BeritadefaultKhazanah

ISLAM SEBAGAI SUMBER KONSEP

BUKU TUNTUNAN TABLIGH BAGIAN III

ISLAM SEBAGAI SUMBER KONSEP

BUKU TUNTUNAN TABLIGH BAGIAN III

Pada bagian mukadimah telah dikemukakan, bahwa dakwah dalam satu aspeknya ialah upaya untuk merealisasikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, fungsi kerahamatan dakwah. Ada dua hal pokok yang berkaitan dengan tersebut, yaitu: (a) upaya ‘menerjemahkan’ nilai-nilai normatif Islam menjadi konsep-konsep yang operasional, dan (b) upaya merealisasikan (implementasi) konsep-konsep tersebut dalam masyarakat. Dengan demikian, upaya menunaikan fungsi kerahmatan dakwah berarti juga upaya kita untuk membuktikan bahwa Islam benar-benar mampu untuk menjawab persoalan zaman, atau dengan ungkapan lain, membuktikan Islam sebagai agama yang “kontekstual”. Kontekstualitas di sini bukan berarti “mengadaptasikan” (menyesuaikan) Islam dengan kondisi dan persoalan masyarakat yang ada, melainkan “mengoperasionalkan” Islam menghadapi kondisi budaya yang berkembang.

Uraian di atas sebenarnya mengisyaratkan kepada kita bahwa dalam satu sisinya, Islam adalah sumber konsep bagi kehidupan manusia. Islam sebagai sumber konsep tersebut selama ini lebih sering diartikan dalam konteks individual saja, dan kalau pun menyangkut konteks kemasyarakatan biasanya hanya yang menyangkut aspek ubudiyah saja. Isyarat Allah yang terkandung dalam ke-rahmatan lil ‘alamin-an Islam di atas memang sudah menyadarkan kita, bahwa ajaran Islam mencakup semua aspek kehidupan manusia (spiritual maupun non-spiritual seperti: sosial, ekonomi, politik, budaya, dsb) pada berbagai peringkat kediriannya (individu, jamaah/masyarakat, bangsa, umat manusia). Kekurangan kita selama ini ialah, kesadaran dan keyakinan  tersebut tetap berhenti sebagai keyakinan saja, karena kita belum mampu merealisasikannya, terutama menghadapi perkembangan zaman yang selalu berubah.

Dengan demikian persoalan pokok kita ialah bagaimana menjadikan Islam sebagai sumber konsep? Dengan cara bagaimana kita mampu menjabarkan nilai-nilai normatif Islami yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah tersebut menjadi konsep-konsep kehidupan yang operasional, yang dengan mudah dapat dilaksanakan.

Seperti telah dikemukakan di depan, upaya umat Islam dalam menjawab pertanyaan di atas adalah merupakan upaya yang akbar, yang melibatkan seluruh kemampuan umat, terutama para ulama dan cendekiawannya. Dakwah dalam kaitan ini berarti mencakup hal-hal yang bersifat normatif, konseptual, sampai hal-hal yang bersifat teknis, operasional. Uraian berikut tidak akan menjawab secara tuntas persoalan di atas, melainkan mengidentifikasi beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam rangka mewujudkan Islam sebagai sumber konsep.

Dalam rangka operasionalisasi nilai-nilai normatif Islam dalam kehidupan, setidak-tidaknya dapat dilakukan beberapa model pendekatan. Model pendekatan ini antara lain berupa: (1) pengembangan pendekatan ijtima’i dan (2) merentang garis-istilahi antara terma qauliyah dengan terma kauniyah.

Pendekatan ijtima’i yang dimaksud ialah upaya menafsirkan (mengoperasionalkan) istilah qur’ani dari yang selama ini hanya bersifat individual menjadi yang bersifat jamak atau sosial. Istilah jamak di sini mengandung makna community (kelompok manusia dalam satuan geografis tertentu) maupun makna society (kelompok manusia dengan ciri/profesi tertentu).

Sedangkan yang dimaksud dengan merentang garis-istilahi antara terma qauliyah dengan terma kauniyah, ialah mencoba mencari titik temu (merentang benang merah) antara istilah atau terminologi qur’ani dengan istilah atau terminologi ilmu pengetahuan. Atau dengan ungkapan lain, menjabarkan terminologi qur’ani dengan bahasa ilmu pengetahuan. Apabila hal ini dapat dilakukan, maka terbuka kesempatan lebih luas dan lebih mudah untuk mencoba menjabarkan konsep normatif tersebut dalam konsep teknis yang operasional. Hal ini dimungkinkan karena olah-konseptual memang merupakan bagian dari tradisi keilmuan, baik ilmu pengetahuan eksakta maupun sosial.

Sebagai contoh misalnya penafsiran istilah fakir atau miskin. Selama ini, kedua istilah qur’ani ini lebih sering ditafsirkan secara individual, yaitu si Fulan yang papa, yang tidak punya apa-apa, sementara penafsiran secara sosial (jamak), yang kemudian dikaitkan dengan istilah sosiologis, akan mempunyai gambaran yang lain. Miskin dan fakir secara sosial dapat berarti penduduk di daerah kumuh (makna komunitas) atau gelandangan (makna sosietas), atau buruh tani, petani gurem, nelayan, atau kelompok masyarakat yang terugikan baik ekonomis maupun sosial.

Dengan pergeseran penafsiran ini maka model pemecahan atau penyantunan yang dilakukan pun akan berbeda. Dalam makna sosial (jamak) secara otomtis akan menyangkut struktur masyarakat dan berbagai keterkaitan struktural lainnya. Sebagai konsekuensinya maka bagaimana umat akan merealisasikan perintah (peringtan) Allah dalam al-Ma’un misalnya, akan menjadi berbeda sama sekali dengan apa yang selama ini dilakukan.

Beberapa mujtahid dan pemikir besar Islam, memang telah memulai usaha di atas yang biasanya mengambil tema-tema yang besar. Namun, mengingat begitu luasnya kehidupan manusia, dan begitu lengkapnya ajaran Islam, rupanya usaha besar ini perlu lebih digalakkan lagi di kalangan para ulama dan cendekiawan Islam. Untuk kerja besar ini tidak harus dimulai dengan tema-tema besar, tetapi dapat dari hal-hal yang kecil, seperti halnya contoh-contoh di atas.

Baca Juga : IMPLEMENTASI ISLAM SEBAGAI “THE WAY OF LIFE”

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker