default

Hubungan Muhammadiyah dan Perjuangan Ideologi Negara

Dr.Syamsul Hidayat
Dekan FAI Universitas Muhammadiyah Surakarta

Muhammadiyah sejak kelahirannya dikenal sebagai gerakan Islam yang berkiprah di ranah dakwah dan social kemasyarakatan. Muhammadiyah yang berjuang di lapangan politik serta tidak memiliki hubungan apapun dengan kekuatan politik manapun di negeri  tercinta ini, kecuali hubungan dakwah, yakni menyampaikan risalah Islam bagi kemaslahatan umat dan bangsa. Pendirian ini telah dikukuhkan sejak awal, sejak Muhammadiyah dalam binaan pendirinya, KH. Ahmad Dahlan.

Alkisah menyebutkan bahwa disaat-saat bangsa ini mulai mulai demam politik pra kemerdekaan, Pengoeroes Besar (HB) Muhammadiyah mengadakan rapat, yang dipimpin langsung oleh KH. Ahmad Dahlan. Rapat tersebut diantaranya memmbahas mengenai strategi perjuangan dan dakwah Muhamamdiyah. Tampillah salah seorang anggota HB Muhammadiyah ketika itu, KH. Agoes Salim, seorang orator dan agitator yang sangat terkenal ini mengemukakan pokok-pokok pikirannya yang antara lain adalah perlunya Muhammadiyah terjun ke ranah politik. Beliau berikan berbagai argumentasi yang begitu memukai para peserta rapat. Hampir-hampir seluruh peserta rapat terpengaruh dan menyetujui gagasan KH. Agoes Salim tersebut.

Di penghujung rapat, KH. Ahmad Dahlan menyampaikan pertanyaan, “Apakah saudara-saudara ini telah benar-benar memahami agama Islam? Apakah saudara-saudara ini benar-benar berani beragama Islam?” Semua peserta terdiam, termasuk KH. Agoes Salim. KH. Ahmad Dahlan menjelaskan kembali pentingnya dakwah dan menggarap pembinaan sosial kemasyarakatan dengan menjabarkan risalah Islamiyah, menafsirkan Al Quran dan Sunnah dalam praktek kehidupan masyarakat Indonesia. Beserta argumentasinya yang lebih kuat, bahwa dengan pilihan dakwah sosial kemasyarakatan, Muhammadiyah akan tetap eksis dan survive di setiap zaman, karena dakwah adalah memperbanyak kawan, dakwah adalah merangkul, dakwah adalah menyantuni dan seterusnya. Akhirnya urunglah gagasan KH. Agoes Salim tersebut menjadi keputusan rapat HB Muhammadiyah, dan tetaplah Muhammadiyah istiqamah dalam dakwah.

Namun, demikian pilihan Muhammadiyah untuk tetap istiqamah dalam dakwah dan gerakan social kemasyarakatan itu bukan berarti Muhammadiyah harus menutup  mata atas perkembangan politik kebangsaan dan politik kenegaraan. Justru, dengan gerakan dakwah dan pembinaan masyarakat, baik dalam ranah pembinaan pemahaman dan pengamalan keagamaan maupun ranah pendidikan, kesejahteraan social, Muhammadiyah membangun kesadaran masyarakat Indonesia akan kemerdekaan Indonesia, kesadaran bangsa Indonesia akan perlunya Negara yang berdaulat dan bebas dari segala bentuk penjajahan. Meskipun secara kelembagaan, Persyarikatan Muhammadiyah tetap istiqamah dalam dakwah dan gerakan social kemasyarkatan, namun telah melahirkan putra-putra bangsa yang diutus dan diijinkan untuk berkiprah membangun bangsa.

Proklamator negeri ini, Ir. H. Soekarno adalah merupakan putra Muhammadiyah, karena sejak usia 15 tahun beliau telah mengikuti tabligh-tabligh yang diselenggarakan oleh KH. Ahmad Dahlan, bahkan Soekarno dalam sebuah pidato di Muktamar Muhammadiyah ke 35 (Muktamar Setengah Abad) menyatakan, meskipun saya selalu dibimbing oleh ibu saya yang beragama Islam, namun keyakinan beliau masih tercampur dengan agama sebelum menjadi muslimah ketika di Bali, demikian juga ayahnya meskipun seorang Muslim tetapi penganut teosofi. Maka dari tabligh dan ta’lim yang diberikan oleh KH Ahmad Dahlan itulah yang telah memberikan warna baru keislaman Bung Karno. Islam yang bersih dari segala kejumudan karena tertutup oleh bid’ah dan khurafat, dan Islam yang mendorong kemajuan umatnya.

Bung Karno menyatakan bahwa dirinya resmi menjadi anggota Muhammadiyah sejak 1938, tepatnya ketika ia diasingkan oleh Belanda di Bengkulu (1934-1938). Ketika dalam pengasingan ini Bung Karno justru aktif di Muhammadiyah sebagai Ketua Majelis Pendidikan Muhammadiyah Konsul Bengkulu.

Bung Karno yang menjadi pencetus ideologi Negara Pancasila, termasuk lahirnya Piagam Jakarta yang memuat rumusan resmi Pancasila yang diamanahkan oleh BPUPKI terhadap Panitia Sembilan yang beliau menjadi ketuanya dan Abdul Kahar Muzakkir, seorang ulama cendekiawan Muhammadiyah menjadi salah satu anggotanya.

Ketika Pancasila versi Piagam Jakarta ini dipersoalkan oleh sekelompok kecil yang mengaku mewakili Indonesia bagian Timur, dalam Sidang PPKI 18 Agustus 1945, putra Muhammadiyah yang lainnya yang gigih mempertahankannya, yakni Ki Bagus Hadikusuma. Dan, ketika akhirnya mengalami deadlock, Mr. Kasman  Singodimedjo seorang pemuda Muhammadiyah ketika itu memberikan masukan kepada Ki Bagus, yang akhirnya dapat memberikan solusi terhadap ketahanan Ideologi Pancasila tersebut dari rong-rongan pihak-pihak yang tidak menginginkan kemerdekaan Indonesia.

Kiprah putera-putra Muhammadiyah dalam kancah kebangsaan dan kenegaraan terus berlanjut dari masa ke masa sejak pra kemerdekaan, hingga masa kemerdekaan, masa “orde lama”, masa orde baru hingga era  reformasi saat ini, dengan berbagai dinamikanya.

Tidak hanya itu, secara kelembagaan dengan kiprah dakwah dan social kemasyarkatannya dari masa ke  masa sesuai perkembangan masyarakat, bangsa dan Negara dengan berbagai tantangan dan peluangnya, Muhammadiyah selalu memberikan kontribusi konseptual dan pemikiran ideologis kebangsaan baik bagi internal Muhammadiyah maupun bagi seluruh elemen dan komponen bangsa. Kontribusi itu adalah dirumuskannya khittah perjuangan Muhammadiyah selalu lahir dan muncul sesuai kondisi, tantangan dan peluang. Khittah Muhammadiyah kebanyakan dilahirkan dalam forum-forum Muktamar dan Sidang Tanwir Muhammadiyah, sehingga nama khittah itu sering dikaitkan dengan nama kota tempat dilahirkannya khittah tersebut, seperti Khittah Palembang 1956, Khittah Ponorogo 1969, Khittah Ujung Pandang1971, Khittah Surabaya 1978, Khittah Denpasar 2002 dan seterusnya.

Seluruh khittah tersebut adalah untuk memberikan pedoman bagi  warga Muhammadiyah untuk andil dalam kiprah dakwah dan kiprah membangun bangsa dan Negara terutama dalam ketahanan ideologi Negara Pancasila dan ketahanan budaya bangsa, sehingga dapat terus kokoh dan tangguh menghadapi ancaman, gangguan hambatan, dan tantangan (AGHT) terutama AGHT dalam bidang ideologi, seperti komunisme, sekularisme, liberalisme, yang senantiasa mengancam ideologi Pancasila yang memiliki basis agama dan budaya bangsa Indonesia.

Ketika Negara ini menghadapi ancaman ideologi akibat  masuknya ideologi komunisme dengan lahirnya Partai Komunis Indonesia, Muhammadiyah gigih melawan komunisme dengan aktif sebagai angota istimewa Partai Masyumi yang membawa panji-panji Islam. Ketika PKI melakukan pemberontakan berdarah dan puncaknya pada kudeta berdarah pada 30 September 1965, yang akhirnya berhasil digagalkan, Muhammadiyah ikut serta menjaga keamanan nasional dengan mendirikan KOKAM (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah), di beberapa daerah seperti Solo, Madiun, Ponorogo, Klaten harus berhadapan langsung dengan keganasan pemuda rakyat dan gerwani yang merupakan kaki tangan PKI. Tentu kiprah tersebut juga membawa korban. Berapa ribu ulama, pemuda dan pelajar Muhammadiyah bersama ulama, pemuda dan pelajar Islam lainnya telah dibantai dan dibunuh oleh kekejaman PKI. Peristiwa Madiun, Kanigoro, Solo dan sebagainya adalah di antara peristiwa bersejarah yang  dilupakan oleh umat Islam karena begitu pahitnya perjuangan membela keutuhan dan ketahanan ideologi Negara. Begitu seterusnya hinggga masa kini.

Ketika Muhammadiyah dalam Muktamar ke 47, 2015 di Makassar melahirkan konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Asy Syahadah, sebenarnya Muhammadiyah ingin memberikan penguatan terhadap ketahanan ideologi Pancasila dengan memberikan kekayaan tafsir terhadap Pancasila sebagai ideologi terbuka dengan perspektif Islam rahmatan lil alamin dan pandangan Islam berkemajuan, sehingga keterbukaan ideologi Pancasila selalu dalam makna yang positif dan memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan Negara.

Muhammadiyah meyakini dan memahami bahwa konsep-konsep yang ada dalam seluruh sila dalam Pancasila adalah konsep-konsep yang lahir dari ajaran agama, karena disusun oleh para ulama dan pemimpin agama. Sebagai misal, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa sangat jelas keterkaitannya dengan konsep tauhid dalam ajaran Islam yang implikasinya tercantum dalam sila-sila yang lainnya, seperti muncul konsep adil, adab, rakyat, hikmah, musyawarah, dan perwakilan. Konsep-konsep tersebut sangat banyak diajarkan oleh Al Quran dan Sunnah.

Muhammadiyah yang tentu bersama elemen bangsa lainnya senantiasa menginginkan agar ideologi Pancasila ini tetap menjadi ruh perjalanan bangsa dan Negara. Pancasila selalu hidup sebagai nilai-nilai dasar, yakni nilai-nilai berasal dari nilai-nilai kultural bangsa Indonesia yang berakar dari kebudayaan sesuai dengan UUD 1945 yang mencerminkan hakikat nilai kultural, bangsa yang di antaranya diilhami oleh nilai-nilai ajaran agama-agama  yang hidup di Indonesia, dan terutama agama Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas bangsa ini, yang memiliki sifat rahmatan lil alamin.

Pancasila juga senantiasa hidup dengan dinamis sebagai nilai-nilai instrumental. Yakni pelaksanaan umum nilai-nilai dasar biasanya dalam wujud nilai sosial atau norma hukum, selanjutnya akan terkristalisasi dalam lembaga-lembaga yang sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu. Dan tidak kalah pentingnya Pancasila harus benar-benar hidup dalam nilai-nilai praktis, yakni nilai-nilai yang dipraktekkan oleh penyelenggaran dan aparat Negara, hinggga seluruh rakyat dalam bentuk nilai-nilai kemuliaan dan kemaslahatan serta nilai-nilai yang membawa kepada kemajuan dan daya saing bangsa yang berbasis pada nilai-nilai dasar di atas. Hanya dengan demikianlah, Muhammadiyah berkeyakinan bawa bangsa dan Negara ini akan maju, berdaya saing dan memiliki ketahanan ideologi yang benar-benar tangguh. Nasrun Minallah wa Fathun Qariib. [mrp/mrh]

Sumber : Majalah Tabligh edisi September 2016

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker