default

PENDAPAT YANG TIDAK MENYETUJUI PEMBAGIAN BID’AH

Buku : AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH, BID’AH KHURAFAT

BID’AH DAN KHURAFAT PART III

OLEH: H. DJARNAWI HADIKUSUMA

Buku : AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

BID’AH KHURAFAT

1.      Bantahan dari Imam Asy-Syatibi

Sebagian ulama tidak menyetujui pembagian bid’ah menjadi lima sebagai yang telah diuraikan di atas. Seorang daripada mereka ialah Imam Abu Ishaq Asy Syatibi dalam kitabnya “Al-I’tishom” yang terkenal. Beliau menulis:

Sungguh pembagian ini (membagi bid’ah menjadi lima macam) benar-benar suatu perkara yang diada-adakan yang tidak beralasan dalil syar’i. Bahkan pembagian itu sendiri mengandung pertentangan, sebab salah satu daripada hakikat bid’ah itu ialah tidak beralasan dalil syar’i, tidak dari nash-nashnya dan tidak pula dari qa’idah-qa’idahnya. Karena jika ada dalil syar’I yang menunjukkan wajibnya atau sunnatnya ataupun mubahnya tentu perkara itu tidak menjadi bid’ah lagi dan tentu termasuk amalan yang diwajibkan atau diharuskan. Oleh sebab itu mengumpulkan perkara-perkara yang dianggap bid’ah dengan dali-dalil yang menunjukkan wajibnya atau sunnatnya ataupun mubahnya adalah menyesuaikan dua perkara yang tidak mungkin sesuai.”

Keringkasan dari perkataan Imam Asy-Syatibi tersebut diatas ialah:

  1. Hakekat bid’ah ialah sesuatu yang tidak ada dalil syar’inya.
  2. Pembagian bid’ah tidak ada dalil syar’inya, karena itu ia bid’ah juga.
  3. Andaikata pembagian bid’ah itu beralasan dalil syar’i tentu bukan bid’ah lagi.
  4. Sebab itu tetaplah bid’ah itu bid’ah itu satu, tidak terbagi-bagi hukumnya.

Bantahan Imam As-Syatibi itu sungguh tepat sekali. Sekarang marilah kita cobakan pendapatnya itu, umpamanya begini:

  1. Kalau kita anggap bahwa mentalqinkan mayat yang baru dikuburkan itu bid’ah hasanah, niscaya hukumnya wajib atau setidaknya sunnat.
  2. Kalau misalnya kita anggap talqin di kuburan itu sunnat, kita memerlukan alasan dalil syar’i yang menunjukkan kesunnatannya.
  3. Kalau dalilnya itu ada tentu bukan bid’ah lagi, karena bid’ah itu amalan yang tidak berdalil syar’i.
  4. Kalau kita anggap talqin tersebut hukumnya mubah tentu kita memerlukan dalil yang menjelaskan mubahnya, atau terang tidak ada dalil yang melarangnya. Jika talqin itu mubah hukumnya, tentu meskipun dikerjakan tak mendapat pahala. Seseatu yang jika dikerjakan tidak mendapat pahalamaka tidak bernilai agama.

Akhirnya dapat kita simpulkan bahwa bid’ah yang dapat dibagi lima hukumnya hanyalah bid’ah dalam hal perkara adat dan keduniaan sebenarnya bukan bid’ah. Bid’ah hanya terdapat dalam perkara ibadat dab i’tiqad serta amalan yang dimaksudkan sebagai ibadat.

Adapun yang bernama bid’ah dalam hal perkara adat dan keduniaan sebenarnya bukan bid’ah. Bid’ah hanya terdapat dalam perkara ibadat dab i’tiqad serta amalan yang dimaksudkan sebagai ibadat, dan hukumnyapun hanya satu yaitu sesat.

Sabda Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam:

وَإيّاكم ومحدثات الأمور فإنّ كلَّ بدعةٍ ضلالةٌ

“Dan jauhilah olehmu perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah itu sesat.” (Hadits Shahih diriwayatkan Muslim).

مَن عمِل عملا ليسَ عليه أمرنا فهو ردّ

“Siapa mengerjakan amalan yang tidak didasarkan perintah kami, maka ia tertolak.” (Hadits Shahih diriwayatkan Muslim).

Andaikata yang dimaksud dengan bid’ah oleh Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam itu perkara adat dan keduniaan niscaya sesat dan berdosalah orang yang makan dengan sendok, naik mobil, dengar radio, upacara dan adat perkawinan yang diadakan orang. Tentu itu mustahil.

Tentu yang dimaksud Rasulullah dengan bid’ah ialah dalam soal ibadah dan i’tiqad yang tidak ada perintah dan contohnya oleh Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam.

 

2.      Al-Mashalihul Mursalah

Oleh karena bid’ah itu hanya terdapat dalam urusan ibadah dab i’tiqad, maka tambahan dalam urusan adat dan keduniaan yang tadinya secara tidak tepat digolongkan bid’ah mandubah dan wajibah, oleh Imam Syatibi dan para ulama yang sepaham digolongkan ke dalam Al-Mashalihul Mursalah. Segala hal yang perlu diadakan untuk pemeliharaan dan penegakan agama dan kesejahteraan manusia dinamakan “Al-Mashalihul Mursalah”, diantara para Imam dan ulama yang terlebih mengutamakan Al-Mashalihul Mursalah ini ialah Imam Malik radliallahu ‘anhu. Kemudian bertambah banyaklah para ulama dan cerdik-pandai yang mengakui Mashalihul Mursalah, seperti Imam Asy-Syaukani, para Ulama madzhab Hanafi, Imam At-Thufi, dan banyak lagi para ulama besar lainnya. Mereka mengakui Mashalihul Mursalah dapat dijadikan satu cara (qaidah) untuk menetapkan hukum atas sesuatu amalan yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an atau Hadits. Sesuatu pekerjaan dapat diwajibkan atau disunnatkan atau diperkenankan melalui pertimbangan Mashalihul Mursalah itu.

Sebagai contoh dapat diberikan sebagai di bawah ini:

  1. Al-Qur’an diturunkan Allah untuk menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dan pedoman hidupumat Islam.
  2. Oleh sebab itu orang Islam wajib mengerti isi Al-Qur’an untuk dipakai sebagai pedoman hidup dan untuk disampaikan kepada manusia yang belum Islam.
  3. Untuk dapat mengetahui isi dan ajaran Al-Qur’an orang Islam harus mengerti bahasa Arab dan alatnya seperti nahwu-shorof dan lain-lainnya.
  4. Maka mempelajari bahasa Arab itu hukumnya wajib atas orang Islam yang berkemampuan dan berkesempatan.
  5. Pengajaran tentang bahasa Arab dan lain-lain ilmu agama lebih efektif diadakan secara klasikal dengan mendirikan madrasah-madrasah yang teratur rapih.
  6. Maka mendirikan madrsah rendah, menengah dan tinggi itu hukumnya wajib kifayah pula.
  7. Madrasah tak dapat didirikan tanpa beaya yang besar dan tetap. Maka membantu keuangan madrasah itu hukumnya wajib kifayah pula.

Akan tetapi bila tidak diperhatikan dengan teliti sering kelihatan sepintas lalu bahwaMashalihul Mursalah ini jumbuh dengan bid’ah. Sebab itu perlu kiranya dijelaskan perbedaan antara keduanya.

3.      Perbedaan Bid’ah dan Mashalih Mursalah

Sebab utama yang menjadikan Bid’ah dan Mashalihul Mursalah kelihatan jumbuh, ialah bahwa keduanya itu sama-sama tidak berdiri atas dalil syar’i. Sungguhpun demikian antara keduanya terdapat dua garis pemisah yang tegas, bahkan hukumnya berlawanan. Bid’ah hukumnya haram dan Mashalihul Mursalah hukumnya termasuk rangka pekerjaan fardlu kifayah.

  1. Bid’ah adalah pekerjaan yang menyerupai ibadah, atau dimaksudkan untukberibadat dan mendekatkan diri kepada Allah, yang kesemuanya itu tidak diperintahkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah; seperti: talqin di kuburan, tahlil, shalat dan puasa Nisfu Sya’ban, dan sebagainya.

Tetapi Mashalih Mursalah adalah pekerjaan yang tidak menyerupai ibadah, artinya bukan shalat, bukan puasa, bukan mendoa, bukan membaca tasbih dan takbir dan sebagainya. Bukan pula Mashalihul Mursalah itu dikerjakan dengan maksud beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah seperti halnya shalat dan puasa, tetapi dikerjakan karena diketahui keperluannya demi untuk kemashlahatan umat, penjagaan tegaknya agama serta kelangsungannya; seperti: mencetak Al-Quran dan kitab Hadits, mendirikan madrasah, mendirikan menara dan menggunakan pengeras suara agar suara azan dapat terdengar jauh, dan sebagainya.

  1. Yang dituju oleh bid’ah ialah maksud pokok daripada agama, yaitu menyembah Allah atau mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan singkat dapat dikatakan: bid’ah menuju kepada maksud agama.

Tetapi Mashalih Mursalah menuju kepada wasa-il (alat perantara) terlaksananya agama.

Oleh karena itu Mashalih Mursalah bersendi kepada kecerdasan akal serta berkembang menurut perkembangan kecerdasan dan ilmu pengetahuan, segala sesuatunya dapat kita pahami seluk-beluk dan faedahnya. Sedangkan bid’ah, oleh karena bersendi kepada ibadah, tidak sempurna kita pahami dan cara pengamatannya tidak berkembang menurut kecerdasan.

Demikianlah perbedaan antara ujud dan maksud antara bid’ah dan mashalih mursalah, perbedaan mana bertambah jelas lagi bila kita bandingkan amalan yang termasuk mashalih mursalah sebagai yang telah dicontohkan di atas.

4.      Al-Mashalihul Mursalah

Diantara para Imam dan Ulama kenamaan adalah Imam Malik bin Anas yang paling banyak menerapkan hukum dengan mashalih mursalah ini.

Tentang pengertian Mashalihul-Mursalah, bahkan kita kutipkan tulisan Dr. Muhammad Yusuf Musa dalam kitabnya “At Tasyri’ul Islamy” yang diterbitkan di Mesir tahun 1960:

Arabnya..

“Yang dimaksudkan dengan mashalih mursalah ialah semua amal kemashlahatan yang tidak dikuatkan dengan nash dari Allah untuk mengadakan atau tidak mengadakannya. Dan dalam mengadakannya itu terdiri usaha untuk memperoleh manfaat atau menghindarkan mudlarat, dengan syarat tidak menyalahi maksud daripada maksud-maksud syari’ah dan tidak pula menyalahi dalil daripada dalil-dalil syari’ah, serta harus benar-benar merupakan kemashlahatan yang amat diperlukan bagi masyarakat atau setidaknya dapat menghasilkan manfaat atau menghindarkan mudlarat.”

Yang dinamakan “mashlahat” ialah segala sesuatu yang membawa kebaikan dan manfaat bagi umat serta yang menghindarkan madlarat. Maka mashlahat itu merupakan setiap usaha untuk memelihara kehidupan umat manusia dalam hal agama mereka, diri mereka, akal mereka, keturunan mereka dan harta mereka. Kelima perkara itu disebut “al-kulliyatul khomsah”. Tujuan mashalih mursalah ialah menjaga dan menjada umat manusia dalam perkara yang lima itu, dengan cara yang meskipun tidak dianjurkan oleh dalil Quran dan Sunnah tetapi juga tidak menerjang peraturan agama yang ada. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa mashalih mursalah itu bertujuan: memakai kecerdasandan kebijaksanaan serta kemampuan untuk mencapai kesejahteraan umat dengan jalan yang diizinkan syara’.

 

5.      Contoh Amal yang Tergolong Mashalih Mursalah

Jika kita menganggap perlu adanya usaha atau adanya larangan demi untuk kemashlahatan umat, padahal tidak ada perintahnya dalam Quran dan Sunnah Rasul, maka kita dapat mengadakan usaha atau larangan itu atas dasar mashalih mursalah. Maka bertambah lama dunia terkembang dan bertambah luas dan beraneka warna kebudayaan manusia, bertambah pula banyaknya tindakan yang harus dilakukan atas dasar mashalih mursalah. Di bawah ini beberapa contohnya:

  1. Rasulullah belum pernah memerintahkan atau melakukan pengumpulan atau pembukuan ayat-ayat Quran. Tetapi khalifah Abu Bakar telah melakukan itu, dan khalifah ‘Utsman bin’Affan menyalinnya serta menetukan cara membacanya dengan tujuh macam qiroat suku Quraisy yang terbesar, dan kita sekarang ini mencetaknya serta menerjemahkan dan mentafsirakannya. Kesemuanya itu dilakukan demi kemaslahatan agama yang kita peluk.
  2. Pada zaman Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar belum ada ditetapkan hukuman dera bagi orang yang meminum khomr. Tetapi khalifah Umar telah menetapkan hukuman dera delapan puluh kali kepada orang yang minum khomr (arak). Ketetapan hukuman ini diambil untuk menjaga akal dan jiwa rakyat dari bahaya pemabukan.
  3. Rasulullah tidak pernah menganjurkan mendirikan rumah yatim (panti asuhan), anak-anak yatim bagi-bagi kepada para sahabatnya untuk dipelihara di rumah masing-masing sebagai anak sendiri. Banyak terjadi anak yatim itu diperlakukan sebagai pelayan. Kesukaran bertambah jika orangtua sering tidak berada di rumah karena bekerja dan berdagang. Maka untuk mengatasi itu didirikan panti-asuhan dengan pamong dan pendidik yang khusus, dan biayanya ditanggung bergotongroyong. Demikian pula panti asuhan untuk orang miskin dan orang tua renta.
  4. Pada zaman Rasulullah belum ada masjid khusus kaum putrid an rasulullah tidak menganjurkan untuk mengadakannya. Tetapi sekarang dapat diadakan masjid untuk kaum muslimat yang diberi nama “mushala” agar menambah kegembiraan dan kebebasan kaum putri untuk shalat jama’ah, mengaji dan sebagainya.
  5. Mendirikan madrasah dan perguruan agama dari tingkat rendahhingga tinggi serta pemberiangelar sarjana dan ijazah dalam ilmu agama.
  6. Mengatur hak milik tanah umpamanya dengan undang-undang Landreform yang adil, demi untuk keadilan pembagian tanah kepada segenap rakyat.
  7. Mengadakan undang-undang Perburuhan antara lain dengan menentukan upah minimum bagi para buruh agar dapat terjamin penghidupannya.
  8. Mengkontrol dan memimpin penggunaan kekayaan rakyat agar dapat bermanfaat bagi kesejahteraan bersama.
  9. Untuk lebih menggembirakan dan menyemangatkan tabligh dan dakwah serta amal social, maka hari-hari mauled Nabi, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Quran dirayakan dengan mengadakan peringatan serentak yang bermanfaat bagi kemajuan dan syi’ar agama. Kesemuanya itu termasuk masalih mursalah asal tidak dengan maksud menyamakannya dengan ibadah dan tidak pula disertai kepercayaan yang tidak-tidak.
  10. Mengharamkan atau melarang pendirian patung para pemimpin agama karena mengkhawatirkan dipuja orang yang dapat mengakibatkan kemusyrikan, atau karena menghamburkan beaya.
  11. Melarang pemakaian intan dan berlian untuk perhiasan karena dianggap memamerkan kekayaan pribadi kepada rakyat umum.

Demikianlah contoh-contoh tentang tindakan yang tidak disuruh dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah, tetapi karena dianggap perlu bagi kemashlahatan umat maka dilakukan. Dengan itu bertambah jelaslah perbedaan antara masalih mursalah dengan bid’ah.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker