Beritadefault

Salafi Muhammadiyah Berbeda dari Kelompok Umum yang dikenal

TABLIGH.ID, JAKARTA – Seorang begawan ilmu yang menguasai kajian sejarah, sosiologi, serta perkembangan Islam di kawasan Nusantara, Allahuyarham Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, M.Phil., M.A., CBE berpulang pada Ahad, 18 September 2022, pada usia 67 tahun.

Azyumardi yang merupakan kader Persyarikatan Muhammadiyah itu wafat dalam perjalanan saat memenuhi undangan dari Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) untuk menjadi pembicara dalam Konferensi Internasional Kosmopolitan Islam yang dilaksanakan pada Sabtu (17/9).

Perhatian dan Kepedulian Pada Muhammadiyah

Di Muhammadiyah, Prof. Azra aktif memberikan kritik dan pemikiran terhadap perkembangan Persyarikatan. Dalam Pengajian Ramadan PP Muhammadiyah 1426 H, 9 Oktober 2005 di UMY misalnya, beliau menjelaskan apakah identitas Salafisme yang melekat dalam Persyarikatan. Hal ini tercatat dalam buku Jejak-jejak jaringan kaum Muslim yang terbit pada tahun 2007.

Kala itu, Azra menangkap menangkap kegelisahan dan kecemasan para pimpinan Muhammadiyah dan organisasi otonom di tingkat Pusat dan Wilayah terkait memudar dan melemahnya pemahaman para kader Persyarikatan. Alih-alih berpedoman pada ideologi resmi Muhammadiyah, banyak kader terseret oleh arus salah satu jenis salafisme yang tekstualis.

Muhammadiyah sendiri menurut Azra juga bercorak Salafiyah, yaitu pemikiran yang merujuk pada pemurnian akidah dan slogan ‘kembali kepada Alquran dan Sunnah’. Akan tetapi, Salafisme sendiri ada berbagai macam bentuk, dan Salafisme di Muhammadiyah menurutnya berbeda dengan yang umum dikenal sebagai kelompok ‘Salafi’.

Membela Muhammadiyah Dari Tudingan

Menurut Azra, Muhammadiyah bukan salafisme wahhabiyah. Salafisme di Muhammadiyah tidak merujuk kepada salafisme Abduh yang menekankan rasionalitas, salafisme Ibn Taimiyah yang polemis, ataupun salafisme Ibn Abdul Wahhab yang reaksioner dan pro kekerasan.

Karena itu, meskipun identitas Muhammadiyah adalah salafisme, tapi pemikiran keagamaan Muhammadiyah bukanlah salafisme yang memaknai Alquran dan Sunnah secara simbolis/harfiah (tekstual) seperti mencontoh bagaimana Nabi makan, Nabi berpakaian, atau Nabi berpenampilan.

Lebih jauh, Azra menganggap pemahaman simbolik dan literalistik ini tidak mungkin terjadi karena berbenturan dengan prinsip ‘ijtihad’ dan ‘tajdid’ yang dijadikan sebagai prinsip dan identitas Muhammadiyah yang dilakukan di ranah fikih, muamalah, hingga budaya.

Muhammadiyah adalah Salafisme Wasathiyah

Salafisme Muhammadiyah menurut Azra adalah Salafisme Wasathiyah, yaitu sebuah pemahaman memurnikan akidah, namun tetap berkarakter wasathi (tengahan/moderat) sesuai dengan realitas historis dan realitas sosio-religius masyarakat Islam di kawasan Nusantara.

“Salafisme Wasathiyah jelas berbeda dengan Salafisme Wahhabi, yang tidak hanya literal pada tingkat doktrin, tetapi juga radikal dalam praksis dan aksi. Sejarah Islam di Indonesia membuktikan, Salafisme Wahhabi yang radikal tidak pernah bisa menanamkan akarnya dan bahkan istilah wahhabisme menjadi semacam anathema (istilah yang tidak disukai) bagi kaum muslim di kawasan ini,” tulis Azra.

“Jika Muhammadiyah ingin tidak hanya menjadi ‘penonton’ di tengah perubahan yang begitu cepat dan far-reaching sekarang ini, maka revitalisasi ijtihad merupakan agenda yang mendesak. Namun jelas pula, revitalisasi ijtihad sangat tergantung pada Muhammadiyah sendiri untuk dapat memberikan ruang gerak kepada imajinasi, wacana, dan praksis kreatif kepada jamaahnya. Sikap reaksioner yang berlebihan hanyalah akan membelenggu, dan pada gilirannya ijtihad sulit teraktualisasikan,” pungkas Azra.

sumber : muhammadiyah.or.id

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker