BeritadefaultKhazanah

Penyebaran gagasan kawin antar agama

Buku TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part VI

LIBERALISASI

Liberalisasi Pemikiran Sebagai Tantangan Dakwah

Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi, PhD

Buku TUNTUNAN TABLIGH Bagian IV Part VI

 

d. Penyebaran gagasan kawin antar agama

Dampak yang lebih kongkrit dan berbahaya dari paham pluralisme adalah diplokamirkannya praktek kawin beda agama. Untuk itu para cendekiawan Muslim mencoba merobah konsep ahlul kitab dalam al-Qur’an dan Hadist, dengan memasukkan semua agama sebagai ahlul kitab. Ini dimaksudkan untuk suatu kesimpulan bahwa semua agama adalah sama benarnya. Karena semua agama sama maka muncullah hukum baru yang membolehkan wanita Muslim kawin dengan laki-laki Kristen. Masalah perkawinan beda agama ini tercantum dalam “Universal Declaration of Human Right” pasal 16 ayat 1. Pasal itu berbunyi: “Pria-dan wanita dewasa, tanpa dibatasi oleh ras, kebangsaan, atau agama, memiliki hak untuk kawin dan membangun suatu keluarga. Mereka memiliki hak-hak sama perihal perkawinan, selama dalam perkawinan dan sesudah dibatalkannya perkawinan.”

Sebenarnya pasal ini telah ditolak oleh ummat Islm melalui Memorandum Organisasi Konferensi Islam (OKI). Dalam Memorandum tersebut ditekankan perlunya “kesamaan agama” dalam perkawinan bagi muslimah . Ditegaskan pula: “Perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap muslim, dan kesamaan agama bagi setiap muslimat.” Jika dilacak lebih jauh maka penerimaan paham pluralisme agama berarti penerimaan agama lain sebagai sama benarnya dengan Islam. Malangnya, gagasan ini mendapat sambutan yang positif dari sekolompok cendekiawan Muslim yang didukung oleh universtias Paramadina. Buku yang berjudul Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Yayasan Paramadina adalah hasil dari pemikiran pluralisme agama yang disebarkan Barat. Islam mengakui adanya pluralitas agama (keberagaman agama) tapi menolak ide pluralisme agama (kesatuan agama-agama).

e. Mendekonstruksi Syariah

Salah satu cara agar Islam dapat difahami sesuai dengan pemikiran Barat, khususnya doktrin humanisme adalah dengan mendekonstruksi syariah. Dan ini dilakukan dengan merubah cara menafsirkan teks keagamaan. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa diantara saran-saran Cheryl Bernard yang sangat taktis untuk proyek liberalisasi pemikiran keagamaan dalam Islam adalah a) menghancurkan monopoli fundamentalis dan tradisionalis dalam mendifinisikan, menjelaskan dan menafsirkan Islam b)  Menantang dan mengekspos ketidak akuratan pandangan mereka dalam soal penafsiran Islam.

Diantara strategi merubah penafsiran itu adalah dengan : a) Menekankan kontekstualisasi Ijtihad (dokonstruksi Syariah) b) Menekankan komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan c) Mengembangkan paham pluralisme sosial dan pluralisme agama.

Banyak cara untuk menekankan kontekstualisasi ijtihad. Diantaranya adalah dengan meletakkan al-Qur’an sebagai respon spontan terhadap kondisi masyarakat ketika itu, sehingga sifatnya kontekstual. Alasannya, al-Qur’an tidak turun di ruang yang hampa, ia dipengaruhi oleh budaya ketika ia turun. Bahkan Nasr Hamid menyatakan bahwa al-Qur’an itu sendiri merupakan produk budaya.  Sekilas ini benar, tapi konsekuensi logisnya al-Qur’an menjadi tidak universal. Ia turun dalam situasi sosial budaya Arab dan zaman sekarang tidak dapat difahami seperti ketika ia diturunkan. Dari argumentasi ini kelompok liberal dapat membawa ayat-ayat secara kontekstual. Dalil usuliyah yang berbunyi al-Ibratu bi umumillafz, la bi khususi al-sabab (Perintah itu karena adanya kata-kata umum dan bukan karena sebab khusus) dibalik menjadi al-Ibratu bi bi khususi al-sabab la umumillafz (Perintah itu karena adanya sebab khusus dan bukan karena kata-kata umum). Maksud dari sebab khusus adalah konteks budaya. Jadi perintah dan  larangan dalam al-Qur’an itu harus dipahami dalam kontek budaya ketika ia diturunkan. Padahal, larangan meminum khamr, memakan daging babi, berjudi dan berzina tidak berdasarkan kontek budaya. Pembagian warisan laki-laki dua kali lipat perempuan juga demikian. Dengan merubah orientasi hukum secara kontekstual maka banyak sekali hukum yang dedekonstruksi.

Selain itu dekonstruksi syariah dilakukan dengan mempersoalkan maslahah. Argumentasinya begini : karena  tujuan ditetapkannya hukum Islam adalah untuk menciptakan maslahah kepada ummat manusia maka maqasid syariah itu lebih utama daripada Syariah. Menurut kelompok liberal, setiap tindakan yang mengandung maslahah itu pasti mengandung syariah. Padahal yang benar adalah bahwa setiap hukum syariah itu mengandung maslahah. Disini yang dibidik kaum liberal adalah makna maslalah, sebab ia dapat dibawa kepada konteks sosial budaya dan akhirnya dibawa kepada doktrin humanisme. Targetnya adalah membawa hukum Islam agar sejalan dengan doktrin-doktrin kebudayaan Barat yang melulu berdasarkan prinsip humanisme.

Selain meletakkan ayat-ayat secara kontekstual dan menekankan maslahah daripada syariah, kaum liberal mengkaitkan ijtihad para ulama dalam bidang hukum dengan kondisi sosial budaya ketika ijtihad itu dihasilkan. Oleh sebab itu pemikiran ulama itu relatif karena terikat oleh ruang dan waktu. Lagi-lagi relativisme digunakan disini. Dengan cara berfikir seperti ini hasil pemikiran ulama dimasa lalu yang sangat berharga itu dianggap tidak relevan lagi zaman sekarang. Padahal semua ilmu pengetahuan didunia ini menghargai pemikiran pemikir masa lalu. Tanpa pemikiran ilmuwan dimasa lalu ilmu tidak akan berkembang. Tapi mengapa semangat untuk menafikan otoritas ilmuwan Islam dimasa lalu begitu besar.

Dengan menafikan otoritas ulama banyak hal yang dapat mereka lakukan. Ijtihad para ulama yang telah menentukan mana ayat muhkamat dan mana yang mutasyabihat juga ikut dinafikan. Makna yang sudah pasti dalam al-Qur’an itu dicari konteksnya akhirnya menjadi ambigu, sedangkan ayat-ayat yang ambigu yang sejalan dengan paham liberal dijadikan muhkamat.

f. Penyebaran faham Feminisme dan Gender.

Gerakan feminisme dan Gender berasal dari pandangan hidup Barat atau muncul dari kondisi sosial budaya masyarakat Barat. Inti gerakan ini adalah untuk merubah pandangan dan keyakinan masyarakat Timur maupun Barat, bahwa perbedaan perilaku laki-laki dan perempuan itu ditentukan oleh kondisi sosial budaya. Oleh sebab itu konstruk gender yang sedemikian itu dapat dirubah melalui perubahan konsepnya di masyarakat. Maka dari itu Wilson mendefinisikan Gender sebagai “suatu dasar untuk menentukan pembeadaan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Gerakan gender tidak mempersoalkan perbedaan identitas laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis atau jenis kelamin, tapi mengkaji aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non-biologis lainnya.

Meskipun demikian, gerakan yang berasal dari doktrin equality (persamaan) dalam segala hal di masyarakat pada akhirnya semakin menampakkan ciri-ciri budaya Baratnya dari pada unsur kemanusiaannnya. Salah satu teori femenisme (Feminsme Radikal) misalnya menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam soal hak sosial dan juga seksual. Artinya kepuasan seksual dapat juga diperoleh dari sesama perempuan. Dan oleh karena itu lesbianisme dan homoseksualisme dapat diberi hak hidup. Implikasinya, perempuan tidak harus tergantung kepada laki-laki, dalam soal kebutuhan materi tapi juga dalam soal kebutuhan seksual. Akibat terpengaruh oleh ide-ide ini seorang Muslimah dari Canada bernama Irsyad Manji di datangkan ke Indonesia untuk menyebarkan faham ini. Demikian pula buku-buku Aminah Wadud, Fatimah Mernissi, Binti Syati’ dan sebagainya banyak dierjemahkan kedalam bahasa Indonesia.

g. Disseminasi paham dan kepercayaan masyarakat Barat

yang terdiri dari prinsip-prinsip kebebasan (liberalisme), persamaan, individualisme, demokrasi dan lain-lain. Paham dan kepercayaan ini di adopsi secara amatiran (baca sesuka hati) tanpa proses epistemologi yang jelas kedalam alam pikiran keagamaan Islam. Hasil dari usaha ini sudah tentu kerancuan pemikiran dan ketidakjelasan struktur konsepnya.

 

Baca juga LIBERALISME Part V

 

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker