default

Fatwa Tarjih Muhammadiyah : Shalawat Nabi dan Takbir Id

SHALAWAT NABI DAN TAKBIR SHALAT ‘ID

Penanya:

Sdr. Sutopo,

Wonorejo, Tlogowungu, Pati, Jawa Tengah

Pertanyaan:

Sehubungan dengan ayat 56 surat Al-Ahzab, saya mengajukan pertanyaan sebagai berikut:

  1. Saat-saat kapan kita mengucapkan shalawat Nabi Muhammad saw?
  2. Apakah ada wirid tertentu tentang shalawat Nabi sehabis shalat fardlu, misalnya dengan bilangan 70 atau 100 kali?
  3. Bagi ikhwan kita yang biasa membaca barzanji pada tiap hari malam Senin atau malam Jum’at di masjid atau mushalla termasuk melafadzkan shalawat Nabi?
  4. Pada shalat ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adlha, sehabis takbiratul ihram apakah kita takbir atau tidak?

Jawaban:

Pertanyaan pertama, mengenai saat-saat mengucapkan shalawat untuk Nabi Muhammad saw, ialah:

  1. Tidak ditentukan waktunya, boleh kita baca kapan saja kita kehendaki, asal tujuan mengucapkan shalawat itu berdoa kepada Allah SWT agar Dia selalu melimpahkan rahmat kepada beliau Nabi Muhammad saw, seperti dalam rangka memperingati hari wafat atau lahir seseorang dan sebagainya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. [الأحزاب (33): 56

Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [QS. Al-Ahzab (33): 56].

Shalawat mempunyai beberapa arti, tergantung siapa yang mengucapkannya. Jika yang bershalawat Allah SWT untuk Nabi saw, berarti Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau, jika malaikat yang bershalawat berarti mereka berdoa kepada Allah SWT agar Nabi saw diampuni-Nya, jika manusia yang bershalawat berarti manusia memohon kepada Allah SWT agar Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada Nabi saw. Lafadz shalawat itu ialah: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَي مُحَمَّدٍ Artinya: “Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu atas Muhammad.”

Ayat di atas tidak menentukan waktu atau tempat mengucapkan shalawat, sehingga boleh dilakukan kapan saja atau di mana saja, asal tidak di tempat yang kotor (bernajis) seperti dalam WC atau kakus dan sebagainya, dan asal tujuan shalawat itu semata-mata mendoakan Nabi Muhammad saw.

  1. Shalawat dibaca pada tahiyat akhir setelah tasyahud pada setiap mengerjakan shalat, berdasarkan hadits:

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ الْبَدَرِيّ، قَالَ بَشِيْرُ بْنُ سَعْدٍ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمَّرَنَا اللهُ أَنْ نُّصَلِّيَ عَلَيْكَ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ؟ فَسَكَتَ ثُمَّ قَالَ: قُوْلُوْا: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَي آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَي إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَي آلِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَي آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارِكْتَ عَلَي إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَي آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِي اْلعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. [رواه مسلم وأحمد].

Artinya: “Dari Abu Mas’ud al-Badari, berkata Basyir bin Sa’ad: Ya Rasulullah, Allah memerintahkan kepada kami agar bershalawat atas engkau, maka bagaimana kami bershalawat atas engkau? Kemudian beliau bersabda, katakanlah: ‘Allaahumma shalli ’alaa Muhammad wa ’alaa aali Muhammad, kamaa shallaita ’alaa Ibraahiim wa ’alaa aali Ibraahiim, wa baarik ’alaa Muhammad wa ’alaa aali Muhammad, kamaa baarakta ’alaa Ibraahiim wa ’alaa aali Ibraahiim, fil-’aalamiina innaka hamiidun majiid.’ (Wahai Tuhan, limpahkanlah rahmat-Mu atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat atas Ibrahim dan atas keluarga Ibrahim. Wahai Tuhan, berilah berkat atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan berkat atas Ibrahim dan atas keluarga Ibrahim. Di seluruh alam hanyalah Engkau Yang Maha Terpuji lahi Maha Mulia).” [HR. Muslim dan Ahmad].

Pertanyaan kedua, tentang wirid dan bilangan shalawat yang dibaca setiap selesai mengerjakan shalat fardlu.

Perkataan wirid yang diucapkan setiap selesai shalat fardlu tidak ada tuntunannya. Yang ada tuntunannya ialah dzikir dan doa yang diucapkan oleh seseorang setiap selesai shalat fardlu. Sehubungan dengan dzikir dan doa ini telah disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dan telah diterbitkan oleh Majalah Suara Muhammadiyah. Kami anjurkan saudara membaca buku kecil tersebut.

Pertanyaan ketiga, tentang berzanji.

Berzanji belum dikenal pada masa Rasulullah saw, demikian pula pada masa tabi’in, tabi’it tabi’in. Lafaz berzanji dikarang setelah jatuhnya dinasti Abbasiyah, kira-kira pada abad keempat Hijriyah atau kira-kira tiga ratus tahun lebih setelah Rasulullah saw meninggal dunia. Waktu itu kerajaan Abbasiyah hancur, dan kerajaan Islam terpecah belah menjadi kerajaan kecil-kecil. Sejak itulah lafadz-lafadz berzanji itu sering diucapkan oleh sebagian kaum muslimin pada saat-saat tertentu sesuai dengan waktu dan tempat yang mereka yakini.

Padahal, Nabi Muhammad saw melarang keras kaum muslimin berlebihan memberikan penghormatan kepada diri beliau, sebagaimana telah ditulis pula oleh almarhum KH. Ahmad Azhar Basyir dalam buku Falsafah Ibadah dalam Islam halaman 20-22. Dalam sebuah hadits Nabi saw pernah bersabda:

عَنْ عُمَرَ يَقُوْلُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ. [رواه البخاري ومسلم

Artinya: “Diriwayatkan dari Umar ra., ia berkata: Aku mendengar Nabi saw bersabda: Janganlah kamu memberi penghormatan (memuji/memuliakan) kepada saya secara berlebihan sebagaimana orang Nasrani yang telah memberi penghormatan (memuji/memuliakan) kepada Isa putra Maryam. Saya hanya seorang hamba Allah, maka katakan saja hamba Allah dan Rasul-Nya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Dengan kata lain, tidak ditemukan nash-nash baik Al-Qur’an dan Al-Hadits yang berhubungan dengan berzanji itu.

Pertanyaan keempat, mengenai takbir pada shalat ’Idul Adlha dan ’Idul Fitri, ialah tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua. Hal ini telah ditetapkan pada Muktamar Tarjih ke-20 di Garut Jawa Barat yang diadakan pada tanggal 18 sampai dengan 23 Rabi’ul Awwal 1396 H atau tahun 1976 M. Keputusan ini berdasarkan hadits-hadits Nabi saw. Agar lebih jelas kami anjurkan saudara membaca Buku Tanya Jawab Agama yang disusun oleh Tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih, pada Buku Jilid I Cetakan VII Ramadhan 1424 H / November 2003 M halaman 95-98. Pada buku tersebut dijelaskan tentang penilaian terhadap sanad dari hadits-hadits yang digunakan sebagai dalil. *km)

Sumber : Fatwa Tarjih Muhammadiyah 2005

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker