang menyerupai ibadah dan ada yang tidak. Di bawah ini beberapa contohnya :

  1. Rasululloh telah member tuntunan kepada kita mengucap salam dngan “assalamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh” untuk orang lelaki maupun perempuan atau untuk jamaah yang berdiri dari lelaki dan perempuan. Tetapi diantara kita ada yang terbiasa menambah salam itu engan kata-kata “wa’alaikunna” atau “wa’alaikunnassalam” jika dihadapan suatu jama’ah terdiri dari lelaki dan wanita. Tambahan ini bid’ah, dan meskipun tidak mendatangkan dosa tetapi menghilangkan keutamaan itba’ (mengikuti) sunnah Rasulullah. Meskipun ucapan salam ini perkara duniawi dan akhlak, kita menggantinya dengan “salam bahagia” atau “selamat pagi” dan “dirgahayu”; tetapi jika kita bermaksud mmperoleh keutamaan dengan itiba’ Sunnah Rosul, hendaklah kita contoh sunnah itu apa adanya dengan tidak menambah atau mengurangi.
  2. Mengadakan selamatan dengan doa atau tahlil ketika baru pindah ke rumah yang baru, ketika akan bertanam padi, dan sebagainya.
  3. Membaca Al-Quran di atas kuburan dan terutama di kuburan para ulama, kadang-kadang membacanya itu ditetapkan malam Jum’at.
  4. Membaca Surat Yasin di rumah orang yang sedang sakit keras, sendiran, atau bersama seperti yang telah diadatkan orang. Acapkali pembaca Yasin itu berlomba karena mengejar banyaknya sedekah yang mereka terima berdasarkan berapa kali membaca Yasin itu.
  5. Selamatan atau sedekahan dengan makan bersama-sama di waktu kematian.
  6. Mengantarkan jenazah dengan membaca dzikir, sendiri-sendiri atau bersama-sama, atau diiringi dengan bunyi-bunyian. Selain kesemuanya itu bid’ah, juga tidak sesuai dengan sabda dan Riwayat Rasulullah :

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الصُّمْتَ عِنْدَ ثَلاَثٍس : عِنْدَ تِلاَوَةِ الْقُرْاَنِ وَعِنْدَ الزَّحْفِ وَعِنْدَ الْجَنَازَةِ

“Sungguh Allah suka akan ketenangan dalam tiga peristiwa, yaitu ketika Quran dibaca, dan ketika perang berkecamuk, dan ketika ada jenazah”. (Diriwayatkan oleh Thabrani dari Zaid bin Arqom).

عَنْ أَبِيْ بُرْدَةَ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ رَفْعَ الصَّوْتِ عِنْدَ ثلاَثٍ : عِنْدَ الْجَنَازَةِ وَعِنْدَ الذِّكْرِ وَعِنْدَالْقِتَالِ

“Dari Abu Burdah berkata : Adalah Nabi saw. Itu tidak suka kepada suara nyaring dalam tiga perkara, yaitu ketika ada jenazah, ketika dzikir, dan ketika berperang”. (Hadits riwayat Abu Dawud)

  1. Menaburi jenazah dan kuburan dengan karangan bunga. Ini adalah bekas dari adat animism, dimana orang kematian menyiapkanbunga-bungaan untuk diletakkan diatas keranda. Kuburannya pun ditaburi bunga dan disiram dengan air dari kendi.
  2. Sebelum jenazah diangkatkan setelah keranda terletak diatas bahu pemikulnya, keluarga si mati berjalan menyuruk dibawah keranda itu tiga kali. Pekerjaan ini dimaksudkan sebagai pamitan yang terakhir. Kemudian berjalanlah iringan jenazah itu diapit atau didhului oleh orang yang membawa dupa. Ini peninggalan Hindu.
  3. Sesudah selesai dikubur, maka orang akan mentalqinkan mayat itu. Talqin itu dimaksudkan untuk mengajar mayat bagaimana ia harus menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir. Talqin ini tdak pernah dikerjakan pada zaman Nabi tidak pula pada zaman Sahabat, juga tidak pada zaman Tabi’in dan tidak pula dianjurkan oleh Imam Madzhab Empat. Hanya disunnahkan olh sebagian ulama pengikut Madhab Syafi’I seperti Qadli Husein, Mutawali, Rafi’I dan Pengikut mereka. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang asal usul talqin diatas kuburan itu, beliau menjawab :

مَارَأَيْتُ أَحَداً يَفْعَلُهُ إِلاَّ أَهْلَ الشَّامِ حِيْنَ مَاتَ أَبُوْالْمُغِيْرَةِ

“Belum pernah aku melihat seseorang mengerjakan selain penduduk syam ketika matinya Abul Mughiroh”

  1. Mengadakan selamatan dan tahlil seminggu sesudah mayat dikubur, empat puluh hari, seratus harinya, dan seribu harinya. Dengan begini tiap keluarga sering sekali mengadakan selamatan itu bagi anggota-anggota keluarganya yang telah meninggal dengan menghabiskan uang yang amat banyak.
  2. Berziarah kubur setiap bulan Sya’ban dengan mengirim bunga. Kuburan dibersihkan dan disiram serta ditaburi bunga, juga dibakar kemenyan.
  3. Mengadakan perayaan memperingati hari lahir Nabi dengan berdiri menghormati Nabi yang dipercayai datang.

Demikian sekedar beberapa contoh dari adat istiadat umat Islam yang bersemangat keagamaan itu merupakan bid’ah yang harus kita hilangkan dengan jalan memberi peringatan dan kesadaran.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker