Khazanah

Jadilah Gila, Kau Akan Selamat!

ANDA pasti pernah mendengar cerita tentang Qays dan Laila, bukan? Ini kisah cinta dan kegilaan yang legendaris. Terjadi di Negeri Persia pada abad ke-9, tragedi cinta dua insan ini berakhir dengan kepiluan. Tak perlulah ditanya apakah kisah ini imajinasi atau kenyataan. Namun, gemanya demikian nyaring, hingga menembus ruang yang demikian luas dan waktu yang begitu panjang. Qays dan Layla adalah dua insan yang dilanda asmara. Mereka bertemu dalam usia belia saat keduanya tengah menjalani pendidikan. Kecantikan Layla telah memenjarakan Qays dalam cinta yang tiada dua. Tak hanya Qays yang dilanda cinta, rupanya. Layla pun menyimpan bara cinta yang sama. Layla, si gadis jelita, telah merenggut hati Qays dari raganya. Namun, adat dan tradisi telah menjadikan keduanya gagal menyatukan cinta.

Keluarga Layla menolak Qays, karena status yang berbeda. Seorang pria pilihan orangtua, telah disiapkan untuk Layla. Meski tahu situasinya, Qays pernah pula mencoba. Ia datang kepada ayah Layla meminta restu untuk menyunting putrinya. Namun hanya kepahitan dan hinaan yang ia terima. “Harga diri keluargaku akan hancur jika putriku menikah denganmu,” demikian sengatan kata yang diterima Qays dari ayah Layla. Tak mampu menggapai cinta Layla, Qays mengubah cara hidupnya. Ia meninggalkan rumah dan memilih hidup di hutan belantara. Ia berperilaku ganjil, yang dalam pandangan orang pada umumnya dianggap tak waras. Dari situlah orang menjulukinya majnūn, yang secara harfiah berarti orang gila. Namun, dalam kegilaannya, Qays sesungguhnya menunjukkan kewarasan melalui puisi-puisi indah yang ia tujukan kepada perempuan pujaannya.

Layla menikah dengan seorang saudagar bernama Ibnu Salam. Pernikahan itu berlangsung tanpa bahagia. Karena penyakit yang mendera, suami Layla akhirnya meninggal. Saat telah hidup tanpa suami itu, Layla ingin menjumpai Qays atau si Majnun. Tetapi adat sukunya mewajibkan perkabungan selama dua tahun, dalam bentuk larangan bertemu siapa jua. Layla akhirnya meninggal akibat menahan kepahitan hidup. Saat kabar itu hinggap di telinga Qays, ia bertekad menghabiskan hidupnya dengan menunggui pusara Layla, sembari selalu berpuisi untuk menyatakan cinta dan ratapan atas nasib hidupnya. Qays pun pada akhirnya meninggal dan ia dikuburkan bersebelahan dengan Layla.

Qays berjuluk Majnun atau Si Gila karena perilaku yang ia pilih berada di luar kelaziman rasional manusia pada umumnya. Namun, dalam dunia Islam ini bukanlah satu-satunya kisah kegilaan. Uqalā’ al-Majānin, sebuah karya Abu al-Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib al-Naisaburi (wafat 406 H), adalah sebuah karya yang merekam tentang kewarasan orang-orang gila. Di antara banyak kisah yang ditampilkan adalah tentang para ahli hukum yang dipanggil oleh Khalifah al-Manshur untuk menjadi Qadhi. Di antaranya adalah Abu Hanifah dan Mus’ar. Abu Hanifah menolak dengan argumen-argumen rasional, sementara Mus’ar menolaknya dengan berpura-pura gila. Berpura-pura gila pernah pula dilakukan Abu Nawas untuk menolak tugas sebagai pengadil (qadhi) di Baghdad.

***

Dalam sejarah kemanusiaan, kegilaan bukanlah sesuatu yang mudah diuraikan. Gila pada umumnya merujuk kepada situasi hilangnya akal seseorang oleh berbagai macam sebab. Namun, ternyata kegilaan dari zaman ke zaman menampakkan wajahnya yang lebih kompleks. Kegilaan umum adalah apa yang dalam istilah kini disebut dengan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Tetapi khazanah kebudayaan Arab menggambarkan kegilaan dalam situasi yang kompleks. Tuhan menciptakan manusia dengan segala takdirnya, dan ada mereka yang semenjak lahir telah digariskan dalam kondisi gila. Ini disebut dengan ma’tuh.

Kegilaan yang umum adalah karena hilangnya akal dalam diri seseorang oleh berbagai sebab. Maka ada versi lain dalam kegilaan manusia yang disebut dengan al-mamrūr. Kegilaan bisa juga karena faktor lain, misalnya karena pengaruh makhluk lain. Jika ini terjadi, ini yang diistilahkan dengan al-mamsūs. Sementara kasus seperti yang dialami oleh Qays dan Layla di atas tidak masuk ke dalam ketiga kategori ini, karena gila yang dipicu oleh cinta dan rindu lazim disebut sebagai al-asyīq. Kegilaan model ini lebih tepat digambarkan sebagai cinta yang disertai rindu-dendam.

Dalam dunia modern, kegilaan juga menjadi tema filosofis yang tak kalah menarik. Adalah Michel Foucault yang menelisik sejarah kegilaan dalam kehidupan manusia dan bagaimana persepsi serta penanganannya. Dalam Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason, filosof Perancis itu merekam kegilaan dalam aneka perspektif, dari filsafat, politik, budaya, hingga hukum dalam konteks Eropa. Kegilaan adalah sebuah konsep yang selalu berubah dari zaman ke zaman. Dalam tiga masa, yakni Zaman Renaissance, Neo-Klasik dan Modern makna kegilaan selalu berubah.

Mirip dengan gambaran Abu al-Qasim al-Naisaburi dalam Uqalā’ al-Majānin, Foucault menyebut pada masa renaissance, kegilaan sering dikaitkan dengan kebijaksanaan dan kemampuan untuk mengetahui batas dunia. Gambaran ini berubah saat memasuki abad ke-17, karena mereka yang dianggap gila tak lagi dihubungkan dengan kebijaksanaan, tetapi digambarkan sebagai kelompok orang yang masuk kategori socially undesirable (mereka yang secara sosial tak diinginan kehadirannya), sehingga mereka dipisahkan dari masyarakat pada umumnya. Dari sinilah lalu kegilaan dianggap sebagai bagian dari penyakit medis yang harus disembuhkan. Definisi kegilaan pada era modern inilah yang kita kenal sampai sekarang.

Secara kultural, kaum waskita Jawa juga tak ketinggalan dan mengembangkan pandangan sendiri tentang kegilaan. Bagi mereka, kegilaan tak lagi semata-mata sebagai sebuah kondisi yang dikaitkan dengan individu, tetapi juga dengan realitas zaman. Raden Ngabehi Ranggawarsita, sastrawan Keraton Surakarta, menggoreskan pesan universalnya tentang evolusi realitas kegilaan dalam masyarakat dari zaman ke zaman.

  • Amenangi zaman edan
  • Ewuh aya ing pambudi
  • Melu edan ora tahan
  • Yen tan melu anglakoni
  • Boya keduman milik
  • Kaliren wekasanipun
  • Ndilalah kersaning Allah
  • Begja begjaning kang lali
  • Luwih begja kang eling lan waspada

 

  • Menghadapi zaman gila
  • suasana memang menjadi sulit
  • Ikut gila tidak tahan
  • tetapi kalau tidak ikut melakukan
  • lenyaplah segala kemungkinan untuk mendapatkan, kelaparan
  • kesengsaraan jadinya
  • untunglah, sudah menjadi kehendak Allah
  • seberuntung-beruntungnya orang yang lupa
  • lebih beruntung orang yang sadar dan waspada.

Zaman kegilaan ini lalu menyebabkan hilangnya kemuliaan akhlaq (ilang budayanipun), kebaikan menjadi langka, oleh karena manusia selalu buruk sangka pada sesama (tanpa bayu weyane ngalumpuk), menciptakan marabahaya sejak dalam pikiran (sakciptane wardaya ambebayani), pengkhianatan merajalela, karena sumpah dan janji tak bisa dipercaya (ubayane nora payu), yang pada akhirnya menghancurkan integritas diri dan lenyapnya keluhuran budi (kari ketaman pakewoh).

Lalu apa akibat kegilaan? Secara pragmatis, kegilaan berkonotasi dengan dan berakibat pada “penghindaran.” Khazanah hukum Islam menggariskan kegilaan sebagai kondisi orang memiliki dispensasi syar’i yang dalam hadits disebut dengan al-qalam. Sebuah hadits menyebut kondisi rufi’a al-qalam (hukum, kewajiban) dibebaskan kepada tiga kelompok manusia, yakni anak bayi sampai ia dewasa, orang tidur sampai ia terbangun, dan orang gila sampai ia memiliki kewarasannya kembali.

Zaman edan yang kini kita saksikan, ternyata jauh lebih kompleks dari yang digambarkan Ranggawarsita. Zaman kini justru menyaksikan bukan kegilaan tingkah laku dan akal budi semata, tetapi juga kegilaan sebagai tameng. Orang gila yang benar-benar gila dibebaskan dari hukum adalah kewajaran, seperti yang diajarkan oleh Islam. Namun kegilaan yang dicitrakan sebagai upaya untuk membebaskan diri dari tanggung jawab perbuatan, sesungguhnya jauh lebih edan daripada ODGJ yang memang benar-benar edan. Keedanan zaman kini juga muncul dalam bentuk arogansi intelektual. Atas nama menegakkan nalar, lalu orang bertindak di luar nalar.

Jadi rupanya, di luar gambaran al-Naisaburi, Michel Foucault, dan Ronggowarsito, kegilaan kini telah mendapatkan tempatnya yang semakin terhormat, yakni sebagai penyelamat. Maka, mudah saja, lontarkan tuduhan, tebarkan ancaman, dan saat logika hukum menanti, berpura-puralah gila untuk menyelamatkan diri. Inilah ironi zaman ini, saat kegilaan dihadirkan untuk menyelamatkan mereka yang justru menggaungkan kewarasan akal. Kurang gila apa, coba!


*) Wakil Dekan I Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang. Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker