default

Fatwa Tarjih Muhammadiyah : Shalat Arbain dan Kawin Beda Agama

HUKUM SHALAT ARBA’IN

DAN HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Penanya:

Yel Hidayat, Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Bengkulu

(disidangkan pada hari Jum’at, 29 Sya’ban 1427 H / 22 September 2006 M)

 

Pertanyaan:

  1. Di dusun  kami  ada  kebiasaan  masyarakat  mengerjakan  sholat  40  waktu dengan berjama’ah dimulai dan tanggal 20 Sya’ban sarnpai dengan akhir bulan Ramadhan setiap tahun. Kalau tinggal satu waktu saja sholat lima waktu itu dikerjakan tidak berjama’ah. maka ia dinyatakan tidak boleh lagi mengikuti selanjutnya. Mereka mengatakan sama dengan sholat arba’in di tanah suci. Yang saya tanyakan, apakah ada dalil yang memerintahkan?
  2. Pada akhir-akhir ini banyak kita dengar perkawinan berlainan agama, yang saya tanyakan apakah sah perkawinan antar agama tersebut? Dan apakah hukumnya mereka berhubungan suami isteri? Apakah termasuk zina?

Demikian kiranya bapak dapat menjawabnya. Terima kasih.

Jawaban:

Saudari Yel Hidayat yang baik, berikut ini jawaban atas pertanyaan saudari:

  1. Dalil yang memerintahkan sholat arba’in di selain masjid Nabawi di Madinah itu tidak ada. Jadi dengan demikian kebiasaan masyarakat di dusun saudari tersebut bid’ah yang harus segera dihentikan, ini karena ibadah tanpa dalil itu dilarang oleh agama. Para ulama dalam hal ini telah membuat kaidah:

الأَصْلُ فِى اْلعِبَادَةِ التَّوْقِيْفُ

Artinya: Asal semua ibadah itu adalah berhenti (menunggu apa yang diperintahkan oleh syariat).”

Maksudnya, kita tidak boleh menambah atau mengurangi apa yang diperintahkan oleh syariat, atau bahkan mengada-adakan sesuatu yang tidak diperintahkan olehnya atas dasar pikiran kita.

Memang sholat secara berjama’ah itu sangat dianjurkan oleh syariat. Namun pelaksanaannya tidak terbatas pada sholat 40 waktu saja seperti kebiasaan masyarakat di dusun saudari. Tambahan lagi, kebiasaan tersebut aneh, kalau tertinggal satu waktu saja, seseorang tidak boleh mengikuti selanjutnya. Ini berarti ia tidak perlu sholat berjama’ah lagi hingga akhir Ramadhan dan ini tidak benar. Kami kira sebab kebiasaan tersebut adalah kesalahan dalam memahami sholat arba’in di Madinah. Untuk lebih rinci berikut ini dikutipkan hadis tentang sholat arba’in di Madinah.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَلَّى فِى مَسْجِدِيْ أَرْبَعِيْنَ صَلاَةً لاَ تَفُوْتُهُ صَلاَةٌ كَتَبَ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ اْلعَذَابِ وَبَرِيْءٌ مِنَ النِّفَاقِ. [رواه أحمد والطبراني فى الأوسط ورجاله ثقات

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik, dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Barangsiapa sholat di masjidku 40 sholat, tidak tertinggal satu sholatpun, niscaya ditulis baginya bebas dari neraka, bebas dari siksa, dan bebas dari kemunafikan”.” [HR. Ahmad dan Thabrani di dalam Kitab al-Ausath, dan perawinya tsiqat].

Kesahihan hadis ini masih diperselisihkan oleh kalangan para ahli hadis. Menurut Syaikh al-Albani hadits ini dlaif. Hadis ini menerangkan keutamaan sholat berjama’ah di masjid Nabawi. Bagi mereka yang bisa menjaga sholat berjama’ah selama 40 waktu (delapan hari) berturut-turut di masjid tersebut diberi pahala luar biasa yaitu bebas dari neraka, siksa dan sifat munafik. Hal ini tidak bisa dianalogikan kepada sholat berjama’ah di masjid-masjid lain, karena keutamaan dan keistimewaan tersebut hanya khusus diberikan kepada masjid Nabawi sebagai penghormatan kepada Nabi Muhammad saw.

Perlu ditambahkan di sini bahwa jika seseorang itu tertinggal satu kali waktu ketika sholat arba’in di masjid Nabawi, maka ia boleh memulakannya semula. Juga perlu ditegaskan di sini bahwa keutamaan menjaga sholat arba’in secara berjama’ah di masjid Nabawi itu tidak berarti bahwa sholat berjama’ah itu cukup selama 40 waktu saja, karena sholat berjama’ah tetap dituntut atau dianjurkan di masjid Nabawi dan di masjid-masjid lain meskipun seseorang itu telah melakukan sholat arba’in.

  1. Sebenarnya pertanyaan saudara mengenai perkawinan beda agama sudah pernah dijawab pada buku Tanya Jawab Agama jilid 4 halaman 205-207. Berikut ini sekedar keterangan tambahan. Para ulama sepakat bahwa seorang wanita muslimah haram menikah dengan selain laki-laki muslim. Mereka juga sepakat bahwa seorang laki-laki muslim haram menikahi wanita musyrik (yang tidak beragama dan atau yang beragama bukan ahli kitab: seperti Hindu, Buda, Konghuchu dan lainnya). Dalam hal ini Allah berifrman:

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [QS. al-Baqarah (2): 221]

Yang menjadi perselisihan di kalangan para ulama adalah, bolehkah seorang laki-laki muslim menikahi seorang wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani)? Sebagian ulama membolehkan dengan dalil firman Allah:

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Dan makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara ahli kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” [QS. al-Maidah (5): 5]

Sebagian lagi melarang (mengharamkan) menikah dengan ahli kitab dengan alasan bahwa ahli kitab yang ada sekarang tidak seperti ahli kitab pada zaman Nabi Muhammad saw. Ahli kitab sekarang telah musyrik (menyekutukan Allah) dengan mengatakan Isa as. dan ’Uzair itu anak Allah. Mereka juga telah menyelewengkan kitab Taurat dan Injil. Menurut kami, pendapat ini lebih kuat, karena beberapa alasan lain antara lain; menikah dengan yang seagama itu lebih baik untuk menjaga iman anak-anak yang akan dilahirkan, dan kita -kaum muslimin- alhamdulillah tidak kekurangan wanita muslimah. Bahkan realitasnya, jumlah kaum wanita kita lebih banyak dari kaum laki- lakinya,  jadi  mengapa  menikah  dengan  selain  mereka?  Bukankah  ini menimbulkan situasi dan kondisi yang tidak baik di dalam masyarakat Islam?

Jadi kesimpulannya, seorang muslimah itu diharamkan menikah dengan selain muslim, demikian pula sebaliknya, seorang muslim itu dilarang menikah dengan selain muslimah, demi memelihara maslahat umat Islam dan menghindarkan mereka dari mara bahaya.

Mengenai hubungan suami isteri, itu dianggap sah jika pernikahan mereka dibenarkan oleh syariat. Dan jika pernikahan mereka itu tidak dibenarkan (seperti jika seorang wanita muslimah menikah dengan seorang laki-laki non muslim), maka hubungan suami isteri mereka itu dianggap perzinaan yang harus segera dihentikan.

Wallahu a’lam bishshawab. *mi)

Sumber : Fatwa Tarjih Muhammadiyah  2006

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker