default

Menegakkan Prinsip Wasathiyah Dalam Paham & Perilaku Keagamaan Kita (III)

Part 3

Implementasi Prinsip “Wasathiyah” Dalam Paham dan Prilaku Keagamaan

Dari beberapa tinjauan di atas, penulis mencoba merumuskan beberapa langkah taktis dan strategis yang dapat kita lakukan bersama sebagai sebuah upaya meluruskan paham dan sikap “ghuluw” ataupun “tatharruf” dalam keberagamaan kita, tentu dalam perspektif agama (di luar permasalahan dan sudut pandang —khususnya—politik dan ekonomi).

Islam sebagai din yang berlaku secara universal sangatlah bertentangan secara diametral dengan sikap dan perilaku “tatharruf” ataupun “ghuluw” dan berbagai istilah sejenis lainnya. Dalam Al-Qur’an, Islam (dan umatnya) disebut sebagai agama dan umat “tengahan” (wasathan) yang setidaknya dapat diidentifikasi dengan beberapa karakter berikut; al-khairiyah; al-‘adlal-yusr wa raf’ul harajal-hikmah;al-istiqamahal-bayniyah (bayna ifrath wa tafrith, al-ghuluw wa al-jafa’ dst.).

Sebagai langkah kongkret (aksi) menegakkan prinsip wasathiyah tersebut, pertama perlu rekonstruksi “Fikih Ikhtilaf” dalam rumusan-rumusan/kaidah berikut ini :

1)      الاختلاف منه ما هو محمود ومنه ما هو مذموم

2)      الافتراق سنة كونية ودفعه فريضة شرعية

3)      الحق يقبل من أي جهة جاء

4)      وجوب عرض أقوال الناس على الشرع

5)      الحق لا يعرف بالرجال اعرف الحق تعرف رجاله

6)      الفرق بين الحكم المطلق والحكم المعين

7)      لا تجوز معارضة القرآن والسنة برأي أو عقل أو قياس

8)      المخالفون لأهل السنة ليسوا على درجة واحدة

9)      موافقة الجماعة في المسائل الاجتهادية الظاهرة فيما يراه المجتهد مرجوحا خير من مفارقتهم إلى مايراه راجحا

10)  الاختلاف قد يكون اختلاف تنوع أو اختلاف تضاد

11)  اختلاف الرأي لا يفسد للود قضية

Kedua, revitalisasi tasamuh dalam kehidupan majemuk. Sebagai landasan yang kokoh bagi kehidupan bangsa kita yang majemuk dan pluralistik dalam suasana ko-eksistensi dan penuh toleransi (tasamuh), penulis mengajukan beberapa proposisi berikut ini:

1)   Sebagai muslim yang baik kita meyakini bahwa setiap manusia dari sudut pandang penciptaannya (ontologis) memiliki kemuliaan (karâmah), apapun ras, warna kulit, suku, bangsa termasuk agamanya, sesuai dengan firman Allah : Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.(Al-Isra’ : 70). Maka hak kemuliaan sebagai manusia ciptaan Allah wajib untuk dilindungi dan dipelihara, kecuali dengan pelanggaran yang telah ditentukan dalam syariat Islam.

2)  Bersikap apresiatif terhadap fakta keragaman dan berlapang dada, karena perbedaan keyakinan dan agama merupakan sesuatu yang qodrati dari Allah SWT : “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”. Karenanya, tidaklah mungkin bagi seorang muslim melakukan intimidasi, pemaksaan, apalagi teror terhadap orang lain untuk masuk ke dalam Islam.Firman Allah, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?. Juga firmanNya, ““Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghutdan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Juga firmanNya, Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

3)  Memahami bahwa perintah dakwah dalam Islam bertujuan terwujudnya transformasi dan perubahan kepada kebaikan dan kebenaran, baik pada level pribadi dan masyarakat, dilakuan dengan cara persuasif dan komunikasi yang elegan, bukan indoktrinasi. Disertai sebuah pemahaman bahwa, Allah tidak membebani kita untuk bertanggungjawab atas kekufuran orang-orang kafir atau kesesatan orang-orang yang sesat. Masalah terpenting ialah, dakwah telah kita sampaikan, sebagaiman firman berikut : “Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, maka umat yang sebelum kamu juga telah mendustakan. Dan kewajiban rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya” Juga firmanNya, Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah: “Allah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan. Allah akan mengadili di antara kamu pada hari kiamat tentang apa yang kamu dahulu selalu berselisih padanya. Firman lainnya,  “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplahsebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita).”[33] Dengan demikian, seorang muslim akan hidup secara nyaman dengan kelapangan dada dan kerelaan hati.

4)  Bahwa Allah memerintahkan dan mencintai keadilan; berlaku proporsional, menyeru kepada kemuliaan akhlaq serta mengharamkan kezaliman, meskipun terhadap orang-orang musyrik. ” Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

5)  Dalam konteks dialog antar agama, tidak mengklaim bahwa semua agama benar (pluralisme), dengan dalih apapun, termasuk teori kesatuan transenden agama-agama Schoun yang dielaborasi lebih lanjut oleh pemikir muslim, Nurcholish Madjid dengan gagasan-gagasan inklusif-pluralisnya. Karena pemikiran seperti ini merupakan bagian dari kekerasan dan teror teologis (al-‘unfu wa al-irhab al-‘aqadiy) yang sesungguhnya di lawan oleh semua agama di dunia.

6)  Berpegang pada sikap amanah serta jujur dalam beragama; tidak saja pada ritual-ritual murni, tapi juga dalam hal-hal yang potensial mencampur-adukkan ajaran agama-agama seperti natalan dan do’a bersama atas nama kebersamaan, kebangsaan atau kearifan lokal dan seterusnya. Toleransi tidak bermakna kesediaan mengikuti ritual dan peribadatan di luar keyakinan masing-masing umat beragama. Dus dengan demikian, masing-masing pemeluk agama merasa legowo dan tidak ada yang merasa tidak dihormati, apalagi dilecehkan, hanya karena sesama anak bangsa berpegang teguh dengan keyakinan dan keimanannya masing-masing.

7)  Di luar wilayah keimanan (akidah), Islam mengajarkan tentang komitmen persaudaraan kemanusiaan (al-musâwâh, bukan humanisme sekuler) secara adil dan penuh hikmah dalam wujud kerjasama dalam urusan-urusan dunia (mu’amalat dunyawiyah). Tanpa mencampur-aduk ajaran agama-agama. Fakta sejarah kehidupan Nabi dan masyarakat Madinah menjadi tauladan tasamuh yang sesungguhnya. Bukan seperti klaim pluralisme agama yang berorientasi kepada penyamaan agama-agama di dunia serta menafikan karakter yang khas pada masing-masing agama tersebut. Hal demikian, selain bertentangan dengan syariat Allah SWT, juga telah mengabaikan dan menistakan hak asasi manusia untuk meyakini agamanya masing-masing.

والله أعلم بالصواب

Budi Mulia, 15 Shafar 1434 H/25 Desember 2012

Salam Penulis: Ust Fathurrahman Kamal Lc., M.S.I

(Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker