BeritadefaultMuamalah

Peran Ulama Menurut K.H. Mas Mansur

TABLIGH.ID – 110 tahun sudah eksistensi Muhammadiyah di tanah air. Muhammadiyah sebagai organisasi memang memiliki profil yang menarik. Sebagai salah satu pelopor gerakan reformasi Islam di Indonesia, Muhammadiyah kenyataannya juga banyak didorong oleh para tokohnya yang non-ulama. Karaktersitik Muhammadiyah berbeda kontras misalnya dengan Nadhlatul Ulama, saudaranya yang lahir 14 tahun kemudian. Nadhlatul Ulama berdiri diatas prakarsa para ulama. Di bawah para ulama pula organisasi tersebut dipimpin.

Lain hal dengan Muhammadiyah. Ciri khas keulamaan Muhammadiyah bukannya tidak ada. Banyak tokoh Muhammadiyah adalah ulama tulen. Seperti pendirinya K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Faqih Usman, K.H. Mas Mansur dan lainnya. Tetapi dalam Muhammadiyah, para aktivis Islam dengan latar belakang beragam juga memiliki peran menonjol. Mulai dari H. Fachrodin yang juga seorang jurnalis, hingga M. Amien Rais, intelektual yang pernah memimpin Muhammadiyah.

Peran intelektual ini yang juga banyak mewarnai pemikiran dalam Muhammadiyah. Meski demikian, keliru jika menyebut ulama tak lekat dengan kehadiran Muhammadiyah. Bahkan kedudukan ulama juga menjadi perhatian tokoh Muhammadiyah, yang juga ulama, yaitu K.H. Mas Mansur. Sosok yang relatif tak banyak tersorot pemikiran dan jejak langkahnya dalam Muhammadiyah. Padahal ia adalah sosok yang melalui fase-fase kritis dalam perjalanan bangsa Indonesia.

Ia adalah ulama yang pernah melalui fase-fase kritis perselisihan antara ulama di Indonesia. Akibat perkara khilafiyah, para ulama berselisih dan menyebabkan gesekan tajam di antara umat. . KH Mas Mansur menulis dalam “Riwayat Berdirinya Majlis Islam Tertinggi” akan hal itu, “…kita sudah bosan, kita sudah payah bermusuh-musuhan. Sedih kita rasakan kalau perbuatan itu timbul dari para ulama, padahal ulama itu mestinya lebih halus budinya, berhati-hati lakunya.” [KH Mas Mansur, Riwayat Berdirinya Majlis Islam Tertinggi dalam KH Mas Mansur: Kumpulan Karangan Tersebar; 1992]

K.H. Mas Mansur juga melewati fase di mana para ulama kembali rujuk, mengikhtiarkan jalan untuk bersatu lewat hadirnya Majelis Islam A’la Indonesia. MIAI menjadi ajang para ulama untuk Littasawwur, atau tempat bermusyawarah dan menjadi tempat Litta’arruf, atau tempat saling berkenal-kenalan. Beramah-tamah dan akhirnya bersahabat. Kedua fungsi tersebut berjalan secara perlahan sehingga para ulama akhirnya mulai menjalin kerjasama.
Sebagai sosok ulama dalam Muhammadiyah ia memahami peran ulama yang penting dalam kehidupan umat. Ada beberapa karangan beliau yang menyinggung peran ulama. Seperti misalnya karangan beliau dalam Majalah Adil yang terbit pada bulan Desember 1941, yaitu Pokok-pokok perdamaian di Antara Anak Cucu Adam.
Karangan beliau ini menyoroti peran ulama terhadap Al Qur’an. Menurutnya ada tiga peran ulama dalam mendudukkan al-Qur’an. Pertama, ulama yang rela menerangkan Al Qur’an kepada umat dengan “…terus terang akan segala apa yang tersebut dalam Qur’an, baik pahit maupun manis, ringan ataupun berat, diterangkan semuanya hitam di atas putih, tidak dengan sembunyi lagi. Ia menyampaikan amanat isi Quran dengan kartu terbuka, sejarahpun tidak hendak membelokan karena sebab suasana dikanan kirinya.” [lihat KH Mas Mansur Pokok-pokok perdamaian di Antara Anak Cucu Adam dalam KH Mas Mansur: Kumpulan Karangan Tersebar; 1992]
Jika direnungkan betapa mendalam, kedudukan ulama golongan pertama inilah ulama sejati. Kisah-kisahnya pernah kita dengar. Tidak tunduk pada kekuasaan ataupun layu karena godaan kemewahan. Ulama golongan pertama ini menurut tokoh pelopor Majelis Tarjih di Muhammadiyah ini, tidak takut akan resiko yang dihadapinya.
Kedua, adalah ulama “…yang mengelokk-kelokkan, membelokkan serba sedikit maksudnya yang asli, karena mengharapkan sesuatu atau takut akan sesuatu,” terang K.H. Mas Mansur. Ulama seperti ini menurut beliau dalam menerangkan Qur’an dengan melihat dulu suasana di sekelilingnya, yang berhubungan dengan diri sendiri atau terhadap orang lain.
Ulama jenis kedua ini adalah ulama yang sudah diliputi semangat dunia dan keduniaan, berat dengan persoalan keluarga, takut mendapat kesulitan, bahkan mencari keuntungan, dipuji, mencari motif keduniawian. [lihat KH Mas Mansur Pokok-pokok perdamaian di Antara Anak Cucu Adam dalam KH Mas Mansur: Kumpulan Karangan Tersebar; 1992]
Ketiga, ulama yang menurut K.H. Mas Mansur “…tinggal berdiam diri saja, tidaklah menerangkan dan tidak pula mengkelok-kelokkan. “ Ulama seperti ini sama seperti ulama jenis kedua, khawatir akan resiko yang menimpa dirinya. Beliau menyebutnya ulama peragu, takut akan resiko jika menjadi ulama jenis pertama dan takut pula menghadapi resiko jika menjadi ulama jenis kedua. [lihat KH Mas Mansur Pokok-pokok perdamaian di Antara Anak Cucu Adam dalam KH Mas Mansur: Kumpulan Karangan Tersebar; 1992]
Akhirnya ia memilih jalan yang “…menjauhi segala-galanya, menyerahkan masa bodoh saja pada orang lain dari diri sendiri mencari jalan selamat dengan menyuruhkan dirinya pura-pura tidak tahu menahu,” jelas ulama yang aktif di politik ini.
Jenis ulama macam pertama tentu tak perlu kita pertanyakan lagi. Tetapi tidak dengan ulama jenis kedua dan ketiga. Ulama yang mengkhianati umat dengan mencari untung atau melarikan diri, meninggalkan umatnya. Padahal situasi yang dihadapi umat Islam semakin sulit.
Hal ini sudah dilihat oleh K.H. Mas Mansur, yang ketika artikel ini ditulis, dalam masa sulit penjajahan. Umat berada dalam situasi zaman bergerak cepat, mengombang-ambingkan umat.
“Umat yang tadinya, berada di antara hidup dav mati laksana ‘kerakap tumbuh di batu’ – hidup segan mati tak mau – sekaran oleh sebab desakan gelora jaman, ia dapat menentukan keadaannya dikelak kemudian hari, apa ‘hidup’ atau ‘mati,’” demikian menurut K.H. Mas Mansur. [lihat KH Mas Mansur Bimbingan dalam KH Mas Mansur: Kumpulan Karangan Tersebar; 1992]
Dalam karangan berjudul Bimbingan ia menilai masyarakat harus mendapatkan pimpinan, bimbingan atau tuntunan. Dan beban membimbing, menuntun, memimpin itu terletak dipundak para ulama. Menghadapi situasi zaman seperti ini menurutnya ulama harus memperluas wawasannya sehingga dapat menghadapi tantangan zaman. Meski karangan zaman ini ditulis pada tahun 1944, di zaman penjajahan Jepang, namun karangan ini masih menemukan relevansi kuat dalam membahas persoalan antara ulama dan umat.
K.H. Mas Mansur melihat setidaknya ada delapan hal yang harus diperhatikan oleh para ulama. Pertama, ulama harus “merasa akan sedikitnya pengetahuan.” Ilmu, menurut beliau adalah sesuatu yang tiada berkesudahan. Di atas ulama masih ada ulama lainnya. Seraya mengutip Surat al Israa’ ayat 85, beliau mengingatkan, “Janganlah ulama merasa bangga dan takabur akan pengetahuan yang telah tersimpan didada. Cari dan tambahlah ilmu itu sepanjang umur.” [lihat KH Mas Mansur Bimbingan dalam KH Mas Mansur: Kumpulan Karangan Tersebar; 1992]
Kedua, ulama menurut K.H. Mas Mansur diingatkan untuk memohon akan tambahnya pengetahuan. Surat Thohaa ayat 114 menurut beliau menyadarkan kita aka pentingya berdoa memohon bertambahnya ilmu. Doa menurutnya adalah “suatu dorongan jiwa yang dapat menekan segala ketakabburan dan ‘ujub,’ tetapi mengumpulkan minat dan kehendak mencapai sesuatu.”
Ketiga, ulama, mengutip surat Yunus ayat 32, harus senantiasa mengingat: “Tiada ada sesudah benar, kecuali sesat.” Hanya ada satu kebenaran dan diluar kebenaran hanya ada kesalahan dan kebatilan. “Karena itu haruslah kita senantiasa menuju kebenaran dan menuntut yang hak.”
Keempat, menurut K.H. Mas Mansur, kebanyakan manusia mengikuti kira-kira. Banyak manusia yang tertipu hal yang salah, karena didorong hawa nafsu dan syahwat. “Sebab ternyata sekali manusia, hanya tukang kira-kira dan sangka.” [lihat KH Mas Mansur Bimbingan dalam KH Mas Mansur: Kumpulan Karangan Tersebar; 1992]
Kelima, ulama harus menyadari kekurangannya. “Jangan menetapkan apa yang belum diketahui.” Kekurangan ilmu jangan ditutupi dengan kira-kira atau dugaan. Sebab dari dugaan atau kira-kira akan menimbulkan dosa.  Oleh sebab itu jangan menetapkan \atau menghukumkan sesuatu jika belum cukup ilmu. [lihat KH Mas Mansur Bimbingan dalam KH Mas Mansur: Kumpulan Karangan Tersebar; 1992]
Keenam, ulama harus memperhatikan “apa yang ada di dalam langit dan bumi. Hal ini diinsafkan oleh peringatan Allah dalam surat Yunus ayat 101. Tidak cukup seorang ulama hanya menilai dari lingkungannya saja. Ia harus melihat lebih luas dari apa yang terjadi di langit dimuka bumi, sebagai jalan untuk mencari keridhaan Allah.
Ketujuh, merujuk surat al Baqarah ayat 28, segala anugerah di muka bumi ini adalah untuk dimanfaatkan manusia. Tetapi semua itu adalah rahmat Allah dan pemberian Allah dimanfaatkan dan jangan disia-siakan.
Kedelapan, mengutip surat al-Ankabut ayat 69, ia menyebut, “siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapat jalan.” [lihat KH Mas Mansur Bimbingan dalam KH Mas Mansur: Kumpulan Karangan Tersebar; 1992]
Kedelapan butir tadi adalah mutiara nasihat K.H. Mas Mansur untuk mengingatkan kepada umat dan sesama ulama. Pengalaman hidupnya yang pernah melalui pertikaian sesama ulama di Indonesia hingga mencapai satu persatuan dan wadah majelis bersama merupakan pelajaran berharga menilai peran ulama dalam umat Islam terutama di Indonesia.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker