BeritadefaultKhazanah

Orientalisme

Buku TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part II

LIBERALISASI

Liberalisasi Pemikiran Sebagai Tantangan Dakwah

Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi, PhD

Buku TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part II

 

  1. Orientalisme

Kajian tentang Timur (orient) termasuk tentang Islam, yang dilakukan oleh orang Barat telah bermula sejak beberapa abad yang lalu. Namun gerakan pengkajian ketimuran ini diberi nama orientalisme baru abad ke 18. (The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII, hal.200).  Mengapa Barat tertarik mengkaji Timur dan Islam, mempunyai latar belakang sejarah panjang yang kompleks, dan sekurang-kurangnya terdapat dua motif utama: Pertama adalah motif keagamaan. Barat yang disatu sisi mewakili Kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrinnya. Islam yang misinya menyempurnakan millah sebelumnya tentu banyak melontarkan koreksi terhadap agama itu. Itulah Islam dianggap “menabur angin” dan lalu menuai badai perseteruan dengan Kristen. Bahkan lebih ekstrim lagi, perseteruan itu ada sejak sebelum Islam datang. Thomas Right, penulis buku Early Christianity in Arabia, mensinyalir perseteruan antara Islam dan Kristen terjadi sejak bala tentara Kristen pimpinan Abrahah menyerang Ka’bah dua bulan sebelum Nabi lahir. Disitu tentara Abrahah kalah telak dan bahkan tewas. Kalau saja tentara itu tidak kalah mungkin seluruh jazirah itu berada ditangan Kristen, dan tanda salib sudah terpampang di Ka’bah. Muhammd pun mungkin mati sebagai pendeta. Jika Right benar berarti orang Kristen sendiri telah lama menentang millah Nabi Ibrahim, sebab mereka bukan menyerang Islam yang dibawa Nabi, tapi Ka’bah yang merupakan khazanah millah Ibrahim itu. Jadi motif orientalisme adalah keagamaan dan berkaitan dengan Kristen dan missionarisme.

Kedua adalah motif politik. Islam bagi Barat adalah peradaban yang dimasa lalu telah tersebar dan menguasai peradaban dunia dengan begitu cepat. Barat sebagai peradaban yang baru bangkit dari kegelapan melihat Islam sebagai ancaman besar dan langsung bagi kekuasaan politik dan agama mereka. Barat sadar benar bahwa Islam bukan hanya sekedar istana-istana megah, bala tentara yang gagah berani atau bangunan-bangunan monumental, tapi peradaban yang memiki khazanah dan tradisi ilmu pengetahuan yang tinggi.  Oleh sebab itu mereka perlu merebut khazanah ini untuk kemajuan mereka dan sekaligus untuk menaklukkan Islam.  Jadi motif kajian-kajian orientalis itu bersifat politis, yaitu untuk tujuan kolonialisme.

Motif yang hampir serupa juga terjadi dikalangan missionaris. Jurnal The Muslim World yang diterbitkan oleh Michael Zwemmer tahun 1920, misalnya pada mulanya terang-terangan untuk media informasi bagi para missionaris tentang Islam dan dunia Islam. Tapi kemudian jurnal itu menjadi jurnal kajian Islam yang serius dan ilmiyah, meskipun tetap menggunakan framework yang sama. Montgomery Watt yang dianggap orientalis moderat misalnya, ketika menulis al-Qur’an dan Sunnah mencoba meragukan otentisitas ajaran Islam. Ia mencoba membuktikan bahwa beberapa bagian al-Qur’an dan Hadtih itu dibuat-buat dan tidak konsisten, dan karena itu tidak bisa dijadikan sumber pandangan hidup Islam. Ia bahkan mencurigai adanya “ayat-ayat setan” dalam al-Qur’an.  Inilah contoh bias orientalis yang paling nyata.

Kajian orientalis terhadap Hadith yang juga bias itu misalnya dapat ditemui dalam metodologi Harald Motzki dalam mengkaji hadith Sahifah Hammam Ibn Munabbih. Motzki yang dianggap obyektif itu ternyata juga ambigu. Ia seakan-akan mengkritik metode kajian Joseph Schacht, namun sejatinya tidak beda dan tetap mempertahankan sikap orientalismenya .

Jadi, orientalisme yang dikenal saat ini sebagai suatu tradisi kajian ilmiyah tentang Islam, sejatinya adalah berdasarkan pada ‘kaca mata’ dan pengalaman manusia Barat yang dipicu oleh motif dan semangat missionaris. Tapi motivasi ini ditutupi dengan jubah intelektualisme dan dedikasi akademik.  Tidak heran jika orientalis kemudian dianggap memiliki disiplin dan sikap ilmiyah yang ‘khas’, bahkan menjadi sebuah framework pengkajian. Meskipun ilmiyah, tapi jika cara pandang dan tujuannya diwarnai oleh latar belakang agama dan politik serta worldview Barat atau nilai-nilai peradaban Barat, kajian mereka itu lebih cenderung salah.  Ini juga membuktikan bahwa ilmu memang tidak bebas nilai.

Oleh sebab itu menganggap orientalis dimasa kini obyektif dan ilmiyah hanya benar dipermukaannya. Kajian akademis dan ilmiyah terhadapnya membuktikan sebaliknya. Cara pandang mereka terhadap Nabi, al-Qur’an dan Islam sebagai agama masih tidak bisa lepas bebas dari pengaruh pendahulunya. Dan orientalis terdahulu itu diwarnai oleh pengalaman manusia Barat. Framework kajian filsafat para orientalis, misalnya, malah tidak pernah bergeming dari asumsi bahwa Islam tidak memiliki filsafat.  Nama filsafat Islam, substansinya dan framework kajiannya semuanya berdasarkan cara pandang orientalis yang khas, dan tentu tidak dalam perspektif Islam. Demikian pula dalam kajian Kalam.

Perlu disadari bahwa kajian outsider tentang suatu agama dan peradaban, termasuk Islam, betapapun obyektif dan akademisnya, ia tetap saja menyisakan bias. A.L. Tibawi penulis buku English Speaking Orientalists, menyimpulkan bahwa ketika para orientalis ahli polemik periode awal terlibat dalam penghinaan dan penafsiran yang salah tentang Islam, tujuan mereka hanyalah destruktif. Tapi setelah adanya motif missionaris mereka mulai menggunakan pendekatan obyektif. Metodenya merupakan campuran antara penghinaan dan pengungkapan hal-hal negatif tentang Islam, namun dengan menggunakan fakta-fakta yang solid, tapi tetap dipahami dalam perspektif Kristen. Metode yang pertama telah ditinggalkan sedangkan metode yang kedua menjadi lemah atau diberi baju baru. Tapi yang aneh adalah ketika para orientalis itu gencar menyarankan, mendorong dan bahkan kasarnya memprovokasi agar Islam itu direformasi.

Kajian dan sekaligus serangan orientalis terhadap Islam dan sejarahnya memang sangat canggih (baca: soophisticated) dan subtil sehingga pembaca awam, alias bukan pakar tidak mudah untuk membongkar implikasi-implikasi negatifnya. Pernyataan mereka itu umumnya berdasarkan spekulasi, bahkan manipulasi sumber data dan seringkali bersikap selektif terhadap data-data sejarah dengan tujuan dan kepentingan tertentu.

Edward Said baik dalam Orientalism (1978) maupun dalam The World, The Text and the Critic (1983) yakin bahwa Orientalis dan Barat adalah diskrimatif.  Batas rasial, kultural dan bahkan saintifik sangat kental.  Antara “kami” dan “mereka”, minna dan minhum merasuk kedalam kajian sejarah, linguistic, teori ras, filsafat, antropologi dan bahkan biologi hingga abad ke 19. Edmund Leach setuju, sekali stigma “other” itu melekat maka selain bangsa Eropah tetap asing dan bahkan inferior. Ringkasnya, katanya, kajian Timur yang berasaskan ilmu Barat telah di frame oleh pengalaman imperialisme dan persengketaan kultural ( cultural hostility).  Zaynab al-Ghazzali malah lebih keras dari itu, katanya memisahkan agama dari politik atau Islam dari hukum syariah adalah tindak kriminal. Di kalangan pemikir Barat sendiri framework orientalis diberi stigma sebagai “exotic cum barbaric norm”.

Selain dari itu, ciri-ciri kajian orientalis adalah parsial, artinya jika mereka mengkaji suatu bidang tertentu, mereka melewatkan bidang kajian yang lain. Orientalis ahli Fiqih melontarkan kritik-kritik yang tidak dikaitkan dengan Kalam misalnya, kritik dalm bidang filsafat tidak dikaitkan dengan aqidah, kritik dan kajian al-Qur’an tanpa disertai ilmu tafsir, bahkan tidak aneh jika para orientalis mengkaji al-Qur’an dengan metodologi Bibel, mengkaji politik Islam dalam perspektif politik Barat sekuler dst. Dan yang pasti disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam itu tidak dikaji dengan framework pandangan hidup Islam, tapi Barat.

Meski telah banyak kajian tentang orientalisme, tapi dalam perkembangan pemikiran akhir-akhir ini, tema Orientalisme ini menjadi semakin relevan untuk diangkat kembali. Sebab kini mengadopsi pandangan, framework dan kritik-kritik para orientalis tentang Islam menjadi tren dikalangan sementara cendekiawan Muslim.  Nampaknya, mereka berfikiran bahwa dengan cara itu mereka bisa mengambil jalan pintas untuk “reformasi”, “pembaharuan” atau “liberalisasi” pemikiran Islam. Bagi masyarakat awam atau ulama “tradisional”,  pemikiran hasil “adopsi” itu nampak baru, karena tidak pernah ada dalam khazanah intelektual Islam.  Padahal, sifat “baru”nya tidak mempunyai unsur tajdid, karena terlepas dari fondasi asalnya (wahyu) dan bahkan seringkali berseberangan. Mungkin mereka telah gagal menyelami khazanah intelektual Islam secara komprehensif, kreatif, dan appresiatif sehingga kehilangan daya kritis mereka terhadap orientalis dan Barat.

Orientalisme adalah suatu cara pandang orang Barat terhadap bangsa selain Barat. Bangsa-bangsa selain Barat itu – yakni bangsa-bangsa Timur Tengah dan Asia –  dilihat dengan kacamata rasial yang penuh prasangka. Bangsa-bangsa Timur dianggap mundur dan tidak sadar akan sejarah dan kebudayaan mereka sendiri. Untuk itu Barat kemudian “membantu” membuat kajian tentang konsep-konsep kebudayaan, sejarah, dan juga agama-agama  dan bangsa-bangsa Timur. Sudah tentu prinsip, metode dan pendekatan kajian ini khas Barat. Namun, kajian ini tidak murni kajian keilmuan, tapi kajian yang dimanfaatkan untuk program missionaris Kristen dan imperialisme Barat ke Negara-negara Timur.

Akar gerakan orientalisme dapat ditelusur dari kegiatan mengkoleksi dan menterjemahkan teks-teks dalam khazanah intelektual Islam dari bahasa Arab ke bahasa Latin sejak Abad Pertengahan di Eropa. Kegiatan ini umumya dipelopori oleh para teolog Kristen. Dari hasil koleksi itu Museum London dan Mingana Collection di Inggeris adalah diantara pemilik koleksi manuskrip Islam terbesar di dunia. Selanjutnya, karena Orientalisme telah menjadi suatu tradisi pengkajian yang penting di dunia Barat, maka ia berkembang dan melembaga menjadi program formal di perguruan tinggi, dalam bentuk departemen atau jurusan dari universitas-universitas di Barat. Kini banyak sekali unversitas di Barat yang mendirikan program Islamic, Middle Eastern, atau Religious Studies. Universitas London misalnya mendirikan SOAS (School of Oriental African Studies), Universitas McGill Canada, Univesitas Leiden Belanda mendirikan Departement of Islamic Studies, Universitas Chicago, universitas Edinburgh, University of Pennsylvania, Philadelphia dan lain-lain mendirikan Departement of Middle Eastern Studies; Universitas Birmingham Inggeris mendirikan Centre for the Study of Islam-Christian Relation dan lain sebagainya.  Program-program kajian keislaman di universitas-universitas Barat tersebut merupakan tradisi yang kokoh karena didukung oleh pakar dan tokoh dibidang masing-masing. Sekedar untuk menyebut beberapa berikut ini nama-nama orientalis dalam beberapa bidang tertentu:

  1. Bidang Teologi dan Filsafat: Montgomery Watt, O Learry, DB Mc Donald, Alfred Gullimaune, Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard  J McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines, Oliver Leaman dll.

2. Bidang Hadith Josep Schacht, Ignaz Golziher, G.H.A.Juyuboll, Eerik Dickson, Aarent J Wensinck, Nicholson, WD. Van Wijagaarden.

3. Bidang Fikih Waell Hallaq, Harold Motzki, N.Calder, N.J. Coulson, J.Fuck, John Burton.

4. Bidang Politik Snouck Hurgronje, Bernard Lewis, Samuel Huntington, Bob Hefner, William Liddle, Greg Burton dll.

5. Bidang al-Qur’an Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, Gotthelf Bergtrasser, Otto Pretzl, Arthur Jewffery, John Wansbrough, John Burton, Richard Bell, Andrew Rippin, Chrostoph Luxemburg.  Dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan semua disini.

Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu:

  1. Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient).
  2. Bahwa orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam.
  3. Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.

Ketiga kesimpulan Edward Said diatas adalah benar adanya, artinya studi Islam di Barat yang ada sekarang ini menggunakan cara pandang (framework) Barat dan oleh sebab itu jika tulisan para orientalis itu dikaji secara kritis maka akan menunjukkan beberapa kerancuan konsep. Gambaran tentang cara pandang (framework) Barat ini sebenarnya sangat kompleks, tapi secara sederhana dapat diartikan sebagai cara mereka memandang Islam dan peradabannya. Cara Barat melihat Islam sebagai din, Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, al-Qur’an sebagai wahyu dan kalam Tuhan, cara memahami hadith, sikap mereka terhadap otoritas ulama berbeda sama sekali dengan cara pandang Islam dan ummat Islam.

Namun, tantangan yang dihadap ummat bukan hanya dari pikiran para orientalis, tapi cencekiawan Muslim yang mengikuti cara berfikir orientalis dalam memahami Islam. Kini yang mengatakan semua agama sama, al-Qu’ran bukan wahyu Allah, Ajaran Islam itu menindas kaum wanita, dan sebagainya bukan lagi orientalis, tapi para cendekiawan Muslim sendiri. Produk dari kuatnya tradisi oritentalisme itu adalah terbitnya karya-karya mereka yang kemudian dirujuk dan bahkan diikuti oleh para cendekiawan Muslim. Akhirnya, oritentalisme juga memproduk cendekiawan Muslim yang tidak kritis terhadap Barat dan bahkan mengikuti saja cara berfikir mereka. Kini muncul cendekiawan Muslim di berbagai Negara Islam yang  mengusung ide-ide yang merupakan agenda Barat. Untuk sekedar menyebut beberapa berikut ini nama-nama mereka:

Teologi, Filsafat dan Pluralisme agama: Rene Guenon, Fritjhof Schuon, Martin Ling, Syed Hussein Nasr, Muhammad Sachidina, Hasan Askari, Mahmud Ayyub, Farid Eschack Hermeneutika: Muhammad Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, Gender dan feminisme: Aminah Wadud Muhsin, Fatimah Mernisi, Nawal Sa’dawi  Islam Kiri: Hasan Hanafi, Asghar Ali dll. Fiqih: Abdullah Ahmad al-Naim, Muhammad Syahrur. Dsb

Sekedar contoh marilah kita lihat bagaimana perjalanan ide orientalis sampai kepada pemikir Muslim. Para orientalis dari generasi ke generasi menyatakan bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad. Hal ini dapat dibaca dari pernyataan G.Sale, [dalam bukunya The Qur’an:Commonly called al-Qur’an:Preliminary Discoursei, (1734)], Sir William Muir [dalam bukunya Life of Mahomet (1860)], A.N. Wollaston [dalam bukunya The Religion of The Koran (1905)], H. Lammens, dalam  [Islam Belief and Institution (1926)], Champion & Short [dalam buknya Reading from World Religious Fawcett, (1959),] JB. Glubb, [dalam bukunya The Life and Time of Muhammad (1970)] dan M. Rodinson [dalam bukunya Islam and Capitalism (1977)].  Ide ini diterjemahkan oleh Muhammad Arkoun menjadi begini: al-Qur’an adalah wahyu Tuhan tapi ia diucapkan oleh Muhammad dan dengan bahasa Muhammad sebagai manusia biasa. Senada dengan itu seorang cendekiawan Muslim liberal yang diusir dari Mesir bernama Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahawa karena al-Qur’an turun dalam ruang sejarah Arab maka  ia adalah produk budaya Arab (muntaj thaqafi).  Implikasi ide ini adalah bahwa al-Qur’an bukan firman Allah yang suci dan perlu disucikan dan disakralkan dank arena itu ummat Islam tidak terlalu fanatic berpegang pada al-Qur’an; dan agar ummat Islam mau menafsirkan al-Qur’an tanpa takut-takut, karena ia hanya perkataan manusia biasa.

Namun secara obyektif perlu diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis ada yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiyah lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadith dan sebagainya. Oleh karena itu ummat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Ummat Islam perlu bersikap kritis dalam mengkaji karya-karya orientalis itu. Dan untuk itu diperlukan ilmu pengetahuan Islam yang setanding dengan mereka.

 

Baca juga LIBERALISME Part I

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker