BeritadefaultKhazanah

Latar Belakang & Sejarah Pluralisme Agama

Buku TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part III

Pluralisme Agama

Dalam Timbangan Keyakinan Muhammadiyah

Oleh : Fathurrahman Kamal

Buku TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part III

 

Latar Belakang & Sejarah Pluralisme Agama

Dari perspektif sejarah, pada abad ke-18 M, pluralisme agama dan dinamika pemikiran eropa berada fase pencerahan (enlightment period). Masa ini menjadi titik tolak perubahan fundamental dalam sejarah pemikiran manusia secara global. Ditandai dengan dominasi dan pemujaan terhadap akal pikiran manusia, serta berlepas diri dari berbagai belenggu dogma keagamaan (Gereja) kecuali yang selaras dengan akal dan eksperimental (scientific). Fakta sejarah tersebut merupakan konsekuensi logis dan titik puncak kulminasi dari ‘perseteruan’ antara gereja Kristiani yang akhirnya melahirkan “liberalisme”, sebuah aliran baru dalam wacana sosial yang menyerukan kebebasan, toleransi, persamaan dan pluralisme.

Proses liberalisasi sosial politik di Barat telah melahirkan suatu tatanan yang pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”, maka liberalisasi agama yang dimaksudkan untuk mem-fasilitasinya harus bermuara pada suatu tatanan sosial yang menempatkan agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benar dan sama relatifnya, atau yang lebih dikenal sebagai ‘pluralisme agama’. Oleh karena itu tidaklah asing jika pluralisme agama muncul dalam kemasan pluralisme politik yang tidak lain adalah produk dari liberalisme politik itu sendiri. Pada tataran ini tidaklah berlebihan jika wacana pluralisme agama yang diusung oleh para penganjurnya lebih bersifat sebagai gerakan politik daripada gerakan agama.

Seperti halnya Legenhausen dalam bukunya Islam and Religious Pluralism menegaskan bahwa, berkembangnya liberalisme politik pada abad ke-18 di Eropa umumnya disulut oleh penolakan terhadap intoleransi beragama yang ditunjukkan melalui perang-perang sektarian pada periode Reformasi. Dengan mengetahui historical background lahirnya “liberalisme” tersebut dapat dipahami bahwa “pluralisme agama” merupakan upaya pemberian suatu landasan bagi teologi Kristiani agar toleran terhadap agama non-Kristen. Pada tataran ini pluralisme agama diidentifikasi sebagai gerakan internal Gereja  untuk melakukan reformasi dalam doktrin dan ajaran agama Kristen pada abad ke-19 yang kemudian populer sebagai “Protestanisme Liberal” yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Meskipun ia sendiri membela superioritas Kristen di atas agama-agama lain, namun Schleiermacher menganggap bahwa agama itu secara esensi bersifat personal dan privat. Ia juga menyatakan bahwa esensi dari agama terletak pada jiwa manusia yang melebur dalam perasaan dekat dengan Yang Tak Terbatas, bukan pada sistem-sistem doktrin keagamaan, tidak juga pada penampakan-penampakan lahiriah semata. Pemikiran-pemikiran Schleiermacher tampak kemudian sangat berpengaruh pada penggagas pluralisme religius kontemporer, John Hick.

Memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme telah semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi Barat. Beberapa tokoh terkemuka yang menyokong gagasan-gagasan ini secara lebih serius dan sistematis adalah:  Ernst Troelsch menyatakan bahwa, semua agama termasuk Kristen selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agamapun yang memiliki kebenaran mutlak dan konsep ketuhanan itu adalah beragam, tidak tunggal; William E. Hocking dalam bukunya “Re-thinking Mission” (1932) kemudian “Living Religions and a World Faith” memprediksi munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan aliran pemerintahan global; dan sejarawan Inggris ternama Arnold Toynbee (1889-1975) dalam bukunya yang dipublikasi pada tahun 1956 “ An Historian’s Approach to Religion” dan karya terakhirnya “Christianity and World Religions” (1957) juga dengan jelas mengusung gagasan-gagasan yang sama dengan Ernst Troelsch tentang pluralisme agama yang disebut sebagai fase pembentukan wacana.

Fase berikutnya adalah ketika gagasan-gagasan tersebut mengalami perkembangan yang cukup sempurna dalam pemikiran seorang teolog dan sejarawan Kanada Wilfred Cantwell Smith. Dalam bukunya yang ditulis pada tahun 1981 dengan judul “Towards A World Theology”, ia menegaskan perlunya menciptakan sebuah konsep teologi universal/global yang bisa dijadikan pijakan bersama (common ground) bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis (al-ta’âyusy al-silmȋ). Tampak karyanya ini menjadi sebuah resume dan konklusi dari rentetan penelitian dan pergumulan pemikirannya tentang pluralisme agama dalam karya-karya intelektual sebelumnya yaitu “The Meaning and End of Religion” (1962) dan “Questions of Religious Truth” (1967).

Pada dua dekade terakhir abad ke-20 pluralisme agama telah mencapai masa kematangannya dan menjadi sebuah diskursus pemikiran tersendiri pada tataran teologi dan filsafat agama modern. Kehidupan antar umat beragama dewasa ini, dan khususnya di tanah air, tampak sebagai penjabaran atau juga ‘dampak’ dari gagasan pluralisme agama. Pada fase ini pluralisme agama, dalam kerangka teoritis telah berhasil dimatangkan dengan konsepsi yang lebih sempurna oleh John Hick, seorang teolog Presbiterian dan filosuf agama modern. Ia tampil dengan ketekunan yang luar biasa untuk menulis gagasan-gagasannya dalam karya intelektual yang tak kurang dari 30 buah, baik yang berbentuk buku maupun karangan lainnya. John Hick telah berhasil merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan popular yang melekat dengan namanya sendiri. Bukunya yang berjudul “An Interpretation of Religion : Human Responses to the Trancendent” yang berasal dari serial kuliahnya yaitu Gifford Lecture di Edinburg University pada tahun 1986-1987 merupakan inti utama dari gagasan-gagasannya sebelumnya.

 

Baca Juga PLURALISME AGAMA Part 2

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker