default

Fatwa Tarjih Muhammadiyah : Cara Duduk Tahiyat Akhir Dan Pemanfaatan Tanah Bekas Kubur

CARA DUDUK TAHIYAT AKHIR PADA SHALAT DUA RAKAAT

DAN PEMANFAATAN TANAH BEKAS KUBUR

Penanya:

Sumijan,

Ledok, Sidorejo, Kendal, Jawa Tengah

 (disidangkan pada hari Jum’at, 8 Rabiul Awwal 1427 H / 7 April 2006 M)

Pertanyaan:

  1. Bagaimana cara duduk tahiyat akhir pada shalat yang hanya dua raka’at? Sebab ada yang mengajarkan duduknya seperti pada tahiyat awal, sementara kami sudah terbiasa dengan cara duduk tahiyat akhir pada shalat empat raka’at.
  2. Di samping kami ada tanah bekas kubur yang sudah sepuluh tahun tidak digunakan, bahkan batu pusaranya pun sudah tidak ada, dan sudah beberapa tahun ditanami polowijan. Bagaimana seandainya tanah tersebut digunakan untuk tempat sepeda, atau kegiatan lain, apakah jenazahnya harus diambil? Hal ini saya tanyakan karena ada dua pendapat, yang satu mengatakan tidak perlu diangkat jenazah (tulang-belulangnya), sedangkan yang lain berpendapat harus diangkat/dipindah.

Jawaban:

  1. Mengenai pertanyaan pertama, yaitu tentang cara duduk di tahiyat akhir pada shalat yang terdiri dari dua rakaat.

Dimaksudkan dengan tahiyat akhir ialah duduk tahiyat pada rakaat terakhir dalam shalat, baik shalat yang terdiri atas empat rakaat, atau tiga rakaat, atau dua rakaat, yang setelah selesai berdoa lalu ditutup dengan salam. Maka cara duduknya, semuanya adalah sama, yaitu dengan cara memajukan atau memindahkan kaki kirinya ke depan, dan mendirikan tapak kaki kanannya dengan menghadapkan jari-jarinya ke arah qiblat, dan duduk di tempat duduknya, sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits:

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِى بْنِ عَطَاءٍ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا مَعَ نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ  النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ صَلاَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو حَمِيدٍ السَّاعِدِىِّ اَنَا كُنْتُ اَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللهِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاَيْتُهُ اِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبِهِ وَاِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتِهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَاِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَاِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ القِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ اْلأَخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ اليُسْرَى وَنَصَبَ الاُخْرَى. وَقَعَدَ مَقْعَدَتَهُ. [أخرجه البخارى، كتاب الصلاة، 1: 99

Artinya: “Diriwayatkan dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’, bahwa ketika ia duduk bersama beberapa orang shahabat Nabi saw, ia menceritakan cara shalat Nabi saw, kemudian berkatalah Abu Hamid as-Sa‘idiy: Saya melihatnya ketika bertakbir beliau menjadikan (mengangkat) kedua tangannya setentang dengan bahunya, dan apabila ruku‘ beliau meletakkan kedua tangannya dengan kuat pada lututnya serta membungkukkan punggungnya, apabila mengangkat kepala beliau meluruskan (badannya) sehingga semua tulang-tulang kembali pada tempatnya. Kemudian apabila bersujud beliau meletakkan kedua tangannya dengan tidak membentangkannya dan tidak pula menyempitkan keduanya serta menghadapkan semua ujung jari-jari kedua kakinya ke arah qiblat. Kemudian apabila duduk pada rakaat kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan mendirikan tapak kaki kanannya, dan apabila duduk pada rakaat terakhir, beliau memajukan kaki kirinya ke depan dan mendirikan tapak kaki yang lain (kanan) dan duduk di tempat duduknya.” [Ditakhrijkan oleh al-Bukhariy, Kitab ash-Shalah; I: 99].

Dari penjelasan hadits tersebut, maka jelaslah bahwa duduk pada rakaat terakhir, sekalipun shalatnya hanya dua rakaat, adalah sama dengan duduk tahiyat akhir pada shalat-shalat yang terdiri atas tiga atau empat rakaat.

  1. Tentang memanfaatkan kuburan

Sebelum kami jawab pertanyaan tersebut, kami kutipkan lebih dahulu ayat al-Qur’an dan hadits-hadits tentang qubur:

  • وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَاتُوأ وَهُمْ فَاسِقُوْنَ. [التوبة (9): 84

Artinya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” [QS. at-Taubah (9): 84].

  • عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ. [أخرجه مسلم، كتاب الجنائز، جـ: 1، نمرة: 96/971: 437

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sungguh jika salah satu di antara kamu duduk di atas bara api hingga membakar bajunya kemudian menembus kulitnya, adalah lebih baik daripada duduk di atas kubur.” [Ditakhrijkan oleh Muslim, Kitab al-Jana’iz; I; No. 96/971: 437].

  • عَنْ أَبِى مَرثَدَ الْغَنَوِيِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَجْلِسُوْا عَلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تُصَلُّوْا إِلَيْهَا. [أخرجه مسلم، كتاب الجنائز، جـ: 1، نمرة: 97/972: 437

Artinya: “Diriwayatkan dari Abi Marsad al-Ghanawiy, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Janganlah engkau sekalian duduk di atas kubur dan janganlah shalat dengan menghadapnya. ” [Ditakhrijkan oleh Muslim, Kitab al-Jana’iz; I; No. 97/972: 437].

Penjelasan:

Pada surat at-Taubah (9): 84, Allah melarang Nabi Muhammad saw untuk menshalati orang fasiq dan melarang berdiri di atas kuburnya, selama-lamanya. Sekalipun larangan itu ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, tetapi larangan tersebut berlaku untuk umum. Maka kita pun termasuk di dalamnya.

Pada hadits yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah ditegaskan, bahwa Nabi saw melarang duduk di atas kubur. Bahkan beliau mengatakan, bahwa duduk di atas bara api sehingga baju dan badannya terbakar, adalah lebih baik daripada duduk di atas kubur. Ini menunjukkan bahwa duduk di atas kubur dosanya sangat besar.

Pada hadits yang diriwayatkan oleh Marsad al-Ghanawiy, ditegaskan lagi bahwa  duduk di atas kubur dan shalat menghadap kubur dilarang. Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan kepada haram.

Adapun nilai kedua hadits tersebut menurut sebagian besar ulama hadits adalah shahih dan Imam Muslim yang meriwayatkan kedua hadits tersebut adalah sebagai jaminan keshahihannya. Maka mengenai sebidang tanah kubur (bekas kubur) yang saudara tanyakan, apakah boleh dimanfaatkan untuk kegiatan lain? Menurut kami, harus berhati-hati, sebab diharamkan duduk di atasnya. Mungkin juga nanti di waktu yang akan datang ada orang shalat di atasnya, padahal di tempat itu terdapat kubur sekalipun sudah tidak kelihatan, padahal shalat mengahdap kubur atau duduk di atasnya adalah haram.

Untuk itu, apabila tanah tersebut akan dimanfaatkan untuk kegiatan lain, wajib dipindahkan lebih dahulu tulang belulang jenazah yang ada dalam kubur, sehingga selamat baik dari segi aqidah maupun psikologis.

Wallahu a’lam bish-shawab. *sd)

Sumber : Fatwa Tarjih Muhammadiyah 2006

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker