default

PEMBAGIAN BID’AH

Buku : AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH, BID’AH KHURAFAT

BID’AH DAN KHURAFAT PART II

OLEH: H. DJARNAWI HADIKUSUMA

Buku : AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

BID’AH KHURAFAT

II.                PEMBAGIAN BID’AH

Pembagian tentang bid’ah yang telah diterangkan dalam bab pertama risalah ini, adalah berdasarkan pendapat yang lebih sah dan lebih langsung mengenai pokok persoalannya, ialah yang dinamakan bid’ah itu sesuaatu karangan (tambahan) baru dalam ibadah dan i’tiqad agama. Hal ini perlu diperhatikan oleh para pembaca, sebab pengertian tentang bid’ah ini oleh sementara ulama telah diperluas sampai-sampai mengenai segala soal yang sebenarnya bukan soal agama.

Pengeluasan itu sedemikian rupa sehingga sering membingungkan orang yang mencoba mempelajari tentang bid’ah. Apa-apa yang selama hayat Nabi belum ada dan telah ada pada zaman sekarang ini, dinamakan juga bid’ah, seperti rumahsakit, panti-asuhan, pengeras-suara untuk adzan, mencetak Al-Qur’an, menterjemahkan Quran, menaruh hiasan di masjid, dan sebagainya. Para ulama membagi-bagi macam-macamnya bid’ah dari pelbagai segi sehingga seakan-akan seluk beluk bid’ah ini telah merupakan satu ilmu tersendiri, yang mengandung definisi-definisi tentang bermacam-macam bid’ah dengan hukumnya yang bermacam-macam pula. Boleh jadi dengan pembagian yang banyak itu serta memasukkan perkara-perkara yang bukan agama ke dalam rangka bid’ah, orang bermaksud untuk menunjukkan bahwa banyak sekali pekerjaan-pekerjaan bid’ah yang sebenarnya baik dan mudah sedang yang tidak baik hanya sedikit sekali.

Agar menjadi pengetahuan kita, di sini akan diuraikan macam-macam pembagian itu secara singkat, sedangkan macamnya bid’ah yang pada pendapat kita memang sebenarnya bid’ah. Akan diuraikan lebih luas.

            ‘Am dan Khash

Bid’ah ‘Am atau umum ialah bid’ah yang tidak disandarkan hukumnya kepada hukum-hukum fekih yang lima (wajib, haram, sunat, mubah dan makruh).

Bid’ah Khas (khusus) ialah bid’ah yang disandarkan kepada hukum fekih yang lima tersebut.

A.   Bid’ah ‘Am

Dipandang dari beberapa segi, bid’ah ‘am ini dibagi pula sebagai berikut:

1.      Fi’liyah dan Tarkiyah

Bid’ah fi’liya ialah bid’ah yang terjadinya karena melakukan pekerjaan agama atau keagamaan yang tidak ada dasarnya dalam Sunnah Rasul seperti membaca usholli sebelum takbiratulihram, talqin, tahlil, puasa dan shalat nisfu sya’ban, dan sebagainya.

Kadang-kadang bid’ah itu terjadi bukan karena mengerjakan sesuatu, tetapi karena meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau dibolehkan oleh agama, dengan anggapan bahwa meninggalkannya itu bersifat agama pulaatau untuk mendekatkan diri kepada Allah. Contohnya: berpuasa sengaja tidak sahur untuk mendapat pahala lebih banyak padahal sahur anjuran Nabi, tidak kawin seumur hidup, tidak memakan daging, dan sebagainya. Ini dinamakan bid’ah Tarkiyah.

2.      ‘Amaliyah dan I’tiqadiyah

Bid’ah ‘Amaliyah ialah bid’ah yang dilakukan dengan anggota badan seperti shalat bid’ah, puasa bid’ah dan sebagainya.

Bid’ah I’tiqadiyah ialah bid’ah kepercayaan seperti mempecayai bahwa Tuhan berbentuk atau bertubuh, percaya bahwa Nabi Muhammad turun ke dunia ketika dibacakan maulud, para ulama dapat memberi syafa’at pada hari kiamat, siapa yang ditalqin masuk syurga, dan lain-lain kepercayaan keagamaan yang tidak diajarkan oleh Kitab Allah dan Rasul-Nya.

3.      Zamaniyah, Makaniyah dan Haliyah

Bid’ah Zamaniyah ialah yang dikerjakan pada kesempatan (hari besar) tertentu dengan anggapan sebagai upacara keagamaan atau sebagai ibadat: seperti pearayaan Maulud Nabi atau Isra’ Mi’raj yang dilakukan dengan upacara tertentu misalnya bangkit berdiri besama-sama waktu maqom yaitu ketika Maulud Nabi dibaca orang dan sebagainya. Adapun memperingati hari-hari besar tersebut tanpa upacara tertentu, tidak termasuk bid’ah asal tidak dianggap sebagai perayaan keagamaan.

Bid’ah makaniyah yang dialkukan khusus di tempat-tempat ktertentu seperti talqin dan mengirim orang mati di kuburan, membaca Quran di kuburan, tahlil di tempat kematian, ziyarah ke makam dan masjid yang dianggap keramat seperti masjid Ngampel dan demak, dan sebagainya.

Bid’ah Haliyah ialah bid’ah yang dilakukan pada upacara serta peralatan dalam pekerjaan yang dimaksud untuk ibadah, serta perjamuan menurut adat yang disertai kepercayaan, seperti perjamuan dan memberi santapan kepada arwah Nabi, makan bersama di kuburan sesudah berziyarah kubur, dan sebagainya.

4.      Kuliyya dan Juz-iyah

Bid’ah Kulliyah ialah bid’ah bid’ah keseluruhan seperti menyerahkan hukum agama dan penentuan tentang baik dan buruk kepada pertimbangan akal semata-mata, ingkar kepada kenabian para Nabi dan ingkar kepada kebenaran perkataan Rasulullah, dan sebagainya.

Adapun bid’ah juz-iyah yaitu bid’ah sebagian, seperti menganggap baik berdiri shalat sebelah kaki.

5.      Bid’ah ‘Ibadiyah dan ‘Adiyah

‘Ibadiyah itu ialah segala bid’ah yang dilakukan dengan maksud mendapat pahala atau mendekatkan diri kepada Allah. Baik bid’ah itu berupa ‘ibadah seperti puasa dan shalat ataupun berupa bukan; ibadah seperti mencegah makan, sengaja tidak kawin, perjamuan dan kenduri.

Adapun Bid’ah ‘Adiyah ialah bid’ah yang dilakukan dengan tidak ada maksud mencari pahala atau mendekatkan kepada Allah. Bid’ah ini mengenai urusan muamalah dan adat pergaulan yang dianggap penting atau syarat, meskipun tidak ditetapkan oleh agama. Misalnya anggapan bahwa syahnya jual-beli dengan ijab Kabul yang wajib diucapkan dengan kata-kata: “sayas beli” kata pembeli dan “saya jual” kata penjual. Mempelai perempuan harus mencuci kaki mempelai laki-laki pada peralatan. Dan sebagainya.

6.      Haqiqiyah dan Idhafiyah

Bid’ah Haqiqiyah ialah bid’ah yang samasekali tidak ada dalilnya bahkan tidak ada asalnya sedikitpun dalam agama, tidak dari Quran dan Sunnah dan tidak dari pendapat orang mentafsirkan dalil-dalil syara’. Pendeknya bid’ah haqiqiyah ini mutlak ciptaan orang seperti: bertawaf tidak sekeliling Ka’bah tetapi mengelilingi masjid, benteng, tanah lapang dan sebagainy: shalat Maghrib lima raka’at, berpuasa malam har; dan lain-lainnya.

Bid’ah Idlafiyah sangat penting diketahui karena inilah yang umumnya dilakukan orang tanpa kesadaran bahwa ini bid’ah. Kalau kurang hati-hati orang mudah terjatuh dalam bid’ah ini.

Bid’ah Idlafiyah ialah bid’ah yang jika dipandang ujud amalnya dia tidak bid’ah bahkan perintah agama, tetapi dipandang dari segi lain dia adalah bid’ah. Di bawah ini beberapa contonhya:

  1. Shalat itu perintah Allah, hukumnya wajib atau sunnah shalat mubah tidak ada. Dipandang ujud amalnya shalat itu perintah Allah dan Rasul, tetapi jika dikerjakan pada waktu dan dengan cara yang tidak dituntunkan oleh Allah dan Sunnah Rasul maka shalat semacam itu bid’ah; umpamanya: Shalat subuh memakai doa qunut seraya mengangkat kedua tangan dan membaca “amin” bersama-sama, shalat Nisfu Sya’ban dan sebagainya.
  2. ‘Ibadah puasa itu dipandang dari ujud amalnya adalah perintah agama wajib atau sunnat, dan tidak ada puasa mubah. Tetapi jika di kerjakan pada waktu yang tidak dituntunkan Rasulullah maka puasa semacam itu bid’ah. Umpamanya: puasa tiap hari Jum’at atau tiap hari Senin Kliwon, puasa pada hari-hari yang diharamkan seperti psds hari ‘ied, puasa setiap hari, puasa sehari semalam atau lebih dan sebagainya.
  3. Kita disunatkan sering membaca kalimat “La ilaaha illallah” untuk lebih ingat dan mendekatkan diri kepada Allah. Tetapi kalau membacanya dengan upacara tertentu yang Rasulullah tidak tuntunkan dan tidak pula lakukan maka pembacaan semacam itu menjadi bid’ah, yaitu membaca “La ilaha illallah” secara serentak bersama-sama dalam tahlil.
  4. Adzan sebelum shalat fardlu pada permulaan masuk waktunya adalah perintah Rasulullah, tetapi adzan sebelum shalat ‘ied menjadi bid’ah karena Rasulullah tidak lakukan itu. Demikian pula halnya adzan dua kali untuk shalat Jum’at, adzan sebelum mayat dikubur, dan sebagainya.

Sekian sekedar beberapa contoh dari bid’ah idlafiyah. Dalam bagian tertentu dalam risalah ini akan dibentangkan dengan agak luas tentang bid’ah idlafiyah ini.

Dengan pembagian bid’ah yang sekian banyaknya seperti yang telah diterangkan di atas itu, bukanlah berarti bahea bid’ah itu sekian pula jenisnya. Bid’ah tetap hanya satu jenis yaitu amalan bersifat keagamaan yang tidak ada perintah atau conohnya dalam Quran dan Sunnah. Tetapi meskipun hanya satu jenis, kalau dipandang, dari segi ini lalu dapat dibedakan adanya bid’ah macam Fi’liya dan Tarkiyah. Jika dipandang dari segi lain lalu dapat dibedakan antara Kulliyah dan Juz-iyah. Demikian seterusnya dipandang dari enam segi maka kelihatan bahwa bid’ah ‘am ada tigabelas macam.

Meskipun pembagian dari enam segi itu kelihatan sangat teliti, namun agaknya kurang banyak faedahnya, selain keperluan ilmiyyah. Dari segala pembagian itu yang terpenting ialah pembagian antara Haqiqiyah dan Idlafiyah.

B.     Bid’ah Khash

Kalau kita membicarakan bid’ah khash kita tidak dapat melupakan seorang ulama besar golongan Syafi’iyah yang bernama Imam ‘Izzudin bin ‘Abdus Salam yang nenberikan ta’rif (definisi) lain tentang apa yang dikatakan bid’ah yaitu yang tersebut dalam kitabnya “Qowa’idul Ahkum” sebagai berikut:

“Bid’ah itu ialah melakukan apa yang belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah. Dan itu terbagi dalam: bid’ah yang wajib, bid’ah yang wajib, bid’ah yang haram, bid’ah yang sunnat, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang mubah.”

Atas dasar itu beliau membagi bid’ah menjadi dua golongan yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah qabihah atau sayyi-ah. Bid’ah hasanah artinya bid’ah yang baik, ia mengandung tiga macam bid’ah yaitu yang wajib, yang sunnat dan mubah. Bid’ah qabihah atau sayyi-ah artinya artinya bid’ah yang jelek mengandung dua macam bid’ah yaitu yang haram dan yang makruh.

Untuk menjelaskan lima macam bid’ah itu selanjutnya beliau menulis:

“Maka jika bid’ah itu termasuk ke dalam qa’idah wajib maka dia bid’ah yang wajib pula, jika termasuk termasuk ke dalam qa’idah haram maka bid’ah yang haram pula, dan jika termasuk termasuk ke dalam qa’idah sunnat maka iapun bid’ah yang sunnat, dan jika termasuk termasuk ke dalam qa’idah makruh maka bid’ah makruh pula, dan jika termasuk termasuk ke dalam qa’idah mubah maka bid’ah yang mubah juga.”

Pendapat Imam ‘Izzudin bin ‘Abdus Salam itu dikuatkan oleh muridnya yaitu Imam Al-Qurafi, kemudian diikuti oleh sebagian ulama-ulama Syafi’iyah antara lain Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dan sebagian ulama-ulama dan Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami.

Mereka itu ulama-ulama Madzhab Syafi’i, padahal Imam Syafi’I sendiri tidak membagi bid’ah menjadi lima, tetapi hanya menjadi dua yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela).

Berkata Imam Syafi’I radliyallahu ‘anhu:

“Bid’ah itu ada dua macam yaitu terpuji dan tercela. Maka yang sesuai dengan sunnah Rasul adalah dia terpuji dan yang menyalahinya tercela.”

Pendapat beliau tersebut di atas kemudian oleh para Imam dan ulama pengikut beliau telah diperkembangkan dijelaskan pula contoh-contohnya. Bid’ah mahmudah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah menjadi bid’ah sayyi-ahiah serta menjadi lima macam hukumnya sebagai tersebut di atas itu. Perkembangan dalam pengertian tentang bid’ah ini berlangsung terus, baik yang mengenai I’tiqad, terutama dalam kalangan para pengikut ‘awam yang tidak mampu menyelidiki secara agak mendalam atau hanya ikut-ikutan. Padahal perkembangan yang sedemikian jauh hingga sekarang ini, tidak dikehendaki oleh para ulama yang alim dan berhati-hati itu.

            Contoh-contoh bid’ah lima macam tersebut.

Selanjutnya mereka mengemukakan amalan-amalan yang termasuk masing-masingdari lima macam bid’ah itu antara lain sebagai berikut:

1.     Bid’ah Wajibah:

  1. Mengumpulkan catatan-catatan ayat Al-Qur’an yang disimpan oleh para sahabat kemudian disatukan untuk menjaga agara Al-Qur’an tetap utuh terpelihara meskipuan andaikata para sahabat yang hafal telah hafal telah wafat semua. Ini terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar.
  2. Menyalin kembali ayat-ayat itu dan membukukannya. Ini terjadi pada masa Khalifah Utsman bin ‘Affan.
  3. Khalifah Ustman membatasi jumlah cara membaca Quran dengan tujuan macam qiroat untuk keseragaman.
  4. Mempelajari ilmu bahasa Arab untuk memahami Al-Qur’an dan hadits.
  5. Menciptakan, mempelajari dan mengajarkan ilmu-ilmu seperti Ushul-fekih, ilmu hadits, ilmu tafsir dan lain-lain ilmu agama yang berguna untuk menggali dan menetapkan hukum.

2.     Bid’ah Mandubah

  1. Shalat tarawih berjama’ah.
  2. Mengadakan tanda-tanda khusus pada pakaian pejabat seperti para hakim, imam dan khatib, kadli dan sebagainya.
  3. Memberi tempat kedudukan tertentu kepada mereka dalam upacara dan sidang pertemuan.
  4. Membaca selawat atas Nabi ketika Khatib Jum’ah menaiki tangga mimbar setingkat demi setingkat.

3.     Bid’ah Mubahah

Yaitu pekerjaan yang banyak terjadi dalam kehidupan seseorang, seperti:

  1. Makan memakai sendok.
  2. Membasuh tangan sesudah makan.
  3. Mengadakan macam-macam makanan dan minuman serta pakaian, menghiasi rumah dan gedung.

4.     Bid’ah Muharromah:

  1. Lebih mengutamakan kepada orang-orang bodoh daripada keadaan para ulama atau cerdik-pandai.
  2. Mengangkat orang-orang yang tak berpengetahuan agama untuk menduduki jabatan yang mengurusi soal-soal keagamaan hanya karena jabatan itu turun temurun seperti putra kadli harus jadi kadli.
  3. Mewajibkan ibadah yang tidak diwajibkan oleh Rasulullah seperti mewajibkan puasa pada hari syak.

5.     Bid’ah Makruhah

  1. Menentukan adanya hari-hari yang utama untuk melakukan ibadah seperti anggapan bahwa hari Jum’ah itu hari yang amat utama utuk beribadah puasa.
  2. Menghiasi masjid dengan bermacam-macam hiasan.
  3. Menghiasi kitab Quran.
  4. Berjabatan tangan setelah salam dengan orang yang shalat di kiri-kanannya.
  5. Menambah kesunnatan berbatas eperti membaca tasbih seratus kali sesudah shalat padahal seharusnya hanya tiga puluh tiga kali.

Demikian antara lain contoh kelima macam bid’ah menurut pendapat Iamam Al-Qorofi dan pengikutnya. Bid’ah hasanah teridiri dari bid’ah wajibah, mandubah dan mubahah; sedang bid’ah qabihah terdiri dari bid’ah muharromah dan makruhah.

Perkembangan selanjutnya

Pembagian bid’ah menjadi hasanah dan qabihah, kemudian menjadi llma macam itu, kemudian berkembang dan bertambah meluas terutama mengenai penggolongan amal-amal bid’ah. Pembagian itu yang semula ditujukan kepada bid’ah yang berkembang dengan adat dan perkara keduniaan, lalu diperluas juga mengenai bid’ah dlam ‘ibadah.

Kalau kita memperhatikan amalan yang digolongkan ke dalam bid’ah hasanah seperti: mengumpulkan dan seterusnyadanseterudsnya mencetak serta menyiarkan kitab Quran, mempelajari ilmu-ilmu bahasa dan ilmu agama, medirikan madrasah dan pengajian, makan dengan sendok dengan garpu; semua itu tidak merupakan ‘ibadah seperti shalat dan puasa. Kesemua itu merupakan usaha untuk menegakkan ajaran Islam, serta makan dengan sendok dan lain-lainnya bid’ah mubahah merupakan urusan keduniaan atau adat pergaulan. Tetapi sebagai yang diterangkan di atas; segala sesuatu tentang bid’ah itu senantiasa berkembang. Dan perkembangan itu sering demikina luasnya hingga tidak sesuai lagi dengan maksud dan batas semula. Demikianlah orang yang tidak merasa puas beribadah menurut ajaran ketentuan Rasulullah, lalu memasukkan bid’ah (tambahan dalam agama) menjadi bid’ahhasanah. Maka tersiarlah ajaran dan pendapat bahwa:

  1. Membaca usholli sebelum takbiratul-ihram itu bid’ah hasanah, karena dimaksudkan untuk menentukan niyat, sedang niyat dalam shalat itu wajib.
  2. Bertahlil dan bertalqin di kuburan itu bid’ah hasanah karena ditujukan bagiselamatan mayat yang ditahlili serta mengingatkan diri kepada Allah.
  3. Shalat dan berpuasa pada hari dan malam nisfu sya’ban itu bid’ah hasanah sebab mulianya hari itu dan bukankah shalat serata puasa itu mendapatkan pahala?
  4. Shalat Tarawih dua puluh raka’at itu bid’ah hasanah sebab bertambah banyaknya raka’atnya bertambah banyaknya pahalanya.
  5. Bangkit beridiri waktu maqom ketika Maulud dibacakan itu bid’ah hasanah karena berarti menghormati kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
  6. Dan lain-lainnya.

 

Baca juga PENGERTIAN BID’AH

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker