default

Hubungan Pancasila dengan Nilai Ajaran Islam

Dr. H. Syamsul Hidayat, M.A

(Dekan FAI-UMS Surakarta, Alumni PPSA XVI Lemhannas RI, 2011)

Para pendiri bangsa telah meletakkan dasar-dasar tegaknya sebuah negara-bangsa yang bernama Indonesia. Betapa seriusnya para pendiri bangsa dalam merumuskan konsep ideologi negara dapat dilihat dari dinamika perdebatan di antara mereka dalam merumuskan landasan ideologi sesuai dengan latar belakang keilmuan, agama dan budaya masing-masing, dengan disertai rasa saling menghargai dan menghormati. Meskipun melalui perdebatan yang sengit, keragaman pendapat dan gagasan yang ada kemudian bertemu pada komitmen bersama untuk membangun sebuah negara yang berdaulat, dengan melahirkan sebuah rumusan ideologi yang mampu meramu dan menampung semua elemen dan komponen bangsa, yaitu Pancasila. Titik temu ini mengandaikan bahwa seluruh nilai-nilai dan falsafah hidup seluruh elemen bangsa ini, baik yang bersumber dari keimanan dan keagamaan, maupun nilai-nilai budaya dirangkum sedemikian rupa dalam rumusan Pancasila.

Nila-nilai luhur dari agama (termasuk dan terutama Islam) dan budaya yang terintegrasi dalam ideologi negara telah menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang relatif kokoh. Kokohnya ideologi Pancasila telah terbukti dengan daya tahannya yang tinggi terhadap segala gangguan dan ancaman dari waktu ke waktu, sehingga sampai saat ini tetap eksis sebagai falsafah dan landasan serta sumber dari segala sumber hukum bagi negara-bangsa Indonesia.

Namun akhir-akhir ini, gangguan dan ancaman terhadap ideologi Pancasila semakin kuat, terlebih pada era gelobalisasi di mana percaturan dan pergumulan bahkan benturan antar berbagai pemikiran dan ideologi dunia begitu keras. Hal ini ditandai semakin melemahnya penghayatan terhadap nilai-nilai Pancasila pada generasi penerus bangsa, karena semakin banyaknya anak bangsa yang kian tertarik kepada ideologi-ideologi dan budaya lain yang memang gencar memasarkan dan menjajakan kepada siapa pun melalui metode dan media yang sangat menarik. Bahkan, kondisi ini juga melanda para pemimpin bangsa yang mestinya telah memahami sejarah dan dinamika perjuangan bangsa dan menjiwai-menghayati nilai-nilai ideologi Pancasila.

Saat ini ancaman terbesar Pancasila, tetapi hampir tidak kentara dan tidak terasa karena sangat halus sekali serangannya adalah kecenderungan dan gerakan sekularisasi Pancasila, yang ingin memisahkan bahkan mensterilkan Pancasila dari nilai-nilai Agama, termasuk di dalamnya adanya upaya membenturkan seolah-olah ada pertentangan yang hebat antara Pancasila dan Agama (terutama Islam). Dalam benturan ini muncul dua kutub ekstrem, yang sama-sama tidak menguntungkan bagi ideologi Pancasila, yaitu kutub anti Pancasila dan kutub anti Islam. Di satu sisi Pancasila dianggap aturan thoghut, namun di sisi lain Islam dianggap mengancam Pancasila, tentu kedua-duanya tidak benar baik dalam konteks Islam maupun Pancasila itu sendiri.

Relasi Agama dan Nilai-nilai Pancasila

Sebagai falsafah hidup bangsa, hakekat nilai-nilai Pancasila telah hidup dan diamalkan oleh bangsa Indonesia sejak negara ini belum berbentuk. Artinya, rumusan Pancasila sebagaimana tertuang dalam alinea 4 UUD 1945 sebenarnya merupakan refleksi dari falsafah dan budaya bangsa, termasuk di dalamnya bersumber dan terinspirasi dari nilai-nilai dan ajaran agama yang dianut bangsa Indonesia.

Islam sebagai agama yang dipeluk secara mayoritas oleh bangsa ini tentu memiliki relasi yang sangat kuat dengan nilai-nilai Pancasila. Hal ini dapat disimak dari masing-masing sila yang terdapat pada Pancasila berikut ini:

Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ketuhanan adalah prinsip semua agama. Dan prinsip keesaan Tuhan merupakan inti ajaran Islam, yang dikenal dengan konsep tauhid. Dalam Islam tauhid harus diyakini secara kaffah (totalitas), sehingga tauhid tidak hanya berwujud pengakuan dan pernyataan saja. Akan tetapi, harus dibuktikan dengan tindakan nyata, seperti melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, baik dalam konteks hubungan vertikal kepada Allah (ubudiyyah) maupun hubungan horisontal dengan sesama manusia dan semua makhluk (hablun minan nas).

Totalitas makna tauhid itulah kemudian dikenal dengan konsep tauhid ar-rububiyyahtauhid al-uluhiyyah dan tauhid al-asma wa al-sifatTauhid Rububiyyah adalah pengakuan, keyakinan dan pernyataan bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, pengatur dan penjaga alam semesta ini. Sedangkan tauhid al-Uluhiyyah adalah keyakinan akan keesaan Allah dalam pelaksanaan ibadah, yakni hanya Allah yang berhak diibadahi dengan cara-cara yang ditentukan oleh Allah (dan Rasul-Nya) baik dengan ketentuan rinci, sehingga manusia tinggal melaksanakannya maupun dengan ketentuan garis besar yang memberi ruang kreativitas manusia seperti ibadah dalam kegiatan sosial-budaya, sosial ekonomi, politik kenegaraan dan seterusnya, disertai dengan akhlak (etika) yang mulia sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah. Adapun tauhid al-asma wa al-sifat adalah bahwa dalam memahami nama-nama dan sifat Allah seorang muslim hendaknya hanya mengacu kepada sumber ajaran Islam, Quran-Sunnah.

Melihat paparan di atas pengamalan sila pertama sejalan bahkan menjadi kokoh dengan pengamalan tauhid dalam ajaran Islam. Inilah, yang menjadi pertimbangan Ki Bagus Hadikusumo, ketika ada usulan yang kuat untuk menghapus 7 kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, mengusulkan kata pengganti dengan “Yang Maha Esa”. Dalam pandangan beliau Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid bagi umat Islam. (Endang Saifuddin, 1981: 41-44)

Sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Prinsip kemanusiaan dengan keadilan dan keadaban adalah juga menjadi ajaran setiap agama yang diakui oleh negara Indonesia, termasuk Islam. Dalam ajaran Islam, prinsip ini merupakan manifestasi dan pengamalan dari ajaran tauhid. Muwahhidun (orang yang bertauhid) wajib memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi dengan sikap yang adil dan berkeadaban.

Sikap adil sangat ditekankan oleh ajaran Islam, dan sikap adil adalah dekat dengan ketaqwaan kepada Allah sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al Maidah ayat 8,“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Demikian juga konsep beradab (berkeadaban) dengan menegakkan etika dan akhlak yang mulia menjadi misi utama diutusnya Nabi Muhammad Saw dengan sabdanya, “Sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Sila ketiga: Persatuan Indonesia

Ajaran Islam memerintahkan agar umat Islam menjalin persatuan dan kesatuan antar manusia dengan kepemimpinan dan organisasi yang kokoh dengan tujuan mengajak kepada kebaikan (al-khair), mendorong perbuatan yang makruf, yakni segala sesuatu yang membawa maslahat (kebaikan) bagi umat manusia dan mencegah kemungkaran, yakni segala yang membawa madharat (bahaya dan merugikan) bagi manusia seperti tindak kejahatan. Persatuan dan kesatuan dengan organisasi dan kepemimpinan yang kokoh itu dapat berbentuk negara, seperti negeri tercinta Indonesia.

Sila keempat; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan

Prinsip yang ada pada sila keempat ini merupakan serapan dari nilai-nilai Islam yang mengajarkan kepemimpinan yang adil, yang memperhatikan kemaslahatan rakyatnya dan di dalam menjalan roda kepemimpinan melalui musyawarah dengan mendengarkan berbagai pandangan untuk didapat pandangan yang terbaik bagi kehidupan bersama dengan kemufakatan. Sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia dengan mengedepan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan sebagaimana ditegaskan dalam sila-sila dalam Pancasila sejalan dengan ajaran agama. Bahkan pengamalan agama akan memperkokoh implementasi ideologi Pancasila.

Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Mengelola negara dengan prinsip keadilan yang meliputi semua aspek, seperti keadilan hukum, keadilan ekonomi, dan sebagainya, yang diikuti dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat merupakan amanat setiap agama bagi para pemeluknya. Dalam Islam di ajarkan agar pemimpin negara memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, dan apabila menghukum mereka hendaklah dengan hukuman yang adil. (QS. Nisa: 58)

Dalam kaidah fikih Islam dinyatakan “al-ra’iyyatu manuthun bil maslahah”, artinya kepemimpinan itu mengikuti (memperhatikan) kemaslahatan rakyatnya. Berarti pula bahwa pemegang amanah kepemimpinan suatu negara wajib mengutamakan kesejahteraan rakyat.

Waspadai Sekularisasi Pancasila

Adanya gerakan sekularisasi atau sterilisasi Pancasila dari nilai-nilai agama dari sudut pandang Islam saat ini dapat berbentuk pemikiran dan wacana tetapi juga dalam praktek hidup yang dilakoni oleh warga negara bangsa ini, baik di kalangan rakyat jelata maupun mereka yang memegang amanah sebagai pemimpin dan pejabat negara.

Pada tataran konsep dan pemikiran di antaranya adalah munculnya wacana liberalisasi budaya dan agama dengan mengatasnamakan HAM, misalnya munculnya RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender yang diantaranya akan menggugat bagian-bagian penting dari undang-undang perkawinan yang bersumber kuat dari ajaran agama (Islam) yang “dianggap” bertentangan dengan HAM. Sekularisasi Pancasila juga diwarnai oleh munculnya wacana bahwa nilai-nilai agama tidak boleh dibawa dalam tatanan hidup bernegara, dan sebaliknya negara tidak boleh mengatur kehidupan masyarakat dalam masalah keagamaan. Sehingga negara tidak perlu terlibat untuk mengatur, menertibkan hingga melarang munculnya aliran sesat dalam suatu agama. Karena menurut kelompok ini agama tidak berhak menghukumi suatu aliran sebagai aliran sesat atau tidak sesat. Keyakinan adalah urusan pribadi tidak dapat dinilai oleh orang lain apalagi negara. Memang mencampuradukkan urusan agama dan negara tidak boleh dilakukan, tetapi bukan berarti boleh memisah secara ekstrem antara agama dan negara, antara agama dan Pancasila.

Seluruh konsep yang terkandung dalam rumusan Pancasila adalah nilai-nilai ajaran agama, karena prinsip ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, keadaban, persatuan, kepemimpinan, kebijaksanaan, permusyawaratan, keadilan sosial adalah nilai-nilai otentik dari ajaran agama (khususnya Islam). Ketaatan dalam menjalankan ajaran agama yang dimiliki oleh setiap rakyat baik yang menjadi rakyat biasa maupun rakyat yang sedang mendapatkan amanah sebagai pemimpin dan pejabat negara akan memperkokoh tegaknya nilai-nilai Pancasila sekaligus memperkokoh ketahanan nasional.

Namun demikian, saat ini sekularisasi Pancasila telah merasuki bangsa ini dalam bentuk praktek hidup yang tidak bermoral, baik dilakukan oleh rakyat biasa maupun para pemimpin dan pejabat negara. Praktek hidup bangsa ini mengalami pengeringan dari nilai-nilai agama. Bagaimana mungkin, seorang pemimpin, wakil rakyat, akademisi, intelektual dan budayawan ikut-ikut mendukung diterimanya konser Lady Gaga. Ini jelas contoh konkret pengeringan nilai-nilai agama yang sangat mengancam nilai-nilai otentik Pancasila. Adanya krisis keteladanan, krisis kepemimpinan dan dekadensi moral yang dalam bahasa Prof Dien Syamsuddin disebut dengan “accumulated global damage” adalah bukti nyata dari sekularisasi Pancasila ini.

Oleh karena itu, semestinya negara sebagaimana amanah Pancasila (sebelum disekularisasi dan disterilisasi dari ajaran agama) memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kehidupan keagamaan seluruh elemen anak bangsa. Negara dalam hal ini aparat negara dan penegak hukum negara harus mempelopori dan mendorong dengan sungguh-sungguh agar setiap rakyat Indonesia menjalankan syariat agamanya masing-masing dengan benar. Negara juga proaktif melindungi kehidupan keagamaan bangsa ini dari ancaman aliran-aliran yang menyimpang dan sesat, yang akan merusak kehidupan keagamaan. Dalam menentukan apakah suatu aliran dalam suatu agama dipandang sesat atau tidak, masing-masing umat beragama telah memiliki para ahli ilmu agama (Ulama, pendeta dan majelis pemimpin agama), maka negara dapat meminta fatwa kepada Ulama, pendeta atau majelis pemimpin agama-agama yang ada.

Dengan demikian, terjadi kerekatan antara pemimpin negara dan pemimpin agama dalam melindungi dan menjamin kehidupan beragama, sehingga nilai-nilai Pancasila yang seluruhnya merupakan nilai otentik ajaran agama akan berdiri tegak dengan kokoh sebagai ideologi negara yang adiluhung, sehingga negeri ini menjadi negara yang kokoh karena moralitas dan ketaatan seluruh anak bangsa, sehingga ridha dan barakah Allah akan senantiasa menyertai bangsa dan negara ini. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

[Artikel ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi Rajab – Syaban 1433 H]

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker