defaultKonsultasi & Tanya Jawab

Hukum Zina dalam Syariat Islam

TABLIGH.ID, YOGYAKARTA—Zina adalah hubungan seksual yang dilakukan tanpa ada dasar syarat-syarat yang membolehkan. Perkara zina merupakan jarimah yang memiliki konsekuensi yang berat. Secara teologis, zina merupakan perbuatan yang mengandung dosa besar. Secara yuridis, dalam Islam, jenis hukuman zina (hadd) terbagi menjadi tiga: hukuman rajam, dera, dan pengasingan (penjara).

Karena beratnya konsekeunsi dan hukuman bagi pelaku zina, Islam memberikan persyaratan yang cukup ketat dalam pembuktiannya. Hal tersebut sebagai upaya agar tidak mudah menuduh orang secara sembarangan telah melakukan perbuatan haram tersebut.

Dalam fikih, zina ditetapkan berdasarkan pengakuan diri sendiri dan kesaksian orang lain. Pengakuan atau mengakui secara sadar bahwa dirinya sendiri telah berbuat zina merupakan dasar utama bagi penetapan hukuman. Para ulama tidak berselisih tentang kekuatan pengakuan diri sendiri sebagai dasar pengambilan putusan. Hanya saja mereka berbeda pendapat soal jumlah yang diucapkan.

Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’I, jika seorang muslim mengaku secara sadar telah melakukan perbuatan zina dalam satu kali ucapan, maka sudah cukup baginya untuk dijatuhi hukuman. Akan tetapi berbeda dengan Imam Abu Hanifah, yang berpendapat bahwa seseorang yang mengakui dirinya telah berbuat zina, hukuman baru dapat dijatuhkan jika diucapkan sebanyak empat kali di tempat yang berbeda-beda. Hal tersebut disyaratkan agar apakah pengakuannya dilakukan dengan kesadaran atau atas tekanan orang lain.

Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, seseorang pernah mengaku kepada Rasulullah bahwa dirinya telah berzina. Rasulullah saat itu bersikap pasif lantaran khawatir ucapan orang tersebut tidak secara sadar atau tekanan orang lain. Baru setelah ucapan keempat kalinya mengakui perbuatan zina, Rasulullah menyuruh para sahabat untuk memberikan hadd berupa rajam.

Jabir berserta sahabat lainnya lalu merajam pelaku zina tersebut. Setelah eksekusi rajamnya selesai, para sahabat melaporkannya kepada Rasulullah, kemudian beliau bersabda: “Mengapa tidak kamu biarkan dia dan kamu bawa kemari?” Rasulullah hendak mengecek: apakah beliau akan meninggalkan hadd atau tidak. Menurut para ulama, jika seseorang yang mengaku telah berzina lalu menarik kembali ucapannya, maka hukumannya gugur. Lebih jauh Imam Syafi’I menjelaskan bahwa hukuman zina berdasarkan pengakuan pribadi dapat digugurkan dengan pertaubatan.

Selain pengakuan, para ulama sepakat perbuatan zina dapat ditetapkan berdasarkan keterangan para saksi. Berdasarkan QS. an-Nur ayat 4 dan QS. an-Nisa ayat 15, penetapan zina harus dengan keterangan empat orang saksi. Seseorang yang menuduh zina orang lain mesti mengajukan bukti-bukti yang kuat dan secara spesifik cukup berbelit. Apalagi, perbuatan zina cenderung dilakukan secara tertutup sehingga amat sulit pembuktiannya. Persaksian baru dapat diterima jika: 1) baligh dan berakal (paham perkara zina); 2) melihat langsung hubungan seks; 3) adil dan obyektif (tidak ada dendam dengan pelaku zina).

Jika keempat orang saksi menyatakan seseorang telah berzina dan memenuhi persyaratan, maka tidak ada alasan yang dapat dibenarkan syara’ untuk membatalkan hukumannya. Kesaksian mereka tertolak jika keterangan waktu dan tempatnya berbeda satu sama lain. Karenanya, jika tidak terbukti, tuduhan itu justru berbalik kepada yang menuduh.

Sumber: muhammadiyah.or.id

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker