default

Fatwa Tarjih Muhammadiyah : Doa Ikhtiar

Saudara Busyro Hakam Z,

“Busy Pati” <tarjih1@yahoo.com>

Ketua Korps Muballigh Muhammadiyah Kota Bengkulu

Pertanyaan:

  1. Saya ingin menanyakan bunyi teks do’a shalat Istikharah dalam HPT halaman 340, ada kata “wa dunyaya” sebelum kata “wa ma’asyi” yang setelah saya coba cari dalam CD Kutubuttis’ah serta tanyakan/ diskusikan dengan beberapa teman belum menemukan adanya kata tersebut dalam berbagai sumber kitab hadits yang ada. Untuk itu mohon dijelaskan sumbernya.
  2. Dalam Manhaj Tarjih hasil Munas XXIV 2000 di Malang Hadits yang digolongkan As-Sunnah al-Maqbulah itu hanya hadits Sahih dan Hasan saja, kenapa tidak disebutkan adanya Hadits Muatawatir, harap dijelaskan.

Jawaban:

  1. Teks doa Shalat Istikharah sebagaimana yang saudara tanyakan, bisa saudara baca di dalam Kitab Tafsir al-Qurtubi Juz 13 halaman 307. Di dalam kitab tafsir tersebut, menyatakan bahwa hadis yang berisi Doa Istikharah diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir bin Abdillah, teks itu berbunyi sebagai berikut:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ.

Di dalam teks tersebut hanya ditemukan 1 (satu) kata wa dunyaya sesudah kata dini dan sebelum kata wa ma‘asyi. Sementara di dalam HPT terdapat 2 (dua) kata wa dunyaya. Tetapi di dalam Kitab Shahih Al-Bukhari juz IV halaman 110 pada bab Doa Istikharah ternyata tidak ditemukan kata wa dunyaya sama sekali.

  1. Untuk menilai suatu hadis dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal
    1. Dari segi sedikit atau banyaknya rawi (kuantitas)
    2. Dari segi kualitas rawi maupun matan hadis

Dari segi kuantitas, hadis itu terbagi kepada dua macam ; yakni hadis mutawatir dan hadis ahad.

Di sebut mutawatir apabila jumlah para sahabat yang menjadi rawi pertama suatu hadis itu banyak sekali, kemudian rawi generasi tabi’in yang menerima hadis dari generasi sahabat juga banyak jumlahnya dan tabi’it tabi’in yang menerima dari tabi’in pun seimbang jumlahnya, bahkan mungkin lebih banyak, demikian seterusnya sampai pada rawi yang membukukan hadis.

Disebut hadis ahad, apabila jumlah rawi dalam lapisan sahabat – tabi’in – tabi’it tabi’in dan seterusnya mungkin terdiri dari tiga orang atau lebih, dua orang atau seorang. Maka para ahli hadis memberikan nama-nama tertentu bagi hadis ahad mengingat banyak sedikitnya rawi yang berada pada tiap-tiap lapisan dengan hadis masyhur, hadis aziz, dan hadis gharib.

Dari segi kualitas rawi. Penyelidikan identitas rawi ini ditujukan kepada hadis ahad, bukan hadis mutawatir. Dengan alasan hadis ahad memberikan faedah zhanni, oleh karena itu bisa jadi suatu hadis itu diterima atau ditolak. Berbeda dengan hadis mutawatir yang sumbernya meyakinkan akan kebenarannya, maka tidak perlu diperiksa dan diselidiki secara mendalam identitas para rawi, sehingga hadis mutawatir memberikan faedah yaqin bil qath’i bahwa Nabi Muhammad saw benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan iqrar (persetujuan)nya di hadapan para sahabat.

Berdasarkan keterangan di atas, hadis ahad terbagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu shahih, hasan, dan dla’if.

Disebut hadis shahih, apabila hadis itu diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil (moralnya bagus), sempurna ingatannya (intelektualnya baik), sanadnya bersambung sejak dari lapisan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya, tidak ber’illah (tidak cacat baik dari cara periwayatan maupun bentuk matan (teks) hadisnya), serta tidak janggal (tidak ada perlawanan antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang dapat diterima periwayatannya dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat daripadanya). Disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam kapasitas intelektualnya atau adanya segi-segi kekuatan yang lain.

Sementara hadis hasan sama dengan persyaratan pada hadis shahih. Perbedaan hanya pada kekokohan ingatan rawi (aspek intelektualnya di bawah rawi hadis shahih). Kebanyakan ulama bersepakat menggunakan hadis shahih dan hadis hasan sebagai hujjah.

Adapun hadis dla’if, adalah hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadis shahih atau hadis hasan.

Kesimpulan dari uraian ini, adalah bahwa Manhaj Tarjih menggolongkan sunnah maqbulah (sunnah dalam kategori ahad yang telah melalui proses penyelidikan kualitas secara seksama dan dinyatakan diterima) adalah sunnah yang mempunyai nilai shahih dan hasan. Sementara hadis mutawatir tidak dimasukkan ke dalam penyebutan sunnah maqbulah karena beberapa alasan:

  1. Hadis mutawatir itu merupakan penggolongan dilihat dari segi kuantitas rawi yang sekaligus mencerminkan kualitas rawi yang meyakinkan.
  2. Hadis mutawatir tidak perlu diselidiki kualitas rawinya karena sudah memberikan keyakinan atau kebenaran periwayatannya sehingga memberi faedah yaqin bil qath’i.
  3. Karena tidak perlu diselidiki identitas rawi sehingga tidak memerlukan penilaian diterima atau ditolak sebagaimana hadis ahad. Tetapi dengan sendirinya hadis mutawatir itu menjadi dalil yang sangat kuat.

Wallahu a’lam bish-shawab. *fz)

Sumber : Fatwa Tarjih Muhammadiyah 2004

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker