default

Fatwa Tarjih Muhammadiyah : Dimana letak perintah ber-qurban dalam al-Qur’an?

Sri Tutut (Eno), titikchiroena@yahoo.com

di Nederland / Belanda

Pertanyaan :

  1. Dimana letak perintah ber-qurban dalam al-Qur’an?
  2. Siapa yang benar yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim, Nabi Ismail atau Nabi Ishaq?

Jawaban :

  1. Perintah berkurban di dalam al-Qur’an terdapat di berbagai surat/ayat, antara lain dalam surat al-Kautsar ayat 2; surat al-Hajj ayat 34-35 dan ayat 36; serta surat ash-Shaffat ayat 102-107, ditambah lagi dengan penjelasan dari Nabi saw dalam berbagai sabdanya yang bisa dibaca dalam kitab shahih al-Bukhari, Muslim, dan dalam kitab-kitab sunan dan kitab musnad.

Di dalam surat al-Kautsar ayat 2 Allah berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Artinya: “Maka shalatlah engkau karena Tuhanmu dan berkurbanlah.”

Di dalam surat al-Hajj ayat 34-35, Allah berfirman:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ. الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصَّابِرِينَ عَلَى مَا أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلاَةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka.”

Di dalam surat ash-Shaffat ayat 103-107

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِينَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِ��نَ. إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاَءُ الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

Selanjutnya di dalam surat al-Hajj ayat 36 Allah berfirman:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ …

Artinya: “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah, …”

Di dalam hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah disebutkan:

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Artinya: “Barangsiapa mempunyai keluasan rezki (mampu berkurban) tetapi ia tidak mau berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat kami bersembahyang.”

Di dalam hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari shahabat Zaid bin Arqam disebutkan:

قُلْتُ أَوْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا هَذِهِ اْلأَضَاحِيُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ قَالُوا مَا لَنَا مِنْهَا قَالَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ

Artinya: “Aku atau mereka bertanya: Hai Rasulullah, apakah kurban itu? Nabi saw menjawab: Itulah suatu sunnah ayahmu Ibrahim. Mereka bertanya (lagi): Apakah yang kita peroleh dari kurban itu? Rasulullah saw menjawab: Di tiap-tiap bulu kita mendapat suatu kebajikan.”

Di dalam sabda Nabi saw yang lain, diriwayatkan oleh Imam Ahmad juga dari Jubair ibn Muth‘im, Rasulullah saw bersabda:

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ.

Artinya: “Tiap-tiap (semua) hari Tasyriq itu adalah hari menyembelih.”

  1. Mengenai siapa yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim, apakah Nabi Ismail atau Nabi Ishaq, dapat kami jelaskan sebagai berikut:

Kalau dilihat semata-mata pada bunyi ayat dalam surat ash-Shaffat itu dengan mempergunakan perkataan يَابُنَيَّ (hai anakku), terkesan masih samara (mubham). Ini memerlukan penjelasan dari Rasulullah saw, dan beliau telah menjelaskannya. Di antara hadits/penjelasan beliau mengatakan bahwa yang dikurbankan itu adalah Nabi Ismail. Kata Nabi Muhammad saw: أَنَا ابْنُ الذَّبِيْحَيْنِ (aku anak dari dua orang yang disembelih). Maksud sabda Nabi itu ialah Nabi Muhammad saw adalah keturunan Nabi Ismail dan Abdullah (ayahnya), yang kedua-duanya pernah hendak disembelih oleh ayahnya yaitu Nabi Ibrahim dan Abdul Muthalib.

Hadits tersebut di atas riwayatkan oleh banyak perawi, antara lain oleh Imam al-Hakim, Imam Ibnu Murdawaih yang bersumber kepada shahabat Muawiyah ra. Riwayat tersebut diperkuat pula dengan riwayat para ahli sejarah dan ahli tafsir.

Memang ada sementara mufassir yang terpengaruh dengan riwayat israiliyat, mereka mengatakan bahwa yang dikurbankan Nabi Ibrahim adalah Nabi Ishaq bukan Nabi Ismail, seperti tersebut dalam kitab yang telah mereka palsukan itu, yaitu ada ucapan إِذْبَحْ بِكْرَكَ وَوَحِيْدَكَ إِسْحَاقَ (sembelihlah anak bungsumu satu-satunya Ishaq itu).

Perkataan Ishaq adalah tambahan dari orang-orang atau pendeta mereka dari ahli kitab, seperti kata pengarang tafsir al-Munir, Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili:

فَكَلِمَةُ “إِسْحَاقَ” مِنْ زِيَادَتِهِمْ وَتَحْرِيْفِهِمْ لِكِتَابِاللهِ، وَإِلاَّ فَإِنَّ إِسْحَاقَ لَمْ يَكُنْ بِكْرَ إِبْرَاهِيمَ وَلَمْ يَكُنْ وَحِيْدَهُ, بَلْ اَلَّذِي كَانَ كَذَالِكَ هُوَ إِسْمَاعِيْلَ, ثُمَّ لَمَا بَذَلَ إِبْرَاهِيمُ ابْنَهُ لِلذَِبْحِ وَأَطَاعَ, أَعْطَاهُ اللهُ وَلَدًا آخَرَ هُوَ إِسْحَاقَ.

Artinya: Maka perkataan “Ishaq” itu termasuk tambahan dan penyimpangan dari mereka terhadap kitab Allah (at-Taurat), dan jika bukan begitu, maka sesungguhnya Ishaq bukan anak bungsu dan anak satu-satunya Ibrahim, melainkan yang disebutkan begitu adalah Isma‘il (sebagai anak satu-satunya sebab Ishaq belum lahir). Kemudian setelah Ibrahim bersungguh-sungguh untuk menyembelih Isma‘il, maka Isma‘il patuh kepada perintah Allah, lalu Allah memberikan kepada Ibrahim satu anak lagi yaitu Ishaq.

Jadi, kita ulang kembali apa yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam manakibnya adalah kuat, yaitu:

مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلاَّ شُفِّعُوا

Artinya: “Aku adalah anak laki-laki dari dua orang yang mau disembelih, maksudnya dari keturunan Nabi Isma‘il dan ayahnya sendiri Abdullah, dimana Abdul Muthalib ayahnya Abdullah pernah bernazar untuk menyembelih anak (laki-lakinya) bila dia dikaruniai sepuluh anak laki-laki, atau Allah memudahkannya penggalian sumur zam-zam. Maka ketika kedua perkara itu terpenuhi, Abdul Muthalib mengundi, dan anak panah undian itu jatuh kepada diri Abdullah, tetapi saudara-saudaranya menghalang-halangi Abdul Muthalib (menyembelih Abdullah) dan mereka berkata: Tebuslah putramu Abdullah dengan 100 ekor unta, lalu Abdul Muthalib menebusnya dengan 100 ekor unta.”

Di dalam beberapa atsar yang shahih disebutkan bahwa yang disembelih itu memang Nabi Isma‘il bukan Ishaq. Demikianlah riwayat dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Abu Thufail, Amir bin Wathsilah dari kalangan shahabat, dan Saad bin Musayyab, Said bin Jubair, al-Hasan al-Bashri, Mujahid, asy-Sya‘bi, Yusuf bin Mihran, Rabi‘ bin Anas, Muhammad bin Ka‘ab al-Qurdli, al-Kalbi, Alqamah, Abu Ja‘far Muhammad bin Ali, dan Abu Shaleh dari kalangan tabi‘in. Semua mereka itu berkata: Anak yang disembelih itu adalah Nabi Isma‘il, dan pernyataan tersebut dikuatkan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya: الجامع لأحكام القرآن , sebagai berikut:

وَهَذَا الْقَوْلُ أَقْوَى فِي النَّقْلِ عَنِ النَّبِيِّ صّلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنِ الصَّحَابَةِ والتَّابِعِيْنَ

Artinya: Pendapat ini sangat kuat dari segi riwayatnya dari Nabi saw, dari shahabat, dan dari tabi‘in.

Hanya sayangnya orang-orang Yahudi sangat dengki kepada orang Arab atas anugerah Allah yang diberikan kepada bapak mereka Nabi Isma‘il as., lalu mereka membuat kedustaan dengan menambah-nambah riwayat dalam Taurat dan mereka susupi riwayat-riwayat apa yang disebut israiliyat dalam sebahagian hadits dan atsar.

Memang dalam Perjanjian Lama Kitab Kejadian 22:1 disebutkan: Ambillah anakmu yang tunggal itu yang engkau kasihi yakni Ishak, pergilah ke tanah muria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan kukatakan kepadamu. Apakah anak tunggal itu dan siapakah dia? Anak tunggal pada saat diperintahkan untuk dikorbankan ialah anak yang tidak mempunyai kakak atau adiknya waktu itu. Tapi di dalam Kejadian 17:24-27 disebutkan:

Bahwa Ibrahim dan orang-orang dirumahnya diperintahkan Tuhan untuk disunat (khitan). Waktu itu umur Ibrahim 99 tahun.

Waktu Ishaq lahir umur Ibrahim 100 tahun dan istrinya Sarah 90 tahun. Ishaq disunat pada umur 8 (delapan) hari (Kejadian 21:4) dari hari kelahirannya.

Isma‘il lahir waktu Ibrahim berumur 86 tahun (Kejadian 6:16). Waktu Ibrahim berumur 99 tahun ia dikhitankan bersma Isma‘il. Jadi umur Isma‘il waktu dikhitan adalah 13 tahun, yaitu umur Ibrahim 99 tahun dikurangi waktu Ismail lahir ia berumur 86 tahun.

Ishaq dikhitankan 8 hari sesudah ia lahir, dan Ibrahim waktu itu berumur 100 tahun. Isma‘il dikhitankan pada waktu berumur 13 tahun sedang Ibrahim sudah berumur 99 tahun. Dengan demikian, Isma‘il lebih tua 14 tahun daripada Ishaq, yaitu umur Ibrahim 100 tahun dikurangi 86 tahun waktu Isma‘il lahir. Dengan demikian jelaslah Isma‘il lebih tua daripada Ishaq sebanyak 14 tahun. Dan putra tunggal waktu itu tidak ada lain kecuali Ismail as.

Demikian agak sedikit panjang jawaban kami kepada dua buah pertanyaan saudara, dengan harapan agar masalah itu jelas dan bias disampaikan pula oleh saudara kepada saudara kita yang membutuhkannya di tempat saudara. *th)

Sumber : Fatwa Tarjih Muhammadiyah 2004

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker