default

Fiqih Politik Perempuan

FIQIH POLITIK PEREMPUAN[1]

  1. Pengantar

Sebagai rasa syukur atas hidayah Ilahi yang telah menggugah kesadaran kaum perempuan, maka sudah semestinya kaum perempuan mengaplikasikannya dalam karya nyata . Salah satu bentuk karya yang dirindukan umat adalah partisipasi kaum perempuan dalam bidang politik [siyasah]. Masih ada keraguan di kalangan sebagian perempuan,mengenai hukum berpolitik [fiqih siyasah] yang mengatur keterlibatan perempuan di bidang politik. Fenomena demikian menjadi faktor penghambat gerak langkah perempuan, yang pada dasarnya mampu mengemban amanah tersebut. Dalam Q S Attaubah [9]:71,sudah jelas di terangkan:

وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

  1. Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dalam memahami ayat ini ,majelis Tarjih Muhammadiyah menegaskan bahwa di antara karakteristik orang –orang mukmin perempuan adalah saling tolong menolong satu sama lain, memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran .Termasuk kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adalah masalah politik dan ketatanegraan[2].

Dalam ramalan John Naisbitt, dominasi laki-laki makin memunculkan perempuan sebagai tokoh politik, pemimpin business dan tokoh intelektual[3]. Keyataan tersebut telah terjadi di Indonesia, dimana 15 tahun terakhir ini peran perempuan telah mewarnai di segala bidang .Namun sebagian yang lain, kaum perempuan masih termangu dalam keraguan sehingga belum dapat menyumbangkan perannya secara maksimal bagi umat. Untuk menyibak tabir keraguan tersebut,

  1. Tinjauan Fiqih Siyasah

Fiqih siyasah  adalah bagian dari ilmu fiqih yang membahas persoalan politik [siyasah]. Sejak awal sejarah, siyasah merupakan bagian penting dalam kehidupan politk umat Islam. Fiqih memandang persoalan politik dari pendekatan :fikhiyyah [hukum dari berbagai masalah kehidupan politik umat Islam ]; filosofis [falsafiyah ] ;administratif [idariyah]; dan moral [akhlaqiyyah] 4.

Dalam pembahasan fiqih siyasah, khususnys pada masa pramodern, hampir itidak ada singgungan mengenai perempuan ,baik sebagai obyek maupun subyek politik. Persyaratan pemimpin [ahl al-imamah] dalam al-Ahkam sangat berwatak kelaki-lakian. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh [a] Dominasi kaum laki-laki dalam kehidupan pollitik ;[b] Pengaruh kehidupan Arab yang menampilkan watak dominasi laki-laki [masculine culture];[c] para fuqaha pada masa itu adalah laki-laki sehingga mendominasi wacana politik.

Hal ini menimbulkan dua kemungkinan: pertama ,fiqih siyasah tidak memberikan ruang bagi keterlibatan perempuan dalam wilayah poitik; kedua, ruang keterlibatan politik perempuan tidak tertutup sama sekali, tetapi keterlibatan itu dalam latar budaya dominasi laki-laki, sehingga di anggap tidak signifikan, maka tidak perlu di bahas.

Kemungkinan pertama berdasar pada syarat pemimpin adalah laki-laki muslim, berarti perempuan secara fikhiyyah tidak boleh menjadi pemimpin .Kemungkinan kedua perempuan mempunyai hak untuk menjadi pemimpin tetapi hak itu tidak dapat ditunaikan dalam kehidupan politik dengan budya dominasi laki-laki5.

Tiadanya ruang gerak perempuan di bidang politik dalam fiqih siyasah berdasarkan pemahaman ayat –ayat Alqur’an dan hadits yang menghalangi perempuan menjadi pemimpin, diantara ayat-ayat itu adalah :

a.Qs An-nisaa’[4]:[34]:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan),”

Ayat ini diartikan bahwa”laki-laki berkuasa atau pemimpin atas kaum perempuan” oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan) …

b.Hadits Abu Bakrah:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْ أَمْرُهُمْ إِمْرَ أَةً   رواه البخاري والنّسائى والتّرمذي وأحمد)

Hadist ini diartikan ”tidak akan menang kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.”

Pemahaman demikian dipengaruhi oleh budaya Arab yang didominasi laki-laki dan juga mempengaruhi pemahaman yang sama di negara-negara Islam. Akibatnya peran sosial politik perempuan dinegara-negara Islam menunjukkan indikator rendah dan lemah 6.Padahal sebenarnya dimasa Rosululloh SAW, telah  banyak perempuan yang terlibat aktif di dunia publik,seperti :menjadi penyair, berperan dalam Darul Arqam , perawi hadits, sebagai peugas PPPK dalam perang,dsb. Namun perjuangan mereka ini jarang diangkat oleh para penafsir yang masih berpegang pada prinsip dominasi laki-laki.

Pada masa modern, ada beberapa fuqaha [pemikir politik Islam] menyinggung hak kaum perempuan dengan menekankan kebebasan perempuan untuk terlibat dalam kehidupan publik [pendidikan, sosial politik,dan ekonomi.]sejalan dengan isu global tentang feminisme, banyak para pemikir muslim yang berpandangan mengenai pentingnya perempuan terlibat dalam kehidupan politik.7

Para penafsir yang berpendapat demikian, berdasar pada pemahaman bahwa Qawwam diartikan sebagai ’pendukung’ atau ’penyangga.Begitu pula dalam memahami hadist diatas yang seolah menutup rapat kesempatan perempuan dalam politik, secara jernih dan mendalam para fuqaha meneliti asbab al-wurud [latar belakang]-nya. Hadits Abu Bakrah tersebut merupakan respon Nabi Muhammad SAW .terhadap berita tentang raja persia yang ingin mengangkat putrinya sebagai pengganti kepemimpinan berikutnya. .Namun Rosululloh menyatakan ketidak setujuannya [hadits diatas], berdasarkan pengetahuan beliau tentang ketidakmampuan sang putri untuk mengurusi urusan kenegaraan yang berat dan kompleks8.Dengan pertimbangan tersebut ,berarti jika perempuan itu punya kemampuan untuk memimpin dengan segala kelebihan ilmu dan pengetahuannya, maka fiqih siyasah tidak mempermasalahkannya.

  1. Tinjauan Putusan dan Fatwa Tarjih

Dalam putusan tarjih ditegaskan bahwa:

”kaum perempuan Islam diperlukan untuk ikut memikirkan soal-soal yang berhubungan dengan masalah ketatanegaraan dan ikut serta menggerakkan dan melakukannya, karena mengenai soal kemakmuran rakyat dan keamanan negara itu kaum perempuan ikut bertanggung jawab”.9

Peran permpuan dalam bidang politik atau ketatanegaraan tersebut,dalam adabul mar’ah fil Islam [tata krama perempuan dalam Islam ], di bedakan menjadi dua :

  • Pertama ,peran yang langsung berupa praktik politik dalam badan-badan legislatif atau DPR dari pusast sampai ke daerah. Dalm hal ini kaum perempuan harus berjuang untuk mencapai jumlah perwakailan yang memadai ;
  • Kedua, peran tidak langsung, di salurkan dari rumah tangga, ditengah-tengah masyarakat dengan mengambil bagian aktif dan mengisi kesempatan – kesempatan bermanfaat di dalam masyarakat. Di bidang tersebut kaum perempuan harus dapat mengambil peranan yang menentukan.10

Putusan tarjih dalam Adabul Mar’ah fil Islam membolehkan perempuan menjadi pemimpin. Dalam bab ini juga ditegaskan bahwa tidak ada alasan untuk menghalang-halangi atau menolak perempuan menjadi hakim, direktur sekolah , direktur perusahaan, camat, lurah, walikota, menteri, dan sebagainya.11 Semangat dari keseluruhan putusan ini, terkesan bahwa di bolehkannya perempuan untuk menekuni dakwah melalui karir di segala bidang, bahkan menjadi kepala negara sekalipun.Adapun dakwah disini di maksudkan sebagai upaya mewarnai lingkungan aktifitas politik dengan suasana Islami dan akhlaq yang mulia ,dan bukan sebaliknya [inti Qs.9:71] di atas .

Secara implisit, putusan tarjih memuat argumen mengenai fiqih siyasah perempuan sebagai berikut :

  1. Sesuai dengan QS.An Nisa’(4):124 dan QS. At Taubah (9):71 ,setiap orang mukmin, perempuan dan laki-laki sama-sama bertanggung jawab dalam perbuatannya menyangkut dirinya sendiri dan ibadahnya kepada Allah,di samping urusan kemasyarakatan dan publik pada umumnya .” perempuan dan laki-laki bertangung jawab didalam amar ma’ruf nahi munkar dalam hal menegakkan keadilan dan mengenyahkan kelaliman ”.
  2. Dalam memahami hadits Abu bakrah:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْ أَمْرُهُمْ إِمْرَ أَةً   )رواه البخاري والنّسائى والتّرمذي وأحمد)

”Tidak akan beruntung golongan yang menyerahkan kekuasaan atau urusan mereka pada seorang perempuan ”12

Hadits ini di pahami sebagai suatu ungkapan sementara yang di kaitkan dengan gambaran tertentu pada masa tertentu dan bentuk tertentu yeng pernah dialami umat manusia di masa silam yang jauh atau sukar dicari persamaanya dimasa kini . Dengan demikian ,pada masa sekarang tidak tepat lagi di persoalkan, bolehkah perempuan menjadi hakim   ?13 Pemahaman hadist ini menggunakan kaidah hukum Islam[al-waqaid al-fiqhiyyah yang menyatakan ”hukum itu berlaku menurut ada tidaknya illat 14”atau ada tidaknya sebab.

  • Mengenai Qs An Nisa’:[4] :[34]:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ

’Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan   ”

Putusan tarjih memahami ayat tersebut secara khas .Qowwamuna tidak di artikan sebagai pemimpin sebagaimana lazimnya di kalangan ulama , melainkan ”laki-laki adalah penegak tanggung jawab atas perempuan”.ini melandasi pemahaman bahwa agama tidak menolak dan menghalang-halangi kepemimpinan perempuan .15

Syamsul Anwar menerangkan bahwa Arrijalu Qawwamuna ’ala annisa’ di terjemahkan sebagai penanggung jawab terhadap perempuan dalam pengertian menopang , memikul beban dan tanggung jawab.Akan tetapi beban dan tanggung jawab itu bukan suatu kekuasaan dan dominasi, melainkan sebagai suatu karakteristik dalam ciptaan.16

Dalam pandangan Islam, baik dari erspektif teologis maupun historis, terdapat persamaan hak, kewajiban dan tanggung jawab sosial politik bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan . Jika ada kesan diskriminasi, maka hal tersebut merupakan bias kultural dari budaya dominasi laki-laki yang mencari legitimasi teologis dengan menampilkan penafsiran subyektif.17

IV.Penutup

Berdasarkan pendekatan fiqih siyasah maupun putusan tarjih di atas ,maka dapat kita simpulkan bahwa fiqih siyasah telah memberi kesempatan luas bagi perempuan untuk berperan aktif di bidang politik. Ketentuan ini memerlukan perjuangan panjang para fuqaha melalui penafsiran Al Qur’an dan hadist yang berkeadilan Gender . Kesempatan yang telah terbuka lebar di canangkannya Quota 30 % dalam UU pemilu , semua tidak ada artinya jika kesempatan ini tidak segera di tangkap oleh perempuan itu sendiri.

Dan jika kita ingat hadits Rosulloh SAW Yang menyatakan :Antum A’lamu bi umuuri dunnyakun  yang artinya ”kamu lebih mengetahui urusan duniamu”.Disini dapat kita fahami bahwa hanya perempuanlah yang lebih mengetahui segala urusan perempuan dari pada laki-laki .Untuk itulah sudah seharusnya perempuan terlibat aktif dalam pengambilan kebijakan, agar keadilan gender dapat segera terwujud .Amiin yaa Rabbal ’Alamiin.

[2]  Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Adabul Mar’ah Fil Islam, Putusan Tarjih Wiradesa, Yogyakarta, 1982, Bab VIII, hal.52.

[3]  John Naisbitt, Megatrend for Women, Women Are Changing the World, Arrow, London, 1993.

4  Din Syamsuddin, Perempuan dan Politik: Perspektif Fiqih Siyasah, Makalah pada seminar Nasional “Fiqih Perempuan Dalam Perspektif Muhammadiyah”, Jakarta 30-31 September 2003, hal.1.

5  Ibid.hal.2-3.

6  Lois Beck and Nikki Keddie (ed), Women in the Muslim World, Harvard University Press, Cambridge, 1978

7  Din Syamsudin,Op Cit.hal.4.

8  Ibid.hal.3.

9  Majelis tarjih PPM, Op.Cit.hal.49.

10  Ibid. hal.49.

11  Ibid.hal.52.

12  Al Bukhori, shohih Al Bukhori, Muwatta’ Al-Halabi wa Auladuh, 1345, Mesir, VI: 10, Bab Kitab an nabi ila Kira wa Qaibar.

13  Adabul Mar’ah Fil Islami, Op.Cit.

14  Syamsul Anwar, Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam, Menggali Pespektif Syari’ah Dalam Tarjih Muhammadiyah, makalah disampaiakan pada seminar Nasional “Fiqih Siyasah dala Perspektif Muhammadiyah”, Jakarta, 30-31 Agustus 2003 hal.4.

15  Ibid.

16  Ibid.hal.8.

17  Din Syamsudin, Op.Cit. hal.6.

NUR HIDAYANI,MH

Koordinator Devisi pembinaan Majelis tabligh Pimpinan Pusat ’Aisyiyah & Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker